Description

"Who you are, depends on what do you think about GOD and yourself."

#KotakAjaib
Copy-Paste boleh, asal cerdas! Jangan lupa cantumkan sumbernya ya...
http://tanpa-inspirasi.blogspot.com/

Friday, December 23, 2016

Hanya Indonesia yang Punya Banyak Masalah, Yakin?

PROLOG
Sudah mulai berdebu nampaknya, dan sudah mulai jarang terjamah akibat aktivitas nyata di "gerakan 10-18" setiap harinya. Tenang, kalimat barusan membicarakan tentang blog ini saja kok, tak macam-macam. Eh iya, kali ini saya akan menulis tentang satu hal unik yang terjadi hari ini. Apa sih uniknya?

Alkisah ada dua mahasiswa angkatan tua yang sedang asyik mengobrol di warkop pinggir jalan. Sebut saja namanya Bejo dan Budi (sengaja biar gampang).
Bejo: "Bud, kamu setelah lulus mau ngapain?"
Budi: "Ngapain gimana? Ya cari kerja lah, Jo..."
Bejo: "Nah mbok ya gitu, kalo manggil aku yang keren, 'Jo'."
Budi: "Lha ngopo?"
Bejo: "Ya paling tidak memulai dengan panggilan keren dulu sebelum aku melanglang-buana ke kota orang, ke negara lain..."
Budi: "Lho? Kamu mau jadi TKI ke mana? Skripsimu ae durung mari."
Bejo: "Hush!!! Ora usah bahas skripsi. Pokoknya malam ini aku mau merenung dan mencari titik balik masa depanku."
Budi: "Lha ya sudah, kamu itu mau ngapain ke luar negeri segala?"
Bejo: "Aku mau mencari ilmu, Bud. Aku ingin mengembangkan potensiku di luar sana, bertemu orang baru, petualangan baru."
Budi: "Ealah Jo, saya beri tahu ya, luar negeri itu sama saja dengan Indonesia. Tidakkah cukup kamu menuntut ilmu di sini saja? Master degree di sini lho juga banyak yang oke."
Bejo: "Tapi di sini kumpulannya ya cuma Budi-Budi maneh e. Aku ingin punya teman yang namanya asing gitu lho. Dan lagi, aku ingin merasakan kedamaian tanpa menyaksikan berita pergesekan "para sumbu pendek" di negeri ini."
Budi: "Oh..."

Saat itu Budi tak tahu harus menjawab apa, dan hanya "Oh" yang keluar dari mulutnya. Karena pada dasarnya memang Budi tak paham tentang apa yang dimaksudkan tentang kedamaian yang Bejo maksud.

Cukup deh ya ilustrasi tentang 2B (Budi-Bejo) tadi, yang ingin saya bahas dari nukilan percakapan itu ada di satu hal penting sebenarnya. Yaitu tentang "persepsi bahwa luar negeri adalah lebih baik dari negeri sendiri (read: Indonesia)".
Jadi ceritanya begini, sebenarnya ini real kisah yang melatar belakangi kisah yang saya tulis kali ini, siang tadi pasca...

"Tidur lagi setelah Shubuh membuat mata ini susah melek, badan nempel kasur dan bahkan hampir tenggelam. Tapi setelah tahu jam analog di smartphone menunjukkan pukul 08.40 barulah kaki ini secepat kilat menyeret badan menuju kamar mandi air hangat dorm dan entah bagaimana ceritanya pukul 08.55 saya sudah duduk di kelas menunggu profesor tiba. Ajaib bukan? Waktu normal bersepeda dorm-Eng 5 sekitar lima menit ngebut, dan sepuluh menit telah termasuk keramas, bersabun, sikat gigi, dan cuci muka pakai facewash."

