Description

"Who you are, depends on what do you think about GOD and yourself."

#KotakAjaib
Copy-Paste boleh, asal cerdas! Jangan lupa cantumkan sumbernya ya...
http://tanpa-inspirasi.blogspot.com/

Saturday, June 18, 2016

June in Jakarta: A Relationship Stories

PROLOG
Namaku Rafi Handha, mahasiswa semester akhir di sebuah Institut Teknologi di Surabaya, Jawa Timur. Selama empat tahun ke belakang aku tak hanya aktif dalam bidang akademik, karena organisasi, dan laboratorium adalah rumah kesekianku selain kamar kos dan rumahku di Bojonegoro. Selain itu aku juga tergabung dalam tim trainer sebuah pelatihan khusus tentang manajemen mahasiswa di kampusku, dari mulai pengembangan diri hingga opini publik. Jalan itulah yang memulai kisahku kali ini.

Surabaya
"Assalamualaikum mas, rencananya pelatihan di kampus kami akan diadakan pada 30 Mei hingga 3 Juni 2016 ini. Nah, kami ingin meminta bantuan dari kampus mas untuk bisa menjadi trainer di pelatihan perdana kami tentang manajemen organisasi ini," tulis Rafly, Menteri Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa di BEM salah satu Sekolah Tinggi Teknik di Jakarta Barat, dalam personal chat yang dikirimnya padaku.
Aku sengaja me-read pesan tersebut dan tak langsung menjawabnya, karena memang pada saat itu aku sedang tidak available. Baru selang tiga puluh menit kemudian aku menyarankannya untuk mengirim e-mail ke Badan Koordinasi Pemandu, badan tertinggi yang membawahi para trainer pelatihan manajerial di kampusku, untuk mengirimkan undangan resminya. Tak perlu waktu lama untuk memutuskan, pada akhirnya akulah yang ditugaskan untuk pergi mewakili trainer kampusku untuk mengisi pelatihan tersebut.

Perjalananku dimulai pada tanggal 31 Mei 2016, Selasa pagi itu aku duduk di ruang tunggu stasiun Surabaya Gubeng (SGU) setelah mencetak tiket pulang dan pergi, tujuan akhir perjalananku kali ini adalah Stasiun Pasar Senen, Jakarta. Tak kurang dari tiga puluh menit aku menunggu di ruang tunggu, berbincang dengan sesama penumpang yang berencana akan merantau ke Jakarta untuk mengadu nasibnya pasca wisuda. Dia, alumni Universitas terkemuka di daerah Malang, banyak bercerita tentang perusahaan-perusahaan yang telah ia datangi sebelumnya untuk sekedar melamar demi mendapatkan rupiah. Dari perbincangan itu aku tersadar, betapa susahnya jaman sekarang untuk memperoleh pekerjaan.
"Ah, sudah waktunya menuju boarding," ujarnya.
"Iya nih, yuk berangkat!" kataku.
"Aku di gerbong 6, apakah kita satu gerbong?" tanyanya sebelum berpisah.
"Kurasa tidak, jawabku sembari melirik tiket yang telah kugenggam sedari tadi. Sampai jumpa ya, sukses di Jakarta..." ujarku seraya melambaikan tangan setelah tiketku distempel oleh petugas.
Kulihat dia hanya tersenyum kecut, entah apa yang dipikirkannya. Aku mengabaikan pikiran-pikiran tak penting tentangnya, kulangkahkan kaki menuju tempat pemberhentian kereta yang beberapa menit lalu telah berhenti. Langkah kaki ini terhenti pada kursi paling ujung di gerbong nomor empat, dekat kamar mandi. Perjalanku kali ini adalah yang pertama kalinya, maksudku bukan pertama kalinya aku naik kereta api, akan tetapi merupakan perjalanan pertama dengan tujuan tunggal dan tanpa teman.
"Halo mas, mau ke mana?" tanya penumpang yang duduk berhadapan denganku.
"Mau ke Jakarta Barat pak, turun di Senen. Bapak?" tanyaku.
"Saya turun Jatinegara nanti mas," jawab bapak itu singkat.
Selanjutnya terjadi keheningan tak kurang dari 14 jam dalam perjalanan itu. Tak sepenuhnya hening sih, karena beberapa kali aku juga mengobrol dengan seorang mahasiswa salah satu Universitas Islam yang akan kembali ke kampusnya di Jakarta, yang tak lain adalah adik kelas dari kawan yang kukenal lewat sebuah forum yang aku ikuti saat menjadi penerima beasiswa dari Djarum Foundation. Di sela ketiadaan percakapan tersebut kusempatkan untuk menulis tentang sesuatu yang aku posting pada timeline akun sosial mediaku, mungkin kau ingin tahu apa yang kutulis?


