Description

"Who you are, depends on what do you think about GOD and yourself."

#KotakAjaib
Copy-Paste boleh, asal cerdas! Jangan lupa cantumkan sumbernya ya...
http://tanpa-inspirasi.blogspot.com/

Sunday, December 17, 2017

FIGHT vs US

PROLOG
Scrolling phone scrolling phone scrolling all the way~~
Sejujurnya tulisan ini hadir karena pengalihan rasa jenuh dari rewriting draft novel yang kemarin barusan ketemu backup-nya.

Jadi ceritanya beberapa minggu ke belakang ini sering banget ditanyain sama temen-temen yang pada dasarnya nggak deket-deket amat. Karena yang deket biasanya udah paham satu sama lain tanpa nanya. Tentang "kalian LDR jauh banget gitu pernah bertengkar ga sih?" terus "kalau bertengkar gitu biasanya ngapain biar baikan?" Hahaha, dan voila penulis iseng, yang isi tulisannya kadang un-faedah, tapi orangnya baik hati ini mencoba sedikit menuliskannya untuk sekedar ngisi waktu yang nggak luang-luang banget (sok banget euy!).

Ngomongin tentang bertengkar, ribut, cekcok, dan semacamnya, kayanya untuk kamus hubunganku "kali ini" nggak pernah jadi fenomena yang mayor deh. Karena apa? Ya karena landasan utama hubunganku "kali ini" adalah TRUST (<< ini tautan buat yang penasaran maksudnya TRUST itu apa dan bagaimana), bukan love atau yang lain.

Oh iya, kenapa kupakai istilah "kali ini"? Sebab pada dasarnya hubunganku yang sekarang ini adalah hubungan yang kesekian kalinya setelah hitung-hitungan cinta monyet dan kekhilafan-kekhilafan seorang insan manusia yang tak terhitung jumlahnya. Yang kalau diinget-inget lagi memang hubungan dengan cara seperti ini tak akan pernah cocok dengan si mantan terakhir yang kuputuskan untuk mengakhiri hubungan dengannya setelah pengakuan bahwa "aku gak bisa LDR-an". Yang entah dulu itu maksudnya ngode nyuruh daftar kuliah deket-deket aja atau gimana. Entahlah, yang jelas itu sudah menjadi bagian dari masa lalu yang nggak jauh dari khilaf, masa di mana hamba yang terlanjur kecemplung ke dunia Teknik Material dan Metalurgi (setelah berulang kali ditolak Fakultas Kedokteran) malas meladeni kodean-kodean macam itu (dan berujung mending putus aja). Yang otomatis menjadikan label mantan calon dokter tersemat begitu saja, dan secara default setelah kuakhiri hubungan dengan si mantan, label mantan calonnya dokter juga tersemat. (Eh, btw ini guyonan yang baru aja semalem diomongin sama si doi yang sekarang).

Aih, udah cukup lah ya menceritakan sebab musabab aku menyebutkan hubunganku yang sekarang dengan "kali ini". Oke, dan back to topic! Kalau ditanya tentang kepernahan kami bertengkar atau tidak, jawabannya literally NO. Karena yang kita lakukan biasanya kalau ada perbedaan sudut pandang dan persepsi adalah berdiskusi, sedikit berdebat, tapi nggak sampai gontok-gontokan apalagi saling memaki (ala-ala kids zaman now). Hal-hal itu paling nggak pernah kami lakukan selama lebih dari tiga puluh satu bulan ini sepakat untuk saling mengenal lebih jauh, baik satu sama lain maupun antarkeluarga.

Nah terus pertanyaan kedua nih, susah jawabnya karena di pertanyaan pertama kami tak pernah mengalaminya. Tapi karena kondisinya penulis lagi agak luang, jadi dicoba menggeser pertanyaannya aja ya biar bisa dijawab. Jadi kumodifikasi aja pertanyaannya jadi: "kalau lagi beda pendapat biasanya ngapain biar baikan/persepsinya selaras lagi?"

Then, jawabannya sangat sederhana! Kami telepon, video call, dan membicarakan semuanya dari A sampai D. Kenapa ga sampai Z? Karena biasanya tiga sampai empat langkah penyelesaian dan upaya penyamaan persepsi yang dilontarkan satu sama lain saat kita ngobrol tentang beda persepsi (yang sedang berlangsung) aja, kami udah saling mengerti. And finally berujung pada kondisi saling mengalah dan minta maaf satu sama lain. That's it! Se-simple itulah kami.

Sejujurnya pernyaataan reaksi yang terlontar dari beberapa orang yang pernah mendengar jawaban ini secara langsung adalah: "Yah nggak seru banget! Padahal justru seninya hubungan itu di berantemnya, itu jadi semacam MSG dan garamnya hubungan." yang biasanya kusenyumin aja biar dianya puas dan berhenti ngoceh lebih lanjut ngurusin hubungan orang.

Then, now I said to you all, sekalian aja mumpung lagi nulis topik yang sama kan ya? Hahaha. Jadi di balik senyumku itu, jawabannya gini: "Mungkin bagimu, bagi kalian yang beranggapan sama dengan si penutur statement di atas, berantem adalah bumbu dalam hubungan. Tapi beda dengan kami, miss di zona waktu serasa WIB dan WITA aja sudah cukup membuat kami repot, belum lagi di perbedaan peak hour pekerjaan masing-masing, itu semua sudah cukup jadi bumbu bagi kami. Lalu, apakah ada alasan selain mengoleskan selai manis dalam hubungan yang berjalan dalam kondisi sejauh 2380 mil (3831 kilometer) ini? Kurasa tidak!"

Dan yang perlu digaris bawahi lagi adalah: selama punya hubungan (dari mulai pertama kali pacaran ala abege labil sampai sekarang punya hubungan menjelang serius) aku sama sekali belum pernah marah besar banget sama si doi (termasuk mantan). Jadi kebayang lah ya, sesabar apa sih penulis absurd ini kalau punya pasangan? Hahaha, ini nggak promo kok, sama sekali nggak. Karena toh kalau ada yang minat, nanti (pas udah nikah) otomatis harus dapat ijin dari istri pertama dulu kalau mau menjalankan sunah Rasulullah SAW bab itu.
^_^

EPILOG
Udah ya, daripada ngomongnya makin ngelantur, lebih baik diakhiri saja tulisan (yang sekali lagi) kembali absurd. Selamat menikmati detik-detik menjelang berakhirnya weekend!!!

Kalaupun ada yang ngambek paling juga dia, aku nggak pernah. Tapi pasti ujung-ujungnya dianya meleleh sama jokes-jokes receh pencair suasana ala aku, hihihi...
__________________________
Additional response dari dia nih:
"Karena pada dasarnya kita udah bukan anak ABG lagi yang kalau ada apa-apa harus berantem cekcok panjang lebar sampai berbusa. Dan lagi kita sama-sama udah melewati masa itu lama banget (sekarang udah 20 tahun ++). Banyak hal yang lebih penting dari meributkan hal-hal yg sebenernya kita udah tau letak masalahnya dimana, begitu pula penyelesaiannya (hahaha, sok bijak banget ga sih?). Tapi bukan berarti kisah kita nggak ada micin-micinnya kan, mas?. Dan bener kata kamu (di atas) perbedaan peak hour work yg bener-bener bikin kita kadang stuck. Nggak ngerti lagi harus gimana hahaha. Satu-satunya cara memanfaatkan waktu Ozha Time (kalau di aku) dan Tira Time kalau di kamu"

Sunday, December 3, 2017

Video Abstrak dan Penjelasan Absurd-nya

PROLOG


Kesel ya sama video barusan? Maaf ya efek kegabutan menunggu proses di sela ball milling dan penyaringan material akhirnya muncul ide iseng merekam dan meng-edit video semacam itu.

Oh iya, jadi awalnya (di penyaringan sample pertama) cuma mikir kalau proses penyaringan ini mirip sama kemunculan bintang-bintang di langit malam pas tiba-tiba polusi cahaya di sekitar kita lenyap secara periodik (tsaaah, apa banget sih?). Ssst, FYI aja sih, ini benar-benar terjadi lho saat tiba-tiba lampu jalan di area sekitar kampusku mati satu per satu pas menjelang pagi, terutama area di dekat jogging track menuju Engineering building 5 (buat yang pengen tahu aja sih).

Eh, ketahuan anak malam banget ya sampai tahu prosesi kaya gitu (-_-v)

Akhirnya di proses penyaringan sampel kedua, video ini dibuat. Intinya sih nggak banyak, opening peringatan Warning itu sebenarnya muncul setelah masuk tahap editing (pas banget kepikiran waktu Adobe Premiere udah kebuka). Mengapa demikian? Karena lewat video singkat barusan, bisa banget lho jadi pelajaran untuk siapapun yang ingin lebih menghargai "proses" dalam mencapai sesuatu dibanding hanya mengejar harapan semu untuk cepat-cepat sampai tahap "hasil" (ala Kids Jaman Now banget, yang kalau kena masalah dikit langsung ada aja ide "konyol" pelariannya). Nah, sebelum berlanjut ke penjelasan kompleksnya, aku akan memberikan fakta singkat tentang sesuatu yang mungkin kita anggap sepele tetapi bahkan sekaliber WHO pun dibuat kebingungan dengannya.

Fakta apa sih?

Lebih tepatnya fakta yang sudah diolah menjadi data-data siap "telan" sih. Nih salah satu contohnya: di tahun 2014, Shekhar Saxena, Direktur Kesehatan Mental WHO saat itu, mengungkapkan, "Bunuh diri adalah sebuah kasus kesehatan masyarakat yang luar biasa. Ada satu kasus bunuh diri setiap 40 detik – itu adalah jumlah yang besar“ (dikutip dari situs Deutsche Welle yang dirilis pada September 2014). Belum lagi ini nih, pengakuan Menteri Kesehatan negeri Sakura mengatakan bahwa pada tahun 2016 lalu di Jepang tercatat angka kematian akibat bunuh diri mencapai 21.897 orang. Jumlah tersebut menurun dari catatan di tahun 2011 dan 1994 yang menembus angka lebih dari 30.000 orang. Meskipun mengalami penurunan, angka kematian akibat bunuh diri di Jepang masih tercatat sebanyak 17,3 per 100.000 warga di tahun 2016. Dan capaian itu masih menempatkan Jepang sebagai negara dengan angka bunuh diri tertinggi di dunia. Sedangkan di Amerika Serikat, angka kematian akibat bunuh diri tercatat sekitar 13 per 100.000 orang per tahun, dan di Inggris angkanya tercatat di bawah 10 per 100.000 (dicuplik dari berita Internasional Kompas[dot]com yang dirilis pada Maret 2017). Wow angka-angkanya fantastis ya?