Jadi seperti biasa setelah kelas di hari Jumat, kami para lelaki Muslim sholeh NCU segera berburu sumber telolet eh maksudnya, bus no 132 untuk menuju masjid Longgang setelah transit ke 112 via terminal Zhongli. Sepanjang perjalanan hanya obrolan-obrolan ringan dengan penumpang Indonesia (kadang juga ada yang dari Gambia, India, atau Pakistan) lain yang sama-sama menuju ke masjid. Setelah sekitar satu jam perjalanan dari kampus, tibalah kami di pemberhentian bus dekat Longgang mosque. Pemandangan yang tak biasa terjadi, kali ini bus berhenti dan membuka pintu di tempat yang tak seharusnya. Sedikit meleset dari halte, dan sang sopir tidak segera menyuruh kami turun.
"Ada apakah gerangan" pikirku.
Tiba-tiba telolet eh maksudnya, bel dibunyikan. Dan muncul lah beberapa kata-kata dalam bahasa Mandarin (kami biasa menyebutnya Zhongwen). Lama tak ada tanggapan, suara sopir makin keras. Kami kira itu teriak menyuruh kami turun, sontak berdirilah kami. Maklum Chinese juga masih pas-pasan. Eh tiba-tiba kami berhenti di lorong dekat pintu keluar bus, apakah yang terjadi? Seorang pemuda turun dari mobil sedan dengan angkuhnya, memaki balik ke arah sang sopir. Kurang lebih tiga menit terjadi adu mulut di antara mereka sebelum kami memutuskan turun, kami yang tak ingin terlibat lebih jauh dan juga terlambat untuk makan di mbak Watik dulu sholat Jumat, segera turun dan ngeloyor pergi. Bahkan sampai kami menyeberang jalan pun masih terdengar teriakan dari mereka berdua.
"Oh, ternyata nggak cuma di Indonesia ya ada orang ndablek diingetin malah marah..." tukasku.
"Iya lho, kirain cuma di Indonesia aja," kata mas Rezki.
"Tapi selama di sini aku baru nemu hal semacam ini sekali ini lho!" celetuk mas Kholis, di tengah perjalanan kami untuk mengisi perut yang lapar sebelum sholat Jumat.
"Menarik," kataku "sepertinya bisa jadi bahan tulisan yang 'sedikit' mencerahkan untuk makanan blog-ku" imbuhku. Diikuti oleh tawa mereka berdua.

Aku bilang menarik, mengapa?
Kembali ke anekdot tentang gemerlap luar negeri ala 2B tadi. Bejo, dia menganggap bahwa "kedamaian" adalah mahkota yang paling menyilaukan dari luar negeri. Hidup di luar negeri tak akan pernah bertemu "manusia sumbu pendek" macam di Indonesia. Kata siapa? Ah, hanya spekulasi, karena sejak awal aku berangkat kemari tak pernah merasa "rumput tetangga selalu lebih hijau", yang ada adalah "rumput kita sendiri jarang disiram dan dipotong secara berkala sehingga nampak indah nantinya". Buktinya barusan, ternyata toh ada juga kasus seperti itu.

Padahal jika direka ulang, jelas sekali bahwa mobil sang pemuda tadi yang salah, parkir sekenanya, dengan bokong mobil yang miring ala kadarnya memotong jalur bus. Peringatan pertama, telolet bel, kedua masih bel, sampai ketiga kalinya pintu bus terbuka dan sopir memperingatkan secara wajar dengan tone standar. Sampai tiba-tiba adu mulut terjadi setelah sang pemuda membentak sang sopir karena tak terima diperingatkan, sambil turun dan berkacak pinggang.
Oh, hal sesimpel itu bisa jadi pertengkaran, dan bahkan sampai menyebabkan kemacetan beberapa menit di ruas jalan depan masjid. INI LHO JUGA TERMASUK SUMBU PENDEK, dan baru satu kasus yang ditemukan. Apa kita tahu kasus-kasus serupa yang lain? Saya jamin pasti tidak, karena pergerakan kita terbatas hanya kampus, bis 132 dengan sopir lain, dan juga jalan-jalan biasa yang kita lewati hanya untuk berbelanja dan berjalan-jalan. Telinga dan mata kita tak mampu menjangkau dan menangkap hal-hal serupa yang terjadi di sini. Dan ini juga terjadi baru di Taiwan, bagaimana dengan di negara lain (luar Indonesia), yakin bahwa tak ada TRAGEDI AKIBAT PARA SUMBU PENDEK?

Sebenarnya hal-hal semacam itu lho banyak, hanya saja mungkin kabar buruk yang sering kita dengar melalui sosial media "hanya berasal dari Indonesia", negeri kita tercinta. Di samping itu, akun sosial media kita juga telah sedikit banyak terpengaruh oleh Bubble Effect yang beberapa lalu sempat aku baca di web seseorang (klik saja tautannya).

Maka dari itu, jangan jadi Bejo-Bejo yang lain yuk! Karena Bejo hanya melihat gemerlap "luar negeri" hanya dari sudut pandang gemerlap harapan dan minim pengalaman. Dan juga, inilah gunanya kami di sini, para perantau Tenaga Kerja Intelektual Indonesia yang berjuang, selain menempuh pendidikan, juga tengah menggali pengalaman positif yang memiliki added value untuk dibagikan pada saudara-saudari kami di tanah air.

"Bukan rumput tetangga kita yang lebih hijau, tapi justru kita lupa dengan 'dilarang menginjak rumput' yang kita buat sendiri, dan bahkan ironisnya rumput kita sendiri pun lupa belum kita siram dan dipangkas rapi. Pantas saja 'nampak' lebih buruk dibandingkan milik tetangga kita..."