[FRIKSI DAN KETERLAMBATAN JADWAL]

Siang ini langkah kakiku sempat terhenti di teras depan rumah kos, memandang tingginya genangan air sisa hujan semalam. Hujan yang menurut analisis spekulasi beberapa sumber kurang terpercaya dan malu ketika disebutkan identitasnya, adalah ulah pawang hujan yang ingin acara puncak HUT Surabaya yang ke-sekian ratus lancar tanpa hujan. Tapi wong sekali lagi hanya spekulasi, tak usah dibaca terlalu serius lah.

Prolog tadi justru sebenarnya tak ada hubungan dengan cerita dan analisi abal-abalku kali ini. Skip proses berangkat dari ITS menuju stasiun Gubeng, karena agenda menggulung celana panjang hingga ke lutut untuk menghindari banjir tak menarik diulas dan digali.

13:48, itulah yang tertulis di atas print out tiket keretaku. Tujuannya tak usah diceritakan ya, yang pasti tujuannya mulia dan membawa manfaat, InshaAllah. Hingga pukul 13.58 ternyata kereta baru tiba di jalur lima stasiun Gubeng. Kereta yang berangkat dari Malang itu tiba di Surabaya terlambat sepuluh menit. Biasa kan ya?

Sangat biasa jika di Indonesia, terlambat lima sampai sepuluh menit tak akan jadi komplain berarti. Kecuali jika hitungannya sudah belasan hingga puluhan menit berkepala di atas dua.

Tapi kali ini saya tak akan membicarakan tentang sosialnya, kebiasaannya, atau yang seharusnya seperti apa.

Celotehan sore ini terpikir sesaat setelah kereta berjalan dan aku sudah duduk di dalam salah satu gerbong kereta ini.

"Gluduk gluduk, sreeek sreeek, ngik ngok, jedug jedug..."
Adalah suara-suara yang biasa muncul dari kereta api ketika berjalan. Entah hasil gesekan dengan rel kereta api, gesekan sambungan antar gerbong, maupun adanya perpindahan jalur kereta yang harus dilewati roda kereta api sehingga menyebabkan friksi.

Pernahkah kita berpikir bahwa mungkin saja, ini mungkin lho ya, friksi-friksi yang jadi penyebab suara-suara 'biasa' yang timbul pada kereta api saat berjalan itulah yang memiliki hubungan langsung tapi indirect (hayoloh bingung kon!) dengan keterlambatan datangnya kereta menuju stasiun-stasiun. Friksi-friksi itu menjadi penghambat yang "mungkin" tak masuk ramalan perhitungan dalam atribut yang entitasnya tertulis "waktu tiba kereta", jika fishbone diagram yang dibuat adalah tentang kinerja PT. KAI.

Pemikiran ini juga muncul setelah aku sempat mendengarkan kuliah singkat salah seorang kawan dari teknik Industri bahwa ada mata kuliah mereka yang isinya tentang menghitung durasi dari suatu rangkaian aktivitas, dan dianalisis menjadi waktu rata-rata "orang dalam melakukan aktivitas tersebut", sebut saja inisial namanya ABW.