Salah satu yang ingin kukaitkan antara video abstrak semenit tadi dengan sebegitu banyak data-data kasus bunuh diri tersebut adalah kenyataan bahwa era saat ini banyak sekali manusia-manusia yang lebih suka berpikir "praktis" tanpa pertimbangan matang. Mungkin akibat hidup di jaman ini udah kelewat serba instan kali ya, sampai-sampai penyelesaian permasalahan, penanggulangan stress, dan juga pencarian jawaban dari keruhnya kehidupan adalah hal-hal yang untuk orang-orang jaman dulu mungkin tidak terpikirkan sebagai TREND yang bisa dengan mudah diaplikasikan, karena yang penting SELESAI CEPAT (meski mungkin sementara).

Contohnya?

Narkoba, miras, nyimeng, ngelem, seks pra-nikah, dan bahkan sampai bunuh diri. Tuh, semuanya pelarian yang seolah "nikmat" bukan? Meski mungkin efek tenang dan "nikmat"nya hanya sesaat, kecuali bunuh diri.

Di dalam video semenit itu ada satu pesan singkat tapi sarat makna menurutku. Bukan karena aku yang buat ya, tapi karena memang jika dimaknai lebih dalam begitulah adanya. Di awal, saat tulisan WARNING muncul kita tak bisa melihat apapun kan? Semua tampak sama, coklat, dengan pantulan dari hal-hal yang ada di atas permukaannya. Setelah ditunggu, sedetik, dua detik, akhirnya muncul setitik putih (yang tak lain adalah bola-bola yang digunakan untuk ball milling di proses sebelum penyaringan). Makin lama titik putih itu semakin jelas, semakin nampak bentuk bolanya, bahkan semakin banyak.

Wow, itulah ke"nikmat"an yang kita cari, itu tujuan yang kita idamkan setelah menunggu proses penyaringan sekian detik!!!

Eits, tunggu dulu. Yakin sampai di situ saja? "Bahkan solvent-nya aja belum benar-benar habis, bersabarlah dulu," begitulah kata bisikan-bisikan sekitar (eh, kok jadi serem sih?) Bukan, bukan memberikan kesan seram begitu maksudnya, hanya saja setelah kita perhatikan lebih lama lagi, sama: ditunggu sedetik, dua detik, akhirnya muncul kembali setitik putih (yang tak lain adalah bola-bola Aluminum Oxide dengan ukuran lebih kecil). Nah, dan beberapa saat kemudian ternyata dasar saringan tersebut telah nampak sepenuhnya, dengan bubuk coklat-gelap-basah yang memenuhinya.

Lalu?

Yang jelas sekali, bahwa bubuk coklat-gelap-basah itulah tujuan utama dari proses penyaringan itu, sebelum akhirnya di-drying semalam sebelum di-heat treatment. Mungkin yang kita anggap sebagai "penyelesaian cepat" dari suatu persoalan terkadang tak benar-benar penyelesaian yang tepat. Karena terkadang perlu ada satu syarat lain yang bernama SABAR untuk mencapai sepenuhnya penyelesaian dan jawaban suatu permasalahan. Bukan sekedar "selesai cepat" yang kita butuhkan untuk mencapai garis finish kebahagiaan dalam hidup, akan tetapi lebih jauh lagi adalah seberapa tepatkah penyelesaian yang kita terapkan untuk mencapai garis finish?

Dan lagi, untuk mendapatkan sebuah pelarian atau penyelesaian permasalahan yang muncul di keseharian kita, kucoba memberikan sebuah visualisasi sederhana seperti ini:
Memang mati itu pasti, tapi apakah harus "mati saat ini" (dengan bunuh diri) untuk mendapatkan ketenangan abadi? Memang merasakan "nikmat" itu pasti, tapi apakah harus sex dini (sebelum menjadi suami-istri) atau narkoba (dan juga zat-zat lain pembuat kecanduan sejenisnya) yang akan menjadi media terbaik untuk merasakannya?
Toh, masih banyak pelarian lainnya kan? Bahkan ketenangan batin, kesehatan jiwa, dan juga kestabilan pikiran bisa didapatkan dengan cara-cara asyik yang lebih berdampak positif dengan efek yang lebih permanen, bukan begitu?

EPILOG
Oke, mungkin udah kepanjangan nih. Jadi sekian dulu ya coret-coret absurd tentang video abstrak semenit tadi. Untuk coret-coret lainnya, tentunya yang lebih terkonsep dan tak seabsurd ini, harap ditunggu saja momentum rilisnya ya! Selamat menikmati penghujung hari Minggu...

#KotakAjaib

Monday, November 27, 2017

Wahai Para Pencari Gelar Akademik...

*sangat direkomendasikan untuk dibaca via browser PC, karena jika via handphone ditakutkan banyak format yang tak terbaca jelas dan mengurangi makna tulisan*

PROLOG
Halo para pegiat literasi, baik para penulis maupun pembaca, terutama pembaca setia blog ini (sok yes banget nih author-nya, kaya ada yang mau baca tulisannya aja -_-). Udah beberapa hari blog ini nggak meng-up tulisan-tulisan pemantik emosi jiwa seperti biasanya nih (eh). So that's why, kali ini penulis hadir dengan salah satu topik fresh from the oven tentang disorientasi dari PPGA (Para Pencari Gelar Akademik). Kira-kira apa sih yang akan diulas? Hihihi, tenang aja ini cuma opini kok. Di awal aku state dulu aja deh, bahwa apa yang aku tuliskan di sini adalah murni opini dan hasil olah pikir logis-obyektif dari penulis (karena pada dasarnya memang penulis tidak berhubungan langsung dengan tokoh-tokoh yang muncul di tulisan kali ini) yang bersumber dari maraknya berita-berita tak sedap yang ber-seliwer-an di dunia maya. Then, untuk kelanjutan serta perkembangan terhadap yang bersangkutan bagaimana silakan ditelusuri sendiri saja dengan modal keingintahuan masing-masing. Untuk apa? Tentunya untuk bisa diambil pelajarannya, tanpa mendiskreditkan kemampuan asli mereka.

Setahun lebih menjadi PPGA di negeri orang tentunya banyak sekali yang dirasakan, entah atmosfer perbedaan budaya dengan tanah air Indonesia, perbedaan bahasa komunikasi sehari-hari, maupun proses interaksi dengan manusia-manusia antar-bangsa, yang diakui atau tidak, jelas memengaruhi kondisi pola pikir. Dari mulai pembuktian dari sebuah anggapan naif masa kuliah tentang "yang penting itu ilmunya, bukan nilainya" hingga kondisi di mana ada "kesempatan hiperbolik" saat ditanya oleh sebagian orang di tanah air tentang apa yang aku lakukan saat menjadi PPGA.

Oh iya, sebelum kulanjutkan cuap-cuapnya, alangkah lebih baik jika kudefinisikan dulu saja mengapa judulnya menyinggung tentang Para Pencari Gelar Akademik (PPGA). PPGA di sini kudefinisikan sebagai para penuntut ilmu yang telah melepas masa pendidikan dasar (yang standarnya sekarang adalah dua belas tahun = SD, SMP, SMA, atau yang setara).

Nah, lalu mengapa definisinya cetek sekali, hanya Pencari Gelar Akademik? Bukankan kita belajar itu mencari ilmu? Bukan hanya gelar akademik, kan?

Hahaha, tenang. Di judul ini aku hanya mencoba menuangkan sebuah istilah realistis (yang kadang keblinger juga jadi pemikiran praktis) bahwa dalam kondisi mendapatkan ilmu atau tidak serta memahami atau belum tentang apa yang tengah/telah dipelajari, itu bukan jadi soal, toh kalau selesai ujian skripsi/tugas akhir/tesis/disertasi/dll dan dinyatakan lulus oleh dosen penguji/profesor, gelar akademik jelas akan mengikuti sebagai embel-embel tambahan di nama kita kan? Entah nantinya dimanfaatkan sebagai "tanggung jawab moral" yang positif dalam pembangunan bangsa dan negara (wih, tinggi banget bahasamu, thor!!!) atau hanya sekedar gegayaan untuk disematkan dalam undangan nikahan (please this is not an offense for anyone, I'm just realized this kind of thing's real in our society).

Oke, yuk kita lanjutkan bahasannya.

Jadi di atas telah kusinggung tentang sebuah anggapan naif masa kuliah tentang "yang penting itu ilmunya, bukan nilainya" hingga kondisi di mana ada "kesempatan hiperbolik" saat ditanya oleh sebagian orang di tanah air tentang apa yang aku lakukan saat menjadi PPGA. Then, mari kita ulas satu per satu.

Anggapan Naif itu Terkadang Memang Naif
Ada yang bertanya apa makna NAIF? Silakan googling atau buka saja Kamus Besar Bahasa Indonesia untuk melihat lebih lanjut makna dari kata itu.

Jadi siapa yang belum pernah dengar petuah naif bijak:

"Dalam mencari ilmu itu yang penting itu ilmunya, bukan (nominal) nilainya."

atau yang sejenisnya? Tentunya semua pelajar pernah mendengar/membaca petuah-petuah semacam itu bukan? Yang realita sesungguhnya, petuah itu muncul sebagai manifestasi dari upaya menenangkan perasaan seseorang yang secara random (nominal) nilainya tidak semenakjubkan kemampuannya hanya karena faktor X (yang banyak sekali) di luar kuasa yang bersangkutan, sehingga menyebabkan hasil akhir/nilai yang diperoleh dalam proses menuntut ilmu itu tidak sebanding dengan harapannya (seseorang yang memasuki kondisi terdeviasi dari harapan awalnya).

Sering bukan kita mendapati kondisi deviasi semacam itu?

Ya, untuk itulah petuah naif bijak itu muncul.

Tapi jika dikaitkan dengan kondisi real dari sebuah perjuangan menjadi scholarship-based-PPGA di negeri orang (terutama dengan perbedaan bahasa pengantar (bukan English) yang sangat amat menyiksa), dengan sebuah target fix dari Departemen bahwa no good mark = no scholarship. Maka (nominal) nilai adalah hal mutlak yang diperlukan untuk bertahan hidup. Entah bagaimanapun caranya, tanpa nilai baik, kita tak akan pernah bisa melanjutkan untuk menguras ilmu yang ingin kita dapatkan (di sini).

Jadi, solusinya?

Belajar, pahami, dan terapkan dalam ujian secara maksimal.

Kalau masih gagal?

Tandanya proses yang kita lakukan dari "belajar, pahami, dan terapkan" masih perlu ditingkatkan. Tapi ada alternatif lain sih untuk menghindari kegagalan, seperti yang telah diterapkan oleh kawan-kawan satu laboratoriumku dalam menghindari kondisi "gagal" itu menjadi the real failed, yaitu dengan lebih aware dengan kemampuan di mata kuliah yang diambil.