Sudah paham kan? Bahwa gemerlap negeri dongeng "luar negeri" itu ilusi, kemilau "luar negeri" lebih baik dari Indonesia (ya meski dalam beberapa hal memang nyata) itu semu. Kita, INDONESIA, juga bisa kok lebih baik. Yakinlah! Hanya dari kita lah energi positif itu berasal, hanya saja mungkin kita masih terlalu sering menebar energi negatif untuk negeri sendiri dibandingkan menyebar Good News from Indonesia.

EPILOG
Nampaknya semangat positif "kami" seperti malam ini tadi dapat kami tularkan kepada seluruh saudara-saudari kami di tanah air, hal-hal positif, sharing bermanfaat, hingga saling mengingatkan dalam balutan canda tawa penuh kasih (dan InshaAllah keberkahan dari-Nya) dalam sebuah forum pengajian dan diskusi NCU Muslim Club, yang menjadi kerinduan tersendiri di hati para jamaahnya. Terbukti, bahwa wacana jeda satu minggu pun tak mendapat restu dari jamaah. Lagi, entah mengapa minggu ke-12 (sejak kepengurusan baru) ini menjadi forum yang paling hangat dan tersebar begitu banyak tawa. Bukan karena virus "om telolet om" yang sedang viral, tapi malah justru "udah, kasih nasi!" ala kami sendiri (efek NCU MC flash quiz di tiap akhir sesi). Mungkin memang ini wujud hangatnya ukhuwah dalam balutan nilai Islam yang mulia.

Friday, November 25, 2016

RANDOM WALK THEORY (bukan materi Kinetics of Materials)

(5 teori "random" yang tercetus dari seorang pemuda perantau pencari seteguk ilmu pengobat dahaga kebodohan di negeri orang yang sedang "berjalan" di tengah dinginnya malam bulan November)


PROLOG
Catatan ini sifatnya universal. Kalau baca nggak boleh baper (read: bawa perasaan). Anggap saja catatan absurd seorang hamba Allah SWT yang sedang (nyaris) putus asa, tapi berhasil eling dengan penciptanya.

Akan ada saatnya di mana suatu kesedihan akan hinggap. Bukan karena kegagalan atau juga ketidak mampuan untuk berbuat sesuatu, akan tetapi disebabkan oleh ketidak berdayaan untuk sepenuhnya menghamba pada-Nya. Banyak yang bilang bahwa dosa itu akan tampak saat kita menerima hukuman/azab/ada yang menyebut dengan bahasa halusnya 'cobaan berupa hal buruk'. Dan untuk menghapus kesialan tersebut, satu-satunya cara adalah bertaubat.

Benarkah demikian?

Mungkin juga benar, karena urusan keyakinan tak pernah bisa dipaksakan. Yang pasti aku merasakanannya, sekarang. Entah mengapa di kota orang, eh di negeri orang selalu menawarkan pesonanya tersendiri. Pesona berpetualang, menemukan hal baru, dan mengumpulkan networking baru pastilah tak terelakkan untuk ditaklukkan. Ya, begitu pula aku, aku menganggapnya demikian sebelum hijrahku ke negeri Formosa.
Tiga bulan lalu perut ini masih buncit, pipi ini masih tembem, dan rambut ini masih belum sepanjang ini, dan lagi: betis ini belum sebesar talas Bogor. Ya, dalam kurun waktu tiga bulan saja, lima kilogram bobot ini sudah tersedot sedemikian rupa (meski masih tetap buncit), tak nampak memang, karena memang pada dasarnya aku berpostur sedikit lebar.

Ada apakah gerangan?

Tak banyak yang bisa kuceritakan sekarang, hanya teaser saja mungkin. Intinya adalah:

Jangan pernah "salah niat" ketika ingin berpetualang ke negara lain. Menuntut ilmu? Sudahlah, niatkan itu untuk beribadah, menambah pengalaman, sekaligus menambah pembelajaran. Cukup! Jangan ada ekspektasi lebih, seperti "kemudahan dan keringanan dalam segala urusan, juga banyak kesempatan hura-hura" (ini maksudku salah niat). Karena apa? Di luar zona nyamanmu, bahkan jauh dari zona nyamanmu sebelumnya, tak akan pernah mudah menemukan zona nyaman yang baru. Pundakmu akan jauh dikuatkan olehNya dengan bermacam cobaan dan beban bertubi-tubi dan bertambah tanpa tedeng aling-aling.

Itu yang pertama, tentang beban dan tanggung jawab.