Jika ilmu semacam itu sudah ada, lalu mengapa masih ada saja keterlambatan jadwal kereta? (karena yang saya bicarakan ini konteksnya adalah kereta)
Apakah tak dilakukan metode analisis yang sama dengan kereta api? Atau mungkin sudah dilakukan tapi kurang maksimum dan mendalam investigasinya? Atau mungkin saking expert-nya hasil analisis, kejadian kecil semacam friksi-friksi itu tak diperhitungkan?

Yah pertanyaan ini tak perlu dijawab lah, toh ini hanya salah satu side story yang ditulis orang kurang kerjaan yang duduk dalam kereta. Tapi jika ingin dijadikan bahan kajian dan perenungan bersama, penulis malah sangat berbahagia, karena hasil onani pikiran ini bisa menjadi dasaran munculnya pemikiran dalam bentuk yang lebih formal, semisal karya tulis. Itu hanya semisal lho ya, bukan permintaan.

Yah, sudahlah...
Saya tak bersiap wudhu sebelum sholat maghrib. Biar apa yang saya pikirkan nantinya bisa muncul akibat petunjuk dari-Nya, tak hanya hasil angan-angan 'akibat mendem cukrik' semata, kalau kata salah seorang dosen yang pernah saya temui.

Di atas rel, di dalam gerbong kereta api.
Selasa, 31 Mei 2016
#KotakAjaib


Jakarta Barat
Rabu (1/6) dini hari aku berjalan gontai menuju gerbang stasiun, ada rasa pening yang mendera karena beberapa jam ke belakang aku hanya menghabiskan waktu dengan tidur dan sesekali ke kamar mandi untuk buang air dan berwudhu.
"brrrrrrrrrrrr.... brrrrrrrrrrrrrrrrrrr...." terasa getar smartphone di saku parka-ku.
"Assalamu'alaikuum? Kamu di mana Fly?" tanyaku.
"Wa'alaikumussalaam, mas keluar aja terus dari gerbang. Eh, udah nyampe kan ya ini?" tanyanya balik.
"Sudah, aku sudah ada di gerbang, ini ke arah Sevel, kalian di mana?"
"Kami juga lagi di depan Sevel mas, mas di mananya ya? Mas pakai baju apa?"
"Udah tutup telponnya, aku lihat kamu..." kataku singkat.
Aku setengah berlari menghampiri kawan lamaku, namanya Rafly, setahun lalu aku bertemu dengannya saat ada di pelatihan yang sama, National Advance Managerial Training for College Students, yang diadakan di kampusku. Say hi dan pertanyaan tentang kabar menjadi awalan hangat pertemuan kali ini.
"Kita langsung ke kosan Bahar aja ya mas?" tanyanya.
"Yuk, aku sih ngikut aja," jawabku hangat.
Beberapa menit berlalu, mobil melaju melintasi jalanan menuju daerah Duri Kosambi, Jakarta Barat. Akhirnya setalah mobil terparkir di depan sebuah deretan toko-toko yang sudah tutup, aku berjalan bersama Rafly dan beberapa orang mahasiswa angkatan 2013 dan 2014, yang tak lain adalah adik kelas Rafly, menuju rumah kos Bahar. Oh iya, aku belum memperkenalkan Bahar, dia juga kawanku di pelatihan yang sama dengan Rafly. Dia sekarang menjadi ketua Badan Koordinasi Pemandu pelatihan manajerial di kampusnya. Sisa hari itu aku habiskan dengan sejenak meluruskan punggung di kamar kosong yang diperuntukkan untukku selama berada di sini, hingga Shubuh menjelang.