Maksudnya gimana tuh?

Oke, jadi ilustrasinya gini:
___________________________________________________
Di suatu semester yang indah, ada satu mata kuliah yang bisa dibilang sangat menggalaukan. Bagaimana tidak, dari quiz ke-1 hingga ke-3, tak ada satupun mahasiswa di kelas yang lulus, bahkan mencapai rata-rata pun tidak. Karena pada dasarnya mata kuliah ini menyandarkan pada "hafal rumus" beserta turunannya. Hingga tibalah saatnya mid-term (ujian tengah semester) yang bisa dibilang adalah saat-saat yang mengguncang, karena penentuan nilai ujian ini adalah 30% dari keseluruhan nilai akhir.

Lalu, hasilnya?

Dua dari empat mahasiswa internasional (penghuni labku) gugur dan melakukan aksi membuang mata kuliah tersebut (drop mata kuliah) dari daftar semester itu. Karena hasil mid-term mereka yang diakui sendiri "sangat tidak mungkin untuk lulus". Yang secara otomatis risikonya adalah mereka berdua harus mencari mata kuliah lain untuk memenuhi kuota SKS lulus mereka, di semester depan.

Nah, kamu masuk di antara mereka berdua kah?

Nope, aku bersyukur di mid-term dan final exam masih masuk dalam nilai rata-rata atas kelas. Dan dengan modal nekat serta masih menggantungkan harapan besar pada satu final project yang bernilai 30%, kulanjutkan mata kuliah itu hingga akhir semester. Alhamdulillah hasilnya tak mengecewakan, at least doa orang tuaku masih mampu membujuk Allah SWT. untuk meng-khilaf-kan profesor dalam memberikan nilai terbaik (yang cocok buatku) dalam versinya.

JADI INTINYA, MAINKAN SAJA TRIK KHUSUS (tentunya yang halalan thoyyibah) UNTUK LOLOS DARI JEBAKAN GAGAL DALAM MATA KULIAH. Boleh yang nekat dan modal doa ala aku, atau yang spekulatif ala dua kawanku tadi.
___________________________________________________

Tuh, terbukti bukan bahwa petuah/anggapan naif itu terkadang memang naif? Karena pertaruhan nilai menjadi modal awal kelanjutan jenjang pendidikan PPGA di negeri non-English-based ini. Tapi pastinya, meski harus kejar (nominal) nilai jangan sampai melupakan pemahaman ya!!!

Kesempatan Hiperbolik yang Terbuka Lebar
Nah, sebenarnya ulasan di sub-topik sebelumnya hanyalah pemanasan saja. Karena klimaksnya ada di bagian ini. Masih ingat dengan cerita unik tentang mahasiswa kita (yang menuntut ilmu) di Eropa berinisial DH dengan segudang prestasi "indah"nya? Atau dengan kisah miring mahasiswa kita di negeri Jiran yang berjuluk Krimi dalam kumpulan tweet ini? Atau satu lagi, dokter luar biasa berinisial TI yang menurut postingan ini memiliki banyak kejanggalan cerita? Atau selain itu ada juga sih pembahasan lokal oleh kawan-kawan sekitar tentang mahasiswa keren berinisial YDP yang tak kalah fenomenal juga, yang berpotensi ditakutkan jika gaya hiperbolik-nya berlanjut akan bernasib seperti tiga contoh sebelumnya.

Menjadi PPGA, terutama di negeri orang (luar Indonesia), apalagi yang telah masuk dalam jenjang Graduated Program (pasca S1), adalah sebuah kesempatan luar biasa yang patut dibanggakan disyukuri.

Mengapa demikian?

Lho, masih dipertanyakan? Jadi begini, kira-kira berapa banyak sih kids jaman now generasi milenial yang memiliki mimpi untuk berkuliah di luar negeri, atau setidaknya menjadi penakluk benua lain dalam hal keilmuan? Aku yakin sangat banyak! Dengan mempertimbangkan syaratnya yang tak mudah, berkasnya yang tak sedikit, serta prosesnya yang jelas tak semulus paha ayam siap saji yang kulit crispy-nya telah dikelupas, alasan-alasan itu kurasa sudah sangat cukup menerangkan bahwa predikat PPGA luar negeri adalah salah satu hal yang sangat patut disyukuri. Belum lagi yang berhasil tergabung dalam kampus tersohor, yang merupakan impian setiap orang, TU Delft misalnya (kalau ini sebenarnya kampus impian penulis). Atau yang paper-nya lolos dalam jurnal dengan track record pemilik impact factor "dewa", semacam NATURE misalnya (yang ketika berkaca pada jurnal Nature Materials saja IF-nya bisa jadi tembus 39++ di tahun 2016).

Tuh, bayangkan betapa kerennya mereka-mereka itu! Yang secara normal pun, tanpa harus bertindak hiperbolik, memiliki kesempatan luar biasa untuk menjadi fenomenal.

Akan tetapi entah mengapa di zaman ini orang-orang lebih cenderung untuk memilih jalur instan untuk menjadi tenar, sekedar demi mendapat mention sebagai "sang penakluk", "Habibie masa depan", dan sebagainya. Mengapa tak menjadi biasa saja? Mengapa tak "keren" sesuai prosedur saja? Atau jika memang terlalu kebelet "penghargaan", usahalah sedikit lebih keras! Yakin kok, dengan modal menjadi PPGA luar negeri, di kampus tersohor, paper lolos di jurnal bagus, dengan disokong sedikit usaha yang lebih keras saja hasilnya akan memiliki impact jauh di atas rata-rata PPGA lain yang tak seberuntung kalian. This is FACT.

Tapi kan budaya hiperbolik yang kau sebut tentunya juga tak muncul tiba-tiba kan? Ada sebab musababnya bukan?

Ya, jelas kelakuan hiperbolik ini muncul "bukan hanya karena niat pelakunya, tapi juga karena ada kesempatan". Itulah mengapa dalam bagian ini kutuliskan sebagai Kesempatan Hiperbolik yang Terbuka Lebar setelah kita menjadi PPGA (utamanya di luar negeri).

Jadi menurutmu faktornya apa?

Hmm, ini sulit, karena pada dasarnya aku hanya mampu menganalisis dari sudut pandangku sendiri sebagai orang ketiga yang tak memahami latar belakang orang-orang yang ngebet tenar tadi. Tapi setidaknya kucoba tuliskan faktor-faktor yang menurutku sangat berpotensi menimbulkan kesempatan hiperbolik itu keluar secara tiba-tiba atau ditunjukkan oleh seseorang.

1. Faktor Inner Circle
Di faktor yang pertama ini aku jelas menyoroti lingkungan kehidupan dari PPGA. Dalam hal ini adalah keluarga, sahabat, hingga teman-teman dekatnya. Menurut pandanganku, tindakan pencitraan hiperbolik ini tak akan muncul jika PPGA memiliki inner circle yang mampu menjadi "tempat sampah" sekaligus "chamber of secret".

Maksudnya?

Maksudnya adalah, jika inner circle dari PPGA terbiasa untuk menerapkan "budaya apresiasi" yang seimbang (pujian dan kritikan selalu seiring sejalan diberikan padanya tanpa tedeng aling-aling), menurutku PPGA tak akan pernah sekali-kali mencoba untuk memanfaatkan kesempatan hiperbolik yang ada. Lalu untuk chamber of secret yang kumaksud di sini adalah mengikuti pola filosofis dari ruang rahasia dalam serial novel Harry Potter karya J. K. Rowlings. Di mana inner circle (sebagai chamber of secret dari PPGA) akan selalu available jika dibutuhkan, baik untuk mendengar keluh kesah saat risetnya sedang tak memenuhi target, meminta saran jika kesulitan untuk mengomunikasikan sesuatu kepada profesor, atau juga membutuhkan apresiasi ketika dia mencapai prestasi tertentu yang membanggakan. Kupikir inner circle yang baik akan selalu mampu menjadi supporting system yang (dengan caranya sendiri) mampu memberikan inspirasi pada PPGA agar apa yang ia lakukan selalu mengarah pada kondisi atmosfer positif sesuai dengan jalan yang ia pilih sebagai researcher*.
*note: menurutku PPGA yang telah melewati masa S1 dapat dikategorikan sebagai peneliti/researcher baik dia menekuni bidang sosial maupun sains dan teknologi.

2. Faktor Kurangnya Pengalaman GAGAL
Dalam faktor kedua ini, kucoba untuk mempersempit scoop. Jika di faktor pertama tadi lebih ke menuntut pada lingkungan, sekarang di faktor ini aku memberikan ruang untuk para PPGA agar berintrospeksi diri. Karena menurutku, kesempatan hiperbolik itu tak akan pernah dimanfaatkan oleh PPGA jika dia telah mengantongi banyak sekali pengalaman gagal.

Wait, mengapa demikian?

Ya iya lah, kalau PPGA sudah kenyang, atau setidaknya sudah pernah merasakan pahitnya gagal dalam berusaha, tak ada lagi celah untuk berlaku sombong memanfaatkan kesempatan hiperbolik. Analoginya begini: menulis sebuah tulisan scientific berupa paper itu tak mudah, belum lagi jika dalam bahasa Inggris, harus melewati tahapan proof reading yang otomatis harus sesuai dengan bahasa keilmuan. Paper yang telah siap dipublikasikan, akan melalui tahap submit dan review dari redaksi jurnal yang menjadi tujuan sebelum nantinya ada proses revise atau reject. Bahkan menurut Jeff Grigston dan Ben Mudrak dalam tulisan ilmiahnya di 2016 yang berjudul The State of Authorship: Maximizing Impact with the Time and Money You Spend sebuah paper membutuhkan setidaknya 250-350 hari perjalanan, sejak di-submit hingga published (jika prosesnya lancar).

Wow, panjang bukan? Itulah mengapa untuk menjadi "keren" sangatlah tak mudah, berapa banyak PPGA yang gagal lebih dari sekali dalam melakukan publikasi ilmiahnya? Sangat banyak! Bahkan masih menurut Jeff Grigston dan Ben Mudrak, ada banyak sekali PPGA yang tak lebih dari 8 hari publikasinya ditolak hanya karena ketidaksesuaian format (mengalami desk rejection).

Kupikir gambaran itulah yang seharusnya dicermati bagi PPGA di manapun berada. Bahwa keberhasilan yang telah diraih bisa jadi belum apa-apa, apalagi jika keberhasilan tersebut diperoleh tanpa melalui proses gagal dulu, masih ingat pepatah "roda kehidupan itu berputar"? Nah, dari situlah seharusnya kita tidak memanfaatkan kesempatan hiperbolik saat berada di puncak roda, toh masih ada kesempatan berada di lembah kegagalan terbawah kan?

3. Faktor Kedekatan Individu dengan Tuhan-Nya
Nah, sudah paham polanya? Di tulisan kali ini aku menggunakan model reducing area. Jika di faktor pertama lebih ke arah mengambing hitamkan lingkungan (inner circle), di faktor kedua lebih ke arah hubungan PPGA dengan pengalaman yang didapatkannya, maka di faktor ketiga ini aku memperkecil kembali scoop-nya pada perhelatan batin.

Intinya nggak banyak sih yang ingin kusampaikan di faktor ketiga ini, karena pada dasarnya setiap orang yang semakin dekat dengan sang penciptanya pasti menghindari melakukan hal-hal buruk. Dengan alasan praktisnya mungkin adalah: takut dosa. Akan tetapi lebih dari itu, alam bawah sadar orang waras akan secara otomatis bisa memikirkan dampak seperti apa yang akan terjadi jika kebohongan kesempatan hiperbolik yang dimiliki oleh setiap PPGA (khususnya yang berada di luar negeri) akan ketahuan TAK SE-HIPERBOLIK apa yang telah disampaikannya lewat self-marketing yang dilakukan.

EPILOG
Akhir kata, selamat menjalani hari-hari sebagai PPGA di manapun kalian berada. Ingatlah selalu bahwa kejujuran dan integritas adalah dasar bagi setiap keberhasilan dan hal-hal positif yang nantinya akan kita bawa ke tanah air, demi kemajuan bangsa Indonesia di masa depan.

Sampai jumpa di ulasan lainnya...
#KotakAjaib

Thursday, November 9, 2017

Another Point of View about "Sepuluh Nopember" Spirit: BMI Juga Pahlawan

PROLOG
Saat tulisan ini diketik sejujurnya aku sedang dalam keadaan random dan tak terlalu bersemangat berbagi curahan hati dan olah pikiran seperti biasanya. Sehingga hampir saja tulisan kali ini tersemat di media lain, tentunya selain di blog yang usianya sebentar lagi genap 10 tahun ini, anyway media lain itu bisa saja di GNFI, time-LINE, atau juga tempat-tempat lain yang bisa jadi lokasi bertenggernya karya corat-coretku. Tulisan kali ini tak terlalu banyak mengulas hasil perenungan dan pembelajaran dari kehidupan sehari-hari yang terjadi akhir-akhir ini, akan tetapi lebih ke arah penyesuaian sudut pandang dari sebuah momentum yang tepat sekali terjadi esok hari (saat baris ini diketik, jam digital di laptopku menunjukkan pukul 23:32 waktu Taiwan, tentunya pada tanggal 9 November 2017).

Sepuluh November 2017, sejak beberapa tahun terakhir ini aku terkesan dengan satu tanggal ini, bagaimana tidak, kampusku sebelumnya (saat S1) memiliki nama yang dijiwai dari semangat yang identik dengan tanggal ini, apalagi memang hari jadi Institut Teknologi Sepuluh Nopember memang ditetapkan pada tanggal 10 November, 57 tahun yang lalu. Belum lagi ditambah dengan anniversary Himpunan Mahasiswa Teknik Material dan Metalurgi (HMMT) FTI-ITS, yang menjadi salah satu tempat pendewasaan jiwa organisasiku selama S1, ditetapkan di tanggal yang sama 17 tahun lalu. Jadi, tahu kan betapa spesialnya sepuluh November buatku?

Nah, kali ini sepuluh November sedikit kuarahkan pada sebuah makna lain tentang kepahlawanan. Sebenarnya "pengarahan" makna ini timbul, salah satu faktornya adalah karena diskusi online antara Kawan GNFI dengan mas Bagus D. Ramadhan (GNFI writer) beberapa hari lalu. Yang pada akhirnya ternyata menelurkan sebuah konsep memperingati Hari Pahlawan 10 November dengan gerakan karya serentak mengusung hashtag (tagar) #DiaJugaPahlawan.

Lalu apa sih maksud dari #DiaJugaPahlawan ini?

Maksudnya adalah untuk memaknai Hari Pahlawan kali ini, kita mencoba untuk sejenak berpikir anti-mainstream dengan menggali sosok-sosok pahlawan lain dari yang selama ini kita ketahui: pahlawan proklamasi, pahlawan revolusi, dan pahlawan-pahlawan lainnya. It's ok jika memang peringatan 10 November adalah sebuah semangat menggelora yang digawangi oleh jasa para pahlawan dan arek-arek Suroboyo dalam upaya mengusir para penjajah, yang berujung pada tewasnya Brigjend. A. W. S. Mallaby saat itu. Akan tetapi, ketika kita menilik lebih jauh tentang apa itu pahlawan, banyak sudut pandang yang patut dipertimbangkan keberadaannya. Salah satunya adalah point of view dari PAHLAWAN itu sendiri. Analogi paling sederhana yang bisa aku sajikan adalah: bisa saja bagi salah satu pihak, si A dianggap pahlawan, akan tetapi justru di sisi lain si A ini dianggap orang biasa saja dan tak berperan apa-apa, ya kan? Nah, pola pikir seperti itulah yang saat ini coba kami (Kawan GNFI) netralisir, bahwa setiap orang memang memiliki sosok pahlawannya masing-masing, dan pada akhirnya kita semua juga patut untuk menghargai pahlawan versi masing-masing orang. Karena pada dasarnya kepahlawanan macam apapun jika tujuannya demi memberikan kontribusi bagi negeri tercinta (Indonesia), tentu efeknya tak akan pernah melenceng jauh dari sebuah upaya menyebarkan Good News From Indonesia.

So, kali ini aku ingin mengangkat sosok fenomenal yang berasal dari luar Indonesia.

Lho, katanya pahlawan Indonesia, kok malah dari luar negeri?

Weits, tunggu dulu dong, daripada menerka-nerka dengan pertanyaan semacam itu, lebih baik mari kita saksikan bersama video berikut ini!


Nah, di dalam cuplikan tak lebih dari semenit itu kita bisa lihat bersama beberapa fakta yang hadir tentang Buruh Migran Indonesia (BMI). Yap, merekalah yang kumaksud tentang sosok fenomenal yang berasal dari luar negeri. Label mereka lebih sering digeneralisir dengan sebutan diaspora Indonesia. Meskipun makna diaspora sesungguhnya tak hanya didominasi oleh BMI saja, melainkan juga termasuk di dalamnya pelajar/mahasiswa Indonesia yang menuntut ilmu di luar negeri, ex-WNI, dan bahkan juga para keturunan WNI yang hidup di negara lain.

BMI yang selama ini mungkin lebih banyak diberitakan hal-hal negatifnya saja di dalam negeri, entah dari sisi penyiksaan majikan, kasus kaburan dan perizinan ilegal, dan bahkan hal-hal tak mengenakkan lainnya, ternyata dari sisi yang lain mereka memiliki potensi besar untuk bisa menyandang predikat pahlawan, khususnya pahlawan devisa bagi Indonesia.

Bagaimana bisa?

Ya, meski ranking-nya tergusur (dari tahun lalu hingga awal tahun ini) dari posisi dua ke posisi enam, akan tetapi ternyata pemasukan devisa negara Indonesia yang berasal dari BMI sangat tak bisa dipandang sebelah mata: 140 triliun rupiah. Walaupun besaran itu tentunya lebih kecil jika dibandingkan dengan pendapatan negara Indonesia yang berasal dari sektor Kelapa Sawit (239 triliun), Jasa Pariwisata (190 triliun), Ekspor Tekstil (159 triliun), Ekspor Migas (170 triliun), dan Ekspor Batubara (150 triliun). Nominal-nominal tersebut didapatkan dari pengolahan data Badan Pusat Statistik serta Kementerian Perindustrian di tahun 2017.

Wow, 140 triliun lho, nominalnya tak sedikit ya ternyata?

Iya lah, maka dari itu BMI (atau sebagian orang masih sering menyebut mereka dengan TKI: Tenaga Kerja Indonesia) adalah salah satu sumber pendapatan negara yang besar. Bahkan, jika kita kembalikan ke diri kita masing-masing untuk berintrospeksi, "kamu sudah menyumbang apa saja untuk Indonesia? Sampai kadang terbersit pikiran merendahkan BMI dan membandingkan mereka dengan kedudukan para pekerja kantoran/industri di dalam negeri" (note: anggapan semacam ini seringkali terucap baik tersirat maupun tersurat dari celotehan orang-orang yang masih berpikir bahwa menjadi BMI/TKI hanyalah sebuah status sosial yang tak bisa dibanggakan). Padahal banyaknya BMI/TKI yang berasal dari suatu daerah seringkali dikaitkan dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut. Karena apa? Ya karena (bagi orang yang mengetahui) justru dengan hasil keringat BMI/TKI inilah terkadang suatu wilayah dapat memiliki insight yang lain tentang pola pikir untuk kemajuan dan modernisasi ke arah yang positif.

Wah iya ya, keren banget mereka! Kalau gitu aku juga mau jadi BMI/TKI ah...

Hahaha, boleh-boleh saja beranggapan dan berkeinginan demikian. Tapi kembali lagi, menjadi tenaga kerja di tanah asing tidaklah mudah. Butuh kesiapan finansial, mental, dan juga fisik yang tak biasa. Karena pada dasarnya menjadi BMI/TKI memiliki tanggung jawab yang besar untuk bisa menjadi pioneer bagi WNI lainnya yang ingin mengikuti jejaknya.

Maksudnya?

Pertanyaan bagus, jadi begini: jika ternyata keberhasilan sekelompok orang menjadi BMI/TKI di suatu negara justru menyebabkan peningkatan keinginan jadi BMI/TKI menjadi lebih tinggi di negara asalnya, sebut saja menjadi inspirasi bagi banyak orang lainnya, justru hal tersebut bisa dibilang sebuah efek yang terdeviasi.

Duh mumet bro!

Oke oke, jadi sederhananya begini, menjadi BMI/TKI digawangi oleh sebuah keinginan meningkatkan kesejahteraan, kesejahteraan yang secara praktis dan oportunis dapat dimaknai sebagai kesejahteraan pribadi dan keluarga. Akan tetapi jika kita menampik anggapan praktis dan oportunis itu tadi, seyogyanya menjadi BMI/TKI ini adalah sebuah tantangan unik. Tantangan untuk mengumpulkan modal sebelum nantinya kembali ke Indonesia, di sisi lain juga menyerap sebuah pola pikir maju yang (mungkin) belum dimiliki masyarakat dari suatu daerah untuk selanjutnya diadopsi dan dikembangkan menjadi sebuah lahan wirausaha dan jalan berdikari bagi BMI/TKI tersebut di lingkungannya, setelah kontrak kerja sebagai BMI/TKI habis dan mengharuskan mereka kembali ke tanah air.

Oh ya, ya, ya...