Pukul 08.00 WIB aku terbangun, dan di sebelahku telah tersedia beberapa botol air mineral.
tok... tok... tok...
"Raf? Udah bangun?" tanya Bahar.
"Hei, udah kok, mari masuk! Gimana kabarmu?" jawabku sambil mengucek mata.
Pagi itu Bahar membawakanku semangkuk bubur ayam untuk sarapan. Perbincangan kami terjadi sembari Bahar menyeterikan kemejanya. Obrolan tentang pelatihan kami tahun lalu menjadi topik hangat yang kembali membuka memori kenangan masa lalu. Karena kebetulan sehari sebelum keberangkatanku ke sini aku baru saja menjadi fasilitator dalam pelatihan yang sama seperti apa yang kami jalani setahun lalu. Setelah shalat Dhuhur aku berangkat menuju tempat pelatihan di daerah Cengkareng, bersama Rafly dan panitia lainnya. Kegiatanku dimulai pada sore hari, hingga esok sore. Yang aku bawakan adalah tiga materi inti dalam pelatihan tersebut.

Selama membawakan pelatihan tidak ada kendala sama sekali dalam penyampaian dan interaksi dengan peserta, karena memang analisis raw material dari peserta di kampus ini hampir mirip dengan mahasiswa Fakultas Teknologi Industri di kampusku. Hanya ada enam orang mahasiswi dari total keseluruhan peserta pelatihan itu. Mereka semua adalah mahasiswa yang aktif organisasi, memiliki rasa penasaran dan keingintahuan yang tinggi pada ilmu baru, dan yang pasti kritis dan aktif seperti layaknya anak teknik.
Pertemuanku dengan mereka membawa nafas pergerakan baru di kampus mereka, pasalnya ini adalah pelatihan manajemen organisasi (dalam bentuk Intermediate Managerial Training for College Students) perdana yang diadakan di kampus mereka. Hal tersebut diakui langsung oleh Adlan, yang juga merupakan salah seorang aktivis kampus di sini. Setelah materi selesai aku bawakan, seperti biasa aku meminta testimoni para peserta terkait dengan penyampaianku selama dua hari. Sesi pelatihan mereka diakhiri dengan show off dan pengukuhan alumni, yang tidak dapat aku hadiri karena memang sejak sore hari aku diantar menuju Depok oleh panitia.

Mengapa tujuanku Depok?
Ini adalah spin off dari kisahku kali ini. Rencanaku untuk menanyakan beberapa hal terkait persyaratan pra keberangkatanku ke Taiwan pada kantor Kedutaan Besar China di Indonesia, berujung pada perencanaanku untuk melaukan pertemuan keempat dengan seseorang.

Rafi Handha, yang tak lain adalah aku, telah menjalani hubungan jarak jauh dengan seorang mahasiswi Universitas terkemuka di daerah Depok. Namanya Raniasa, seorang cewek yang memiliki background anak teknik juga. Perkenalanku dengannya berawal dari........ (ah sudahlah), yang pasti pertemuan perdana kami ada di momen studi ekskursi kampusku tahun lalu, di salah satu laboratorium di kampusnya.
Raniasa, cewek mungil, berkerudung, imut, dan berperawakan childish. Tapi siapa sangka dia adalah tipikal cewek teknik yang strong (kuat) dan tough (tangguh). Saat ini dia sedang menjalani masa menjelang wisudanya, sama sepertiku, hanya saja bedanya dia sedang melakukan internship di salah satu perusahaan, berperan sebagai staf magang di bagian procurement. Setahun ini kami dekat, menjalani hubungan sejauh ratusan kilometer Depok-Surabaya. Tapi kami sama sekali tak memiliki kekhawatiran satu sama lain, karena hubungan kami didasarkan pada tiga kata unik,
I Trust You.