Tuh, beban moral dan tanggung jawabnya besar kan? Maka dari itu, yuk kita hargai pahlawan devisa kita ini. Kerja kerasnya untuk keluarga, lingkungan, dan bahkan negeri tercinta patut kita apresiasi sebesar-besarnya. Untuk itulah di hari pahlawan 10 November kali ini, aku ingin mengucapkan terima kasih kepada para BMI/TKI di seantero bumi dengan sedikit mengulas tentang jasa-jasa mereka untuk ibu pertiwi.

EPILOG
Selamat hari pahlawan 10 November!!!

Dari aku,
Rahmandhika Firdauzha Hary Hernandha
TKI*) di salah satu pulau kecil yang menjadi entitas politik milik Republik Rakyat Tiongkok, yang masih terus menuntut ilmu dan belajar memaknai kehidupan lewat setiap fenomena yang terjadi di sekitarnya.

*)TKI: Tenaga Kerja Intelektual

Friday, October 13, 2017

Bio-inspired Materials and Technology: About TRUST, PASSION, and HARD WORK

PROLOG
Yeay, suka banget deh sama tanggapan pembaca dari tulisan terakhir tentang Marriage, baru dua hari dirilis aja responnya udah macem-macem, ada yang chat kelewat curhat, ada yang DM nyasar ke diskusi "berbobot", dan bahkan ada yang ngomong langsung terkait responnya terhadap tulisan dua hari kemarin. Anyway, terima kasih atas support kalian (para pembaca) buat penulis amatiran ini ya, guys.

Kali ini aku cuma ingin berbagi pesan-pesan inspiring yang secara panjang lebar diselipkan selama mata kuliah Bio-inpired Materials and Technology oleh sang profesor di sela memberikan materinya pagi tadi. Sebelum keburu lupa dan menguap begitu saja, lebih baik kuketik saja malam ini.

"Thanks for choosing this class everybody, I never push you to stay here since the initial meeting. You just come and sit here until these continuous weeks for your own will, right?" ujarnya membuka ceramah panjang lebar setelah adanya insiden yang cukup memalukan untuk diceritakan. Tapi tenang, bukan tentang aku atau kawan-kawan Indonesia yang ada di kelas ini kok. So, just calm down. We're not making a shame to our beloved country.

<<<skip cerita memalukannya ya>>>

Jadi intinya hari ini tiba-tiba Prof. Tu Lee ngasih aturan unik yang beliau berlakukan di dalam kelasnya (setelah insiden memalukan itu):
1. Saat mengerjakan apapun, jangan pernah takut salah! Karena kita datang ke dalam sebuah forum diskusi adalah untuk memperkaya diri dengan pengetahuan, bukan untuk saling membanggakan apa yang sudah kita miliki. Jika ingin berkontribusi lebih di dalam forum diskusi, BELAJARLAH LEBIH GIAT menyampaikan pendapat, agar pendapatmu bisa dipertanggung jawabkan!!!
2. Dalam menggali ilmu pengetahuan sekarang ini telah banyak sekali sumber bantuan, tak peduli rekan satu laboratorium, rekan sekelas, Google (ini beliau sebut untuk mewakili internet), dan bahkan saya (profesor) sendiri. "You're free to ask me everything, and I won't take a fee," kelakarnya saat itu. Jadi jangan pernah berhenti mencari bantuan!!!
3. Kamu manusia, kamu makhluk sosial, jadi jangan tertutup apalagi malu untuk mencari tahu apa yang belum kamu tahu!
Dan sebenarnya tiga pesan itu saling berkelindan serta tak bisa dipisahkan satu sama lain, yang secara tersirat mampu menggambarkan keramahan yang ditawarkan institusi pendidikan (universitas) itu sendiri.

Eh, mengapa bisa demikian?

Karena ketika kita gali lebih jauh dari tiga aturan yang dikatakan Prof. Lee tadi, itu semua berhubungan langsung dengan tema menarik tentang keberadaan universitas yang dapat diulas lebih lanjut (salah satunya lewat tulisan kali ini). Universitas, tak peduli di manapun tempatnya, selalu menawarkan keramahan tersendiri bagi penghuninya.

Wait, keramahan seperti apa yang dimaksud?

Jadi begini, ketika kita berikan sebuah perbandingan antara studi lanjut (baik S2 maupun S3, ataupun postdoctoral sekalipun) dengan bekerja (karena ranahku di engineering, maka aku akan memberikan gambaran tentang menjadi engineer) di perusahaan, ditinjau dari gaji/pendapatan maka mereka berdua sangatlah tidak sebanding. Selaras dengan apa yang Prof. Lee katakan, "In a university, in your master or PhD program now, I bet you're get not much money in monthly, right?" yang saat itu jelas sekali diikuti dengan anggukan seisi kelas. Karena pada dasarnya kami semua, 12 orang (3 orang Indonesia, 3 orang Vietnam, 1 orang Mesir, dan sisanya Taiwan) yang mengambil mata kuliah itu, adalah penerima beasiswa baik master maupun PhD di NCU.

Memang, ketika ditinjau lebih lanjut, montly scholarship yang kami terima untuk S2 di sini adalah NT$10.000 dan S3 sekitar NT$15.000 (bisa lebih tergantung dari kinerja, statement ini berani kusebutkan karena kawan PhD satu ruangan labku menerima lebih dari NT$15.000 karena kinerjanya di atas rata-rata). Tapi bandingkan dengan kerja di perusahaan, "you know? A graduated master student, as an employee here (maksudnya di Taiwan), he/she can get at least NT$40.000 and of course it's bigger than yours now," kata Prof. Lee sekali lagi.

Tapi sekali lagi bukan sebatas acuan profit-oriented atau salary-centered yang ingin ditekankan dalam tulisan tentang institusi pendidikan yang kusodorkan pada kalian, dari pesan-pesan profesor yang berhasil kurekam hari ini. Karena memang ketika kita kaji lebih lanjut, universitas, tak peduli di manapun tempatnya, selalu menawarkan keramahan tersendiri bagi penghuninya.

Masih menjawab pertanyaan yang sama dengan sebelumnya, ada 3 hal khusus yang bisa kuulas. Pertama, universitas adalah tempat yang memberikan kemudahan mendapatkan pengetahuan tekstual: bagaimana tidak? Pada umumnya banyak profesor yang selalu siap sedia membimbing kita ketika kita mengalami kegalauan dalam mendaki puncak ilmu pengetahuan, belum lagi akses jurnal, paper, dan juga buku-buku yang sangat susah dicari oleh para R&D di perusahaan, sangat mudah ditemukan ketersediaannya di lingkungan universitas (statement ini terbukti dengan pengalaman pribadiku. Beberapa hari lalu, kakak tingkatku saat S1 dulu, yang sedang bekerja di salah satu perusahaan menghubungiku untuk mencari referensi demi menunjang pengembangan R&D perusahaannya); selanjutnya tentang memberikan kesempatan untuk memperbaiki diri: di sini sebenarnya ada hubungannya dengan yang ke-3, jadi alangkah lebih baik jika kugabungkan saja; yaitu universitas juga tempat paling pemaaf di dunia (setelah keluarga), meski low-money: di universitas kita diijinkan untuk salah berkali-kali, gagal berkali-kali, dan juga memperbaiki pekerjaan kita berkali-kali.

"Asal ada kemauan dan kesungguhan yang ditunjukkan dalam berusaha dalam mengerjakan eksperimen, di sana akan selalu ada jalan yang dibukakan profesor untuk membantu terlaksananya eksperimen kita dalam hal apapun (termasuk financial problem)," ini opini pribadiku ya.

Fungsi yang berlaku dalam proses ini hanyalah irisan dari fungsi waktu yang menjadi targetan pribadi kita, dengan fungsi hasil yang bisa kita usahakan secara maksimal dan sesuai kemampuan kita, fleksibel bukan? Sebagai contoh: jika kemarin kasusku (dengan kondisi sama persis) terjadi saat bekerja di perusahaan, bisa jadi aku terancam dipecat karena dianggap merugikan mereka berkali-kali. Bagaimana tidak? Kegagalanku (kudefinisikan sebagai ketidak-tercapaian target yang kutentukan sendiri dan disepakati dengan profesor, meski deviasinya kecil) dalam eksperimen sejak setahun lalu bisa jadi terhitung lebih dari 20 kali. Bayangkan saja jika di perusahaan, gagal mencapai target sekali saja mungkin sudah diomelin atasan, ya nggak?*
*pertanyaan bercetak tebal terakhir ini kutujukan untuk orang yang sering mengeluh dengan target pekerjaan yang kesulitan ia capai, serta orang-orang yang sering mengeluh padaku tentang atasannya yang lebih sering menuntut ini-itu daripada melakukan pembimbingan ^_^ (ya iyalah atasan di perusahaan mana ada membimbing kaya dosen/profesor)

"That's why you're paid higher in a company, than here (maksudnya ini ngomongin universitas). Generally, they want you to do more and make a profitable move for them. They don't care about your depression, your lack of knowledge, and maybe your far-from-good-life anymore. Because what they gave to you is a compensation from your works," imbuh Prof. Lee lagi.

Disadari atau tidak memang benar, mayoritas perusahaan masih banyak yang hanya mengejar profit dibandingkan harus mengurus ketidak-bisaan pegawainya dalam menjalankan tugas, padahal juga demi kemajuan perusahaan nantinya. Istilahnya: "kamu diterima di sini (perusahaan) sesuai kualifikasi yang dibutuhkan, kamu menyanggupi dengan kompensasi gaji sekian, ya sudah, kerjakan sebaik mungkin pekerjaanmu untuk memenuhi target perusahaan!" apalagi kalau sudah tiba-tiba atasan bilang: "ya gimana caranya kamu harus bisa, bagaimanapun itu tanggung jawabmu!" checkmate. Kita tak akan pernah bisa menolak, karena memang begitulah adanya (ini pengalaman yang kudapatkan dari hasil curhatan-curhatan para mantan (eh) maksudnya beberapa kawan yang bergelut di perusahaan).

Kompleks ya? Padahal cuma ngomongin studi lanjut (di universitas) dan kerja (di perusahaan).

Hahaha, ya begitulah. Setiap hal yang kita coba pikirkan lebih mendalam akan selalu berujung pada hal-hal kompleks. Oh iya di dalam tambahan petuahnya, Prof. Lee mengatakan bahwa universitas juga menyuratkan beberapa hal filosofis yang lebih mendalam dibandingkan dengan bekerja "terlalu dini" (di perusahaan), dalam hal menghadapi realitas kehidupan.

The first one is TRUST
Mengapa rasa percaya?

Sebenarnya meski di perusahaan juga jelas ada pembelajaran tentang kepercayaan, tapi entah mengapa pastinya tak akan diberikan seramah ketika kita berada di universitas. Dan lagi, di dalam sebuah proses mencari jati diri dan labeling terhadap diri kita masing-masing saat menempuh studi lanjut, kita semua memerlukan sebuah kepercayaan. Ambil contoh simple deh, seorang dokter tak akan didatangi pasien jika dia tidak dipercaya bisa menjadi perantara kesembuhan suatu penyakit, seorang penjual nasi goreng tak akan dibeli dagangannya jika kelezatan rasa masakannya tidak dipercaya oleh pelanggan, begitu juga riset yang kita lakukan tak akan bisa dipercaya oleh para reviewer atau juga masyarakat (ketika telah diterapkan) jika dalam prosesnya ditemukan sebuah mekanisme rekayasa/upaya pembohongan terhadap data yang dihasilkan, serta masih banyak contoh-contoh lainnya.

"Can I trust you?" tanya profesor tiba-tiba.
Jujur saat profesor menanyakan hal ini di depan kelas tadi aku senyum-senyum sendiri, seolah familiar* dengan struktur kalimat pertanyaan semacam itu.
*Penasaran familiarnya di mana? Cek ke sini atau ke sini ya!

Pertanyaan itu bermakna satu: KEPERCAYAAN YANG DIBERIKAN PADAMU ADALAH SEBUAH TANGGUNG JAWAB YANG AKAN KAMU BUKTIKAN BISA TERLAKSANA
"It prove anything," imbuhnya.

"Then, if you've said YES clearly, next question shall be: Do you need the trust?" dan sekali lagi kami ber-12 secara refleks mengangguk.

"Ok, the last: How do you gain the trust?"

Dan ini pertanyaan inti yang sejujurnya perlu pemikiran panjang ketika akan menjawabnya. Yang jelas mendapatkan kepercayaan itu tak mudah, perlu pembuktian bertahun-tahun, membutuhkan waktu yang lama dan intensitas usaha yang tak sedikit.

Bahkan profesor menambahkan, "It always takes time to be a trusted person, but if you do a wrong thing, thus in no time you can be fired from a trust label itself."

That second thing called PASSION
"Passion always connected with happiness, especially who's already found them in here (di universitas, maksudnya semacam menjadikan riset, eksperimen, menulis jurnal, dll sebagai passion). I've a passion in encourage people, I'm also passioning in research and writing paper, that's why now I'm a professor," ujarnya sembari merentangkan kedua tangannya lebar-lebar.

Memang sih, tak ada yang bisa menentukan tentang passion yang kita miliki. Karena yang tahu tentang diri kita ya jelas kita sendiri. Untuk itulah pada kata kedua ini melibatkan diri kita dalam menemukan jati diri, melibatkan pemikiran kita dalam menggali potensi yang kita miliki, dan melibatkan hati kita dalam merasakan "cocok-tak cocok" dari apa yang sedang kita kerjakan. Tentu saja dalam menemukan passion ini kita tak bisa sembarangan mengambil hanya permukaan-nya saja dari sebuah pengalaman, karena dalam proses penemuan passion, secara default seharusnya kita telah paham apa yang kita tinggalkan dan yang akan kita pilih selanjutnya: itulah yang dinamakan MEMPERTIMBANGKAN DENGAN MATANG.

"Sometimes maybe you feel guilty about your process, or maybe you feel don't get anything when you're finding your real passion. But trust me! You never lose anything from your experiences, it always has an interesting story to share and something worth to comprehend," kata profesor menggebu-gebu.

Last but not least is WORK HARD*
*or maybe we can say it as struggle

"Then, after you've found your passion. Do your best for that! WORK HARD for your passion until it becomes your way to success. But if you still need more time to find your passion, keep searching and struggling until you found it!" imbuhnya lagi.

Ya, untuk yang terakhir ini aku speechless, karena semua pesannya benar. Meski tantangannya jelas bahwa dalam bekerja keras menemukan passion ada kalanya perhitungan dan persiapan kita tak selalu berguna.

Nah, jadi bagaimana dong?

Ya sesuai pesan profesor, ada baiknya kita terus bekerja keras, terus memperhitungkan, merencanakan, dan mempersiapkan apapun untuk masa depan kita. Tak peduli kapan dan di mana passion dan kerja keras kita akan bermuara (maksudnya di bidang apa) nantinya.

"Life's not always predictable, that's why we only can study about bio-inspired materials and technology, but can't 100% replicate what's nature: the living thing or biological creature did. And let me tell you a secret!"

Dan mendadak kami terdiam (atau tepatnya bengong), "as an engineer, please don't always predict anything! Including your spouse-soon-to-be, because it shall be an unpredictable thing. Like me and my wife now, I never imagine committing my life to her, not cheating her with another, and do everything in my whole age with her until the rest of my life."

Hahaha, dan ujung-ujungnya profesor curhat juga di penutupnya. Ya, begitulah kira-kira apa yang beliau sampaikan secara panjang lebar hari ini. Oh iya mirip tulisan kemarin, di akhir tulisanku kali ini aku juga akan mencoba mengingatkan diriku sendiri, juga pembaca sekalian bahwa di dalam setiap pemilihan apapun di dalam hidup ini jangan pernah 100% memilih tanpa pijakan campur tangan Allah SWT. Yang ketika kukorelasikan dengan tulisanku dari awal sampai akhir, baik dalam memilih jalur studi lanjut, bekerja (di perusahaan atau lainnya), melanjutkan jalan memilih passion maupun menetap untuk mendalami lebih jauh di passion tertentu, ingatlah selalu:

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَن تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah/2: 216)
EPILOG
Dan penutup untuk tulisan kali ini adalah: selamat memaknai segala sesuatu di manapun dan kapanpun juga. Karena kita tak pernah tahu pembelajaran hidup macam apa dan seperti apa yang akan kita dapatkan ketika kita berada di suatu tempat atau waktu tertentu. Jadilah gelas setengah isi yang siap menerima pembelajaran dalam bentuk apapun!
Selamat ber-Jumat malam...

NOTE: Prof. Tu Lee ini adalah Head of Chemical and Materials Engineering Department, National Central University Taiwan, yang baru diangkat tahun ini. Thanks for your encouragement, Prof!!!

Wednesday, October 11, 2017

Talk about Marriage in "Critical Eleven" Random Review

PROLOG
Aku belum sempat sama sekali membaca novel Critical Eleven punya Ika Natassa, tapi entah mengapa kemarin tiba-tiba jariku dengan lancar menekan tuts keyboard dan mengetikkan dua kata dengan lancar dan tanpa jeda: "Critical Eleven" di kolom mesin pencari Google. Dan pada akhirnya mengarahkanku pada satu situs yang entah host-nya dari mana, menayangkan streaming film* Critical Eleven produksi Starvision Plus dan Legacy Pictures.
*sejujurnya ini merupakan tindakan tak patut yang tak boleh ditiru, tapi apa mau dikata, aku jelas tak bisa menonton film ini di bioskop Taiwan kan?

"Dalam penerbangan biasa dikenal adanya 11 menit kritis, yaitu tiga menit setelah take off, dan delapan menit sebelum landing. Di mana pada critical eleven itulah 80% kecelakaan pesawat terjadi."

Setidaknya itulah dialog yang terngiang di dalam pikiranku dan sempat kuingat, karena setelah kuubek-ubek mesin pencari lagi, aku tak menemukan tautan streaming yang kutonton kemarin. Niatnya adalah untuk amunisi menulis random malam ini (ya, ini random, karena kulihat tulisan terakhir di blog ini ada di kisaran tanggal 20an September 2017, makanya aku mencoba melemaskan jari-jari tangan ini lagi setelah beberapa hari berkutat dengan jadwal presentasi dengan perusahaan yang akan  kulakukan esok hari), akan tetapi ternyata tautannya hilang, alhasil kucoba ingat-ingat saja apa yang kemarin kusaksikan.

*SPOILER DETECTED*
Bagi yang belum nonton aku sarankan berhenti sampai di sini dan jangan melanjutkan scroll ke bawah. Atau terserah kalian saja lah, toh aku sudah mengingatkan.

Entah mengapa film ini menjadi film kedua yang membuatku membuka mata bahwa aku sudah tak kecil lagi. Bahkan masa remajaku telah terlewati hampir tiga tahun lalu. Karena definisi remaja menurutku adalah ketika usia dua puluh tahun berakhir, berdasarkan segala macam perkembangan fisik dan psikis yang kuanalisis sendiri secara unofficial.

Eh, btw memangnya yang pertama film apa?

Yang pertama ada film yang juga didasarkan pada novel, tak lain dan tak bukan adalah novel karya Aditya Mulya berjudul Sabtu Bersama Bapak. Sabtu Bersama Bapak adalah novel pertama pemberian Tira Kurnia Saputri, yang ia hadiahkan padaku saat kutantang dengan sebuah prosesi engagement menjelang aku berangkat ke Taiwan, saat itu di akhir tahun 2015. Tak lebih dari empat jam novel itu telah mampu menamparku dengan sebuah pesan-pesan sarat makna lengkap dengan visualisasi yang berhasil kuciptakan sendiri dalam pikiran dan imajinasiku: bahwa MENIKAH ITU BUKAN HAL MUDAH, dan memang ada tiga hal yang diserahkan perempuan kepada seorang lelaki saat ijab selesai diucapkan:
"Saya pilih kamu, tolong pilih saya untuk menghabiskan sisa hidup kamu, dan saya akan menghabiskan sisa hidup saya bersama kamu. Percayakan hidup kamu sama saya dan saya penuhi tugas saya padamu, nafkah lahir dan batin. Pindahkan baktimu, tidak lagi baktimu kepada orangtuamu, baktimu sekarang pada saya."
Setidaknya itu satu hal yang berhasil meredakanku untuk tidak salah langkah dan tergesa-gesa dalam mengambil keputusan serta perhitungan dalam melanjutkan kehidupan, khususnya kehidupan berumah tangga.

Oke, selanjutnya yang kedua adalah film ini: Critical Eleven. Karena posisinya aku belum pernah membaca novelnya, jadi aku hanya menuliskan hal-hal yang menurutku sarat makna based on filmnya, juga berdasarkan alur ke-random-an ceritaku malam ini.

Di awal film ini Anya yang bertemu secara tak sengaja dengan Ale di pesawat setelah insiden kehilangan mainan dinosaurus mini milik Anya dan juga adegan Ale meminjamkan sapu tangan kepada Anya, Anya sempat bergumam dalam hati bahwa setidaknya critical eleven ini bisa juga berlaku pada sebuah perkenalan. Yaitu tiga menit awal saat pertama kali berinteraksi, serta delapan menit akhir menjelang perpisahan. Di mana dari critical eleven itu konon seseorang mampu menyandarkan sebuah landasan akan seperti apa hubungan mereka pasca pertemuan itu. "Bisa jadi berakhir begitu saja, atau berlanjut menjadi sebuah hubungan indah di masa depan," kira-kira begitu kutipan kata-kata Anya yang kuingat.