Depok-Jakarta Timur-Jakarta Selatan
Sudah cukup perkenalannya, pertemuan kami yang keempat kali ini dilewatkan di atas jalanan ibukota dan rel commuter line. Tanggal 3 Juni adalah H-1 aku harus kembali ke Surabaya, hari ini kami pergi ke Kedutaan Besar China di Indonesia untuk menanyakan sesuatu terkait persyaratan keberangkatanku ke Taiwan semester depan.
"Bener di sini kan ya?" kataku.
"Kalau dari bangunannya kayanya iya," jawabnya
Kami melangkahkan kaki menuju gerbang masuk gedung berpagar merah tersebut. Setelah meninggalkan tanda pengenal kami masuk ke dalam gedung tersebut. Sepi, tenang, dan tak banyak pengunjung.
"Kalau mau ke Taiwan, urusnya bukan di sini mas, tapi di gedung Ar*ha Graha lantai 12, kantor dagang TETO," jawab petugas yang ada di sana ramah.
Sepertinya perjalananku hari ini harus berlanjut ke sisi lain lingkungan perkantoran itu.
"Itu gedung tempat aku kerja, ternyata deket dari sini ya?" gumamnya.
Aku tak menjawab, hanya tersenyum ke arahnya. Entah mengapa sepanjang perjalanan hari ini aku lebih sering diam, berkutat dengan pemikiranku sendiri tentang masa depan, juga tentang wanita di sebelahku. Berulang kali gagal dan harus memutuskan hubungan dengan beberapa wanita, aku memang sudah mulai memahami bagaimana hubungan harus ada, bagaimana kinerja rasa percaya, keyakinan, dan juga rasa sayang ini berlaku di otakku.
Setelah keluar dari TETO, kami menuju stasiun Sudirman untuk menunggu kereta menuju Bogor. Perjalananku ke Bogor kali ini tak bertujuan khusus, hanya ingin quality time bersama, dan juga bertemu dengan teman lamaku lagi. Perjalanan kami dengan kereta kali ini melalui beberapa fase, di mana aku dan dia harus berdiri, ada kursi dan kusuruh Rania untuk duduk hingga sampai ke tempat tujuan.

Kebun Raya, Bogor

Istana Bogor di Kebun Raya Bogor, lihat siapa yang duduk sendirian di pinggir kolam?
Tempat ini sepertinya akan menjadi tempat kenangan selanjutnya bagi kami, tentunya setelah kampusnyaMadiun, dan Surabaya (Royal Plaza, Tunjungan Plaza, dan Stasiun Pasar Turi Surabaya). Sore ini aku bertemu dengan Angghita, kawanku yang kukenal lewat masa On the Job Training di Batu Hijau, Sumbawa, setahun yang lalu. Kami bertiga menyusuri jalan setapak Kebun Raya Bogor menuju Istana Bogor sambil sesekali berfoto. Angghita adalah tuan rumah yang baik, karena dia tak segan menjadi fotograferku dan Rania.
"Sini aku fotoin! Kan kalian tamunya,"
"Mau prewed di sini ntar juga boleh kok!"
"Kalian geser dikit, biar kelihatan Istananya."
"Kok kurang terang ya?"
Kata-kata itu yang diucapkan Angghita selama menjadi fotografer pribadi kami.
"Istananya di tengah ya, kita berdua di pinggir gitu," request Rania.
"Siaaap," ujar Angghita.

Perjalanan sore itu kami akhiri dengan sholat Ashar di Mall dekat Kebun Raya, setelah itu kami makan bersama di food court. Obrolan-obrolan ringan kami bertiga berlangsung hangat, sampai tiba waktunya aku dan Rania harus kembali ke Depok. Setelah sholat Maghrib kami undur diri dan berpamitan pada Angghita menuju stasiun Bogor.

Di Kereta menuju Depok
"Eh, di luar hujan lho!" katanya.
"Yaudah, biarin. Kamu bawa payung?" tanyaku.
Percakapan ringan semacam itu mewarnai perjalanan kami petang itu.
"Padahal harapanku kamu ngerasain desak-desakan di kereta, bukan yang duduk lengang kaya gini!" ujar Rania ketus.
"Ih, maunya... Ya artinya ini rejekiku bisa jalan sama kamu, quality time sama kamu tanpa berdesakan dan jadi jengkel," jawabku sembari tersenyum padanya.
Rencana malam ini untuk menjenguk saudara dari ibu Rania diRumah Sakit terancam batal, karena hujan, dan lagi jam pulang kami terlalu malam. Tepat pukul delapan malam kami tiba di stasiun Depok dan segera berlari ke ruang tunggu, menunggu hujan sedikit reda.