Keputusan Anya dan Ale untuk menikah dan saling bergantung satu sama lain menjadi awalan menuju liku-liku kehidupan rumah tangga mereka. Anya yang harus meninggalkan pekerjaan, teman-teman, dan bahkan keluarganya demi ikut suami: "Ke manapun kamu pergi aku ikut! Kamu rumahku!" katanya pada Ale saat mereka menyaksikan kelap kelip lampu Manhattan (NYC, USA) melalui jendela apartemen mereka. Gambaran romantisme mereka tervisualisasi jelas melalui adegan ciuman, pelukan, dan berbagai macam gesture lainnya yang jelas menampakkan luapan cinta mereka satu sama lain pasca pernikahan.

Hingga akhirnya tantangan mereka datang bersamaan dengan kabar bahwa Anya hamil.

Nah, hamil kok tantangan?

Ya, karena di kehamilan Anya yang pertama inilah yang menjadi rumitan masalah utamanya dari film ini. Apalagi setelah anak mereka harus tiada setelah dilahirkan.

"Menguburkan anak dengan tangan sendiri itu suatu kesedihan yang mendalam bagi orang tua," ujar ibu Ale menasehati Anya (sekali lagi, setidaknya itu yang kuingat saat menuliskan jajaran kalimat-kalimat random malam ini).

Belum lagi bayang-bayang orang ketiga yang datang tiba-tiba, ah semakin lengkap tantangan kehidupan rumah tangga mereka. Ya, tiga tahun pernikahan Anya dan Ale menjadi gambaran mengerikan bagi cobaan dan rintangan dalam sebuah relaita take off yang mereka jalani.

Film ini sedih dong ya berarti?

Entahlah, menurutku di awal iya. Tapi ending-nya bahagia kok, selaras dengan judulnya: di mana delapan tahun setelah tantangan tiga tahun itu berakhir, kehidupan mereka "bisa jadi" bahagia dengan warna baru dari lahirnya buah hati mereka selanjutnya. That's the meaning of Critical Eleven from their marriage.

Jadi kesimpulanmu untuk tulisan malam ini?

Tak ada kesimpulan, hanya saja film kedua yang berhasil membekas di pikiranku tentang kehidupan pasca menikah ini (si Critical Eleven) menjadi salah satu film favorit setelah Sabtu Bersama Bapak (kalau ini sebenarnya lebih favorit novelnya sih). Bukan karena jalan ceritanya, atau juga judulnya yang sama persis seperti novel yang diadaptasi, akan tetapi lebih ke arah pembelajaran tentang (sekali lagi) MENIKAH ITU BUKAN HAL MUDAH. Perlu banyak sekali pertimbangan matang dan perhitungan yang tak biasa yang harus dilakukan, bahkan melebihi prosesi perhitungan termodinamika, kinetika, dan mungkin juga perhitungan Newton saat memecahkan konsep inersia.

Meski tetap saja landasannya adalah:
وَأَنكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِن يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Dan nikahkanlah orang-orang yang masih lajang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Q.S. An Nuur: 32)

EPILOG
Jadi, udahan nih nulis random-nya?

Udahan ah, kalau keterusan dan kepanjangan takut dikira galau, padahal sih cuma mau kasih pandangan kepada semua pembaca aja, bahwa MENIKAH ITU BUKAN HAL MUDAH. Butuh perhitungan dan persiapan matang sebelum benar-benar di-take off-kan (meski penulis juga belum pernah menikah sih ya, tapi kan ada yang bilang menasehati nggak perlu sempurna dulu kan?). Atau kalau kata Aditya Mulya (Sabtu Bersama Bapak) lagi:
"Membangun sebuah hubungan itu butuh dua orang yang solid, yang sama-sama kuat, bukan yang saling mengisi kelemahan. Karena untuk menjadi kuat adalah tanggung jawab masing-masing orang, bukan tanggung jawab orang lain."
Jadi, bukankah lebih keren jika kita (terutama sebagai lelaki) menguatkan diri* dulu sebelum pada akhirnya bisa menjadi imam bagi istri-istri (eh) kita kelak?
*menguatkan diri dari segi kedewasaan berpikir, mawas diri dalam mempertimbangkan segala sesuatu, dan mampu menunjukkan kematangan bertindak dalam setiap aksi atau manuver apapun yang akan dilakukan dalam hidup

Thursday, September 28, 2017

Sabar itu Berbuah Lancar: Langkah Membuka Blokir Internet Banking BNI secara Online

PROLOG
Tulisan kali ini spesial banget diinisiasi oleh kinerja terbaik (meski belum maksimal) yang telah aku rasakan dan nikmati dari PT. Bank Negara Indonesia (persero) Tbk, bank pertama milik negara yang lahir setelah kemerdekaan Indonesia.
Bagaimana bisa tulisan ini berasal dari kinerja BNI? Yuk lanjut ke tulisan utamanya aja.

Jadi peristiwanya terjadi di 11 September 2017, atau tepat 21 hari (tiga minggu) setibaku di Taiwan pasca menikmati SVE17. Menjadi perantau yang masih dependent dengan tanah air memang terkadang menyulitkan, karena di sisi lain segala urusan selama merantau (untuk studi) telah sepenuhnya migrasi dan ditransfer di negara domisili. Akan tetapi untuk beberapa hal masih membutuhkan bantuan pelayanan dari Indonesia, jelas lah kan KTP dan Paspor (milikku) masih berlambang Garuda Pancasila dan bertuliskan Warga Negara Indonesia.

Nah di hari itu (11/09) aku mendapatkan sebuah kronologis kejadian yang aneh dan menjengkelkan.

Apaan sih emang?

Oke, sesuai dengan apa yang aku sampaikan via pengaduan elektronik ke e-mail bnicall@bni.co.id tertanggal 11 September 2017 pukul 14:41 Waktu Taiwan adalah:

(click to enlarge)
Nah begitulah ceritanya, sumpek galau, bingung, dan juga takut campur aduk menjadi satu. Bagaimana tidak, jelas sekali jika di Indonesia tinggal starter motor, cari kantor cabang BNI terdekat dan bertanya ke CS untuk menyelesaikan masalahnya, 15-20 menit clear. Nah masalahnya aku sedang berada di tanah rantau, di mana yang kuketahui adalah bahwa kantor cabang BNI di luar negeri terdekat dari Taiwan hanyalah di Hong Kong dan Korea (entahlah jika ada yang lain). Ya kali plesiran ke negara lain cuma buat aktivasi beginian doang kan? Useless banget, meski sebenarnya mungkin asyik.

Akhirnya seminggu berlalu, sampai pada hari ke-8, tak ada balasan dari e-mail tersebut selain ucapan standar khas bot pembalas e-mail semacam:
Yth. Bapak/Ibu,
Terima kasih atas kepercayaan Bapak/Ibu kepada BNI.
Email Bapak/Ibu telah kami terima dan akan segera kami tindak lanjuti.

Hormat Kami,
BNI Call 1500046

yang justru menambah tingkat emosi dan sakit hati semakin bertambah. Akhirnya di hari itu juga, dengan masih memegang prinsip kesabaran, aku mengirimkan pesan untuk meminta agar kasusku segera ditindak lanjuti. Atau minimal diberikan langkah-langkah mudah untuk aktivasi akun internet banking via online, tanpa harus repot menghadap CS. Tapi di sisi lain aku juga menghubungi orang rumah (baca: keluarga di Indonesia) untuk menanyakan ke CS bagaimana tindak lanjut kasusku. Yang ternyata hasilnya:
"Mungkin masnya bisa telpon ke BNI pusat Jakarta, atau pergi menghadap CS kami untuk aktivasi saja bu. Karena kami juga tak bisa membantu lebih banyak jika bukan yang bersangkutan yang hadir."

Oh men, jawabannya sangat amat "di permukaan". Heranku saat itu adalah mengapa CS tidak menyarankan aku untuk membuat surat kuasa ke orang rumah untuk memercayakan pengurusan kasus yang kualami itu pada yang bisa dipercaya? Yang jujur, pada saat itu hanya hal seperti itulah yang terpikir olehku, saking butuhnya mengecek rekening itu secara berkala.

Hari-hari berlalu dengan prinsip sabar (atau lebih tepatnya pasrah) dengan aku yang terus memikirkan plan B jika suatu saat tiba-tiba aku diharuskan mengecek rekening itu karena "suatu hal". Then, my mood has changed today. Pasalnya, admin e-mail bnicall@bni.co.id tiba-tiba mengirimkan balasan surat cinta yang kukirim 17 hari lalu dengan solusi yang sangat amat membantu, yang mungkin tak banyak orang tahu (bahkan CS kantor cabang pun seharusnya dilatih untuk memberikan solusi semacam ini jika ada nasabahnya datang dan meminta keterangan penyelesaian)

Jadi langsung saja, begini langkah-langkah untuk membuka blokir Internet Banking BNI secara online yang disarankan oleh admin BNI via e-mail tersebut:

1. Masuk ke tautan https://ibank.bni.co.id/ yang tampilannya seperti di bawah ini:

Setelah itu segera alihkan pandangan di icon di bawah kolom log in
Tenang saja di sini kalian masih tetap tak akan bisa login kok, jadi segera alihkan pandangan ke icon-icon di bawah kolom log in.

2. Pilih lupa password (icon gembok terbuka)

3. Selanjutnya kalian semua akan ter-redirect pada halaman sebagai berikut:

Tentukan pilihanmu di sini
4. Untukku jelas kupilih mode online karena ketidak tersediaan ATM BNI di lokasi terdekat, yang setelah kutekan continue akan beralih lagi ke halaman sebagai berikut:

Jangan pedulikan angka merah, karena randomly mereka akan berganti-ganti
5. Lalu masukkan User ID kalian (yang digunakan untuk log in biasanya) dan juga kode verifikasi yang terdapat di layar BNI Internet Banking (angka merah). Dan klik continue, yang akan langsung teralihkan ke halaman:

Jendela ini jangan ditutup atau di-reload agar proses recovery akun kalian tidak terganggu lagi
6. Jika sepertiku, dengan kasus nomor handphone Indonesia yang 4 angka terakhirnya disematkan pada web tersebut telah hangus hampir 8 bulan lalu (karena lupa isi pulsa), jangan khawatir! Segera cek e-mail kalian yang digunakan untuk mendaftar akun internet banking dulu.

Di sini akan kalian temukan 4 digit angka untuk sekali log in sebelum dilakukan perubahan password
7. Selanjutnya masukkan 4 digit angka yang dikirim ke alamat e-mail (atau nomor handphone, jika masih aktif) yang sudah terdaftar di sistem saat pendaftaran pertama kali ke kolom yang ada di gambar langkah no 5, dan klik continue.

8. Selanjutnya akan muncul jendela untuk mengganti password akun kalian. Di sana ada beberapa acuan dan aturan untuk memilih password sesuai standar yang dianut oleh keamanan sistem BNI. Turuti sajalah, asal tetap menyamankan kalian dalam menghapal password pribadi.

9. Selesai, dan segera coba log in dengan password baru. Dijamin berhasil!!!

Yah, begitulah langkah-langkah mudah bagi siapapun yang sempat bingung dan kebakaran jenggot jika kasus serupa terjadi pada akun internet banking BNI kalian.

Saran bagi seluruh CS BNI cabang di seantero bumi:
Setidaknya kalian harus paham betul langkah-langkah yang memudahkan nasabah semacam ini agar ke depannya ketika ada nasabah yang memerlukan bantuan dan masukan saran terkait kasus yang mereka alami (tidak hanya tentang internet banking) jawaban kalian bisa sememuaskan admin e-mail pusat semacam ini. Karena toh seharusnya SOP terhadap semua kasus berasal dari sumber yang sama dan juga prosedurnya serupa.

EPILOG
Selamat mengikuti langkah-lagkah mudahnya, semoga membantu. Dan jika kalian (para pengguna internet banking BNI) belum pernah mengalami hal serupa, tak ada salahnya sebagai upaya preventif atau jaga-jaga segera tekan Ctrl+D di laptop masing-masing dan simpan link artikel ini. Mungkin saja berguna di masa depan. Dan satu lagi, yang terpenting dalam menghadapi situasi yang membingungkan semacam itu adalah kita harus SABAR dan dilarang putus asa dalam mencari jalan keluarnya.
Terima kasih untuk admin BNI pusat, karena berkat tanggapannya yang meski lama bisa diikuti dengan sangat mudah dan minim effort (selain butuh koneksi internet).

Friday, September 22, 2017

SVE17 4.0: Time to Go "Home" and Back to Work

PROLOG
Dan lagi-lagi, tulisan kali ini lahir dari manifestasi kesumpekan pekan ini yang disponsori oleh horizontal furnace. Memang sih, faktanya setiap furnace selalu punya tipikal yang sama: mudah dipanaskan tapi selalu lambat dalam penurunan temperatur saat annealing process. Dan kalau minggu lalu sumpeknya akibat temperatur furnace-nya lama turun saat annealing, eh minggu ini giliran ada seorang mahasiswa se-laboratorium yang secara serampangan menancapkan furnace (yang seharusnya) kerja di voltage 110 V ke port 220 V. Alhasil? Rusaklah beberapa komponennya. Untung (kata teknisinya yang datang ke lab hari ini) yang rusak cuma komponen seharga NT$4000-5000, dan sekitar seminggu lagi sudah bisa pulih. Coba kalau sampai dalaman elemen pemanasnya, yang (sekali lagi kata teknisinya) bisa jadi seharga NT$20000-30000, bisa-bisa para penghuni lab lainnya akan kebakaran jenggot dan secara kolektif menuntut si pelaku dengan minimal intimidasi sosial berlebih.

"At least, he must treat me some food for lunch or dinner. Because he just made my day too busy now," kata PIC ruang kerjaku.

Ah, bagi yang tak paham apa maksudnya, silakan di-skip saja PROLOG ini, dan lanjutkan langsung ke bacaan utama. Intinya kami pengguna furnace itu kesal pada si pelaku!!!

Oke, di seri SVE17 pamungkas kali ini sengaja ada agak lama rilisnya*, karena apa? Karena cerita kali ini merupakan penutup dan akan menjadi pembuka bagi cerita-cerita selanjutnya di semester ke-11-ku (dan juga seterusnya) nanti.
*padahal sih cuma alasan aja, wong telat rilis memang karena sibuk di lab dan kegiatan organisasi

Dan pasca menikmati tiga minggu yang sangat amat indah dengan berbagai macam cerita asyik yang telah tertuang di SVE17 1.0 sampai 3.1 kemarin, kali ini saatnya pulang.

On the way bandara
Bangun sejak jam dua pagi, memeriksa ulang segala hal yang memang harus dibawa "pulang" menjadi hal wajib karena perjalanan kali ini bukan sekedar lintas kota atau lintas provinsi, melainkan lintas pulau dan lintas negeri. Mama yang sedari tengah malam sulit tidur menjelang ke"pulang"an anak bungsunya ke tanah rantau, telah mempersiapkan bekal sarapan untuk beberapa porsi yang rencananya akan kami makan setiba di bandara nanti.

Di sesi ini bukan berarti tanpa hambatan dan cobaan. Karena mas-mas sopir yang sengaja kami ajak menemani perjalanan dini hari ini mendadak tak bisa dihubungi.

"Dek, misal kita berangkat sendiri gimana?"
"Ya udah sih, aku yang nyetir nggak papa, panjenengan nanti baliknya aja!"
"Oke, tapi papa tak coba telpon masnya dulu aja."

Setidaknya itulah percakapan desperated yang terjadi antara ayah dan anak yang telah mulai jengkel dengan keadaan serba mendadak yang sedang dijalani.

"Pak, kulo boten saget mengantar. Wonten teman saya yang menjemput setengah jam lagi ke rumah panjenengan," ujar papaku saat membaca nyaring pesan singkat yang masuk ke smartphone-nya. Waktu yang saat itu telah menunjukkan pukul 03.00 pagi (yang otomatis akan molor tiga puluh menit dari rencana jika setengah jam lagi pak sopir penjemput baru tiba) menjadi waktu yang sangat amat melegakan, apalagi setelah pesan tersebut terbaca nyaring, dan didengar oleh seluruh anggota keluarga kecilku. Alhamdulillah, ternyata benar tepat pukul 03.30 bapak sopir pengganti pun tiba dan kami berangkat menuju kota kenanganku selama S1: Surabaya.

Berangkatnya telat 30 menit, terus gimana dong?

Ya udah, mau diapakan. Alhamdulillah sih jalannya lancar dan kami juga sempat sholat Shubuh di Lamongan. Meski akhirnya setibanya di bandara Juanda molor empat puluh lima menit dari rencana awal.

Di Juanda
Bertemu dengan mamanya mbak Sufia, yang (maaf) nama beliau tak sempat kutanyakan saking gupuh-nya menunggu Fahrenzy Yona Aisha, FTSP ITS angkatan 2014 (adik tingkat semasa S1 yang pagi itu katanya mau mengantarkan interviewer LKMM TM-nya kembali ke Taiwan), for your information aja sih, dia sempat salah tunggu di terminal keberangkatan domestik.

Dan pada akhirnya setelah ritual foto-foto berikut...

Thanks untuk si tembem yang ada di foto ini, yang rela bangun pagi, belum mandi, nyeret adik kelasnya sejurusan buat nemenin ke Juanda, dengan insiden salah terminal, lalu tancap motor ngebut hanya demi beberapa pcs perangko, kasih cemilan dan say see you ke aku.

Dan makasih banget yang utama adalah untuk Papa, Mama, dan Zaky (kakak lagi standby kerja di Rumah Sakit) yang udah meninggalkan air mata di jaketku (ini mama) dan elusan di punggungku (ini papa) sesaat sebelum perpisahan kedua ku menuju Taiwan tahun ini.
...juga derai air mata penuh kesedihan khas mama (yang masih sama seperti tahun lalu), aku meninggalkan ruang depan Juanda menuju ke ruang tunggu di dalam. Oh iya, kenapa harus ketemuan dulu sama mamanya mbak Sufia? Karena memang di keberangkatan kali ini mbak Sufia dan mas Andri menitipkan pesan padaku untuk menemani mama/ibu mertua mereka ke Taiwan demi menjenguk putrinya yang sedang hamil tua.

Ah, aku kapan gitu ya? (eh, ini apaan deh -_-)

Hong Kong International Airport
"Mas, dulu alumni Material ITS kan ya? Mas Akbar bukan?"
"Eh, iya dek aku Taufik Akbar. Lha sampeyan namanya siapa? Alumni Material juga?"
"Iya mas, aku Ozha MT14. Pantesan aja tadi kaya familiar sama wajah sampeyan dari samping."
"Alhamdulillah, masih diinget adik tingkat."

Begitulah kira-kira percakapan antara alumni Teknik Material dan Metalurgi ITS yang telah memiliki gap usia sekitar tiga tahun saat bertemu di bandara di negeri lain. Tapi meski demikian kehangatannya masih terasa karena ada embel-embel MATRICE yang menyatukannya.

"Mau ke mana mas?"
"Aku mau ke Taiwan, kamu?"
"Sama, mas."
"Lho? Kamu kuliah di sana ya?"
"Hihihi, iya mas. Kalau mas?"
"Ada urusan kerjaan ini, besok ke Taipei terus ke Kaohsiung"

Percakapan-percakapan lain pun mengalir begitu saja di perjalanan kami menuju ke Prayer Room milik HKIA yang letaknya di dekat gate 42.


Next time kalau ke sana bisa mampir ya, bagi siapapun (Muslim) yang sedang membaca tulisan ini. Karena sayang kan ada tempat nyaman untuk sholat tapi nggak dipakai, dan kitanya malah milih "merasa boleh menjamak sholat", meskipun memang diperbolehkan untuk dilakukan saat bepergian semacam yang ada di cerita ini.

Taiwan, Akhirnya Aku Pulang
Hihihi, subjudulnya gitu banget ya? Maafkan, bukan karena aku sudah tak cinta Indonesia atau juga tak punya nasionalisme yang tertinggal dalam dada (tsaaah), tapi karena memang seperti itulah rasanya:

"Oh, sudah sampai bandara ini (Taiwan Taoyuan International Airport) lagi. Saatnya berkarya lagi dan beraktivitas seperti biasanya..."

Begitulah gumaman dalam hati saat itu. Aku tak paham mengapa demikian, sebab menurut testimoni beberapa kakak tingkat sih seharusnya saat kembali ke Taiwan pasca liburan summer pasti bawaannya males dan nggak rela ninggal rumah. Tapi entahlah, aku justru sebaliknya, apa memang ini bawaan dari "rencana"? (eh)

"Eh dek, sayang banget ya kita tadi nggak foto bareng untuk dokumentasi kalau pernah ketemu setelah sekian lama," kata mas Taufik Akbar via chat WA.
"Hahaha, nggak papa deh mas, mungkin lain kali," balasku.

Ya sudahlah, intinya kisah SVE17 ditutup lewat rilis terakhir kali ini. Dan semoga dengan ditutupnya kisah SVE17 ini menjadikan awalan yang indah untuk cerita-cerita selanjutnya yang akan rilis di blog ini kedepannya.

EPILOG
Udah, nggak usah pakai epilog ya, bye!!!

Wanna support???