Depok
"Udah tinggal gerimis tuh, yuk jalan pulang!" ajaknya.
Sambil memakai tudung parka-ku, aku mengikuti Rania yang berada di bawah lingkupan payung berwarna hijau yang dipegangnya di tangan kanan. Aku yang juga ingin berlindung di bawah payungnya memutuskan untuk mengambil kendali pegangan payung di tangan kiriku. Sepayung berdua, sepertinya ini judul yang pas untuk perjalanan malam ini.
"Sebenernya aku tuh paling nggak suka lihat cowok pakai tudung kaya gitu!" katanya.
"Ya kan lagi hujan, dear," jawabku.
Setelah kuantar dia sampai ke rumah, ternyata ada saja hal yang dapat mendekatkanku dengan keluarganya. Setelah malam sebelumnya dan pagi tadi ngobrol banyak dengan bapak dan mama dari Rania, malam ini aku diminta tolong untuk membantu pembuatan prakarya dari Adin, adik dari Rania. Malam ini ditutup dengan 'mie rebus bakso' dan teh hangat sebelum aku kembali ke penginapan untuk beristirahat.

Stasiun Pasar Senen
Pukul 10.00 WIB, setengah jam sebelum keretaku berangkat, aku masih di atas bajaj bersama Rania.
"Dari mulai grab car, commuter line, kopaja, busway, angkot, sampai bajaj, aku udah kamu tunjukin banyak alternatif transportasi di sini lho," kataku sambil tersenyum.
"Hahaha, banyak kan? Jadi kalau mau naik apa apa juga tergantung pilihan kita, mau yang praktis hemat, praktis mahal, sampai yang ribet juga bisa," jawabnya menerangkan. "Eh udah jam 10.06 sekarang, kamu langsung masuk?" tanyanya lagi saat kami setengah berlari menuju boarding.
"Kayanya iya, daripada telat kereta nggak lucu kan?" jawabku sambil meliriknya, dan menyerahkan kartu commuter line padanya.
Setelah bersalaman dan mengucapkan salam kami berpisah di meja boarding, sebelum aku masuk ke kereta kulihat matanya berkaca-kaca. Wajar, kami LDR, dan baru bertemu beberapa kali. Ada rasa sedih di setiap perpisahan yang kami lalui, itu wajar, aku pun jika ditakdirkan sebagai wanita juga pasti menitikan air mata saat ini. Akan tetapi hal itu tak mungkin terjadi, cukup perasaan berat yang kutahan dalam hati dan senyum kecut yang bisa menginterpretasikan perasaanku saat ini.

Pukul 10.35 WIB keretaku berjalan menuju Surabaya, komunikasi langsung dan verbalku dengan Rania berubah kembali via tulisan dalam chat, bukan telepon. Mengapa demikian? Karena Rania tak ingin aku mendengarnya menangis di telepon, simple. Dan aku menghargai hal itu.

EPILOG
Petualanganku di area JABODETABEK kali ini berakhir, ada banyak cerita bukan? Ya, bahkan banyak yang tak kuungkap di sini, mengapa? Karena mungkin cukup aku saja yang boleh menyimpannya, dan mengenangnya dalam memori ingatanku.

NOTE:
Rafi Handha dan Raniasa adalah nama fiksi yang sengaja aku tulis, tanpa alasan khusus, hanya ingin.

No comments:

Post a Comment

Budayakan comment di setiap situs yang anda kunjungi...
Untuk memulainya, silakan dibiasakan di dalam blog Pujangga Tanpa Inspirasi!!
Terima kasih, Thank You, Gracias, Merci, Syukron, Matur Suwun...

Wanna support???