Hello, 您好, Hai, dan segala macam sapaan lainnya, bukanlah wujud sepenuhnya perhatian atau keinginan ingin menyapa. Mengapa demikian? Karena bisa jadi ini adalah awalan dari segala macam "kebutuhan", yang nantinya akan menjadi beban tambahan dan tanggung jawab "moral" tersendiri jika tak mampu kau lakukan sepenuh hati. Meski dalam hal bertualang kita pantang berburuk sangka, wajib hukumnya selalu berpositif thinking. Tapi satu hal lagi yang perlu diingat, TAK SEMUA ORANG BISA DIPERCAYA. Bahkan terkadang senyuman pun menyimpan tikaman tajam yang siap menghunjam kesadaran dan keseimbangan hidup kita, di perantauan.

Yang kedua, ini membicarakan tentang senyum dan ketulusan, serta kepercayaan yang kadang menjebak.

Tangis, sedih, tetesan air mata, dengan mudah kita simpan dengan keangkuhan dan kepercayaan diri. Ya, itu di sana, di negeri asal kita, negeri antah berantah yang mungkin sedang kau huni sekarang. Tapi di negeri orang, jangan coba-coba melakukan hal itu. Karena apa? Dijamin hanya akan menyiksa diri dan membuat waktu tidur dan memejamkan mata terasa tak nyenyak. Ingin menangis? Pulanglah ke shelter/dormitory/kosan atau apapun itu, gelar sajadah, pakai sarung, shalat-lah, dan jangan lupakan Qur'an (atau apapun kitab sucimu, bacalah)! Dijamin tangismu berpahala. GARIS BESARNYA: di perantauan tak akan pernah ada waktu untuk menyimpan duka dariNya, lewat tangisan.

Ini kurasa jelas, terpancar bukan pada siapapun selain aku sendiri. Yang ketiga ini tentang melunaknya hati dan kedekatan jiwa padaNya.

Penundaan berujung petaka, ya PETAKA! Mungkin sedikit nyambung dengan pengantar di atas, KESEDIHAN yang hinggap bukan akibat kegagalan atau juga ketidak mampuan untuk berbuat sesuatu, akan tetapi disebabkan oleh ketidak berdayaan untuk sepenuhnya menghamba pada-Nya. Mengapa demikian? Jelas, aktivitas apapun jika ditunda tak akan berujung baik. Paham kan, mengapa banyak cerita seorang pria gagal menikahi gadis pujaan hatinya ketika ternyata ditikung lebih dulu oleh pria lain yang lebih siap dan sigap untuk melamar sang gadis? Itu salah satu contoh saja sih, please, jangan baper!

“Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu: ‘Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi, (QS. 18:23) kecuali (dengan menyebut): ‘Insha Allah’ Dan ingatlah kepada Rabbmu jika kamu lupa dan katakanlah: ‘Mudah-mudahan Rabbku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini.’” (QS. 18:24)

Aku tak mau terlalu menafsirkan ayat ini, karena memang bukan porsinya aku menafsirkan. Toh ilmu juga masih cetek. Monggo dibaca saja sendiri!!! Intinya yang aku coba pahami adalah: jangan coba-coba menunda apapun, kecuali dengan mengucap "InshaAllah". Karena efek penundaan itu kita tak akan pernah tahu seperti apa, hanya Allah SWT yang berhak ber"kun faa ya kun".

Dan apa yang terjadi padaku (dan kawan-kawan seperjuangan) pada efek penundaan sangatlah besar, sampai berimbas pasa kelangsungan "hidup" kami di sini. Dan inilah pesan keempatnya.

The last message is: Menjaga kepercayaan itu susah, karena itu jangan pernah coba-coba menjadi orang yang mudah tidak dipercaya. Karena kepercayaan di perantauan adalah tongkat penuntun yang akan menunjukkan bagaimana kondisi kita saat kita tiba di tujuan. Bisa jadi jika tongkat yang kita bawa rapuh, belum tiba di tujuan kita sudah roboh, karena tongkatnya patah duluan.

Jadi, yang kelima ini adalah: JAGA KEPERCAYAAN SEPERTI KAU MENJAGA SHOLAT LIMA WAKTU (bagi yang melaksanakannya), bagi yang tidak melaksanakannya, buatlah perumpamaan sendiri.

EPILOG
Yuk diingat lagi, apa aja dosa yang pernah kita buat! Agar apa? Agar kita mudah meminta maaf, dan terhindar dari "hukuman/azab/ada yang menyebut dengan bahasa halusnya 'cobaan berupa hal buruk'" seperti yang aku sebutkan di baris-baris teratas tulisan ini. Dan lagi, buat para calon perantau: catat lima pesan di atas ya, barangkali butuh. Kalau sekiranya nggak butuh ya abaikan saja, aku akan kembalikan beberapa menitmu yang tak berguna karena membaca tulisan ini. Caranya? Tutup blog ini, lalu baca kitab suci masing-masing, inshaAllah akan kembali lagi kok kemanfaatan yang sempat terbuang sebelumnya (jika kau merasa demikian).
Terima kasih telah mau meluangkan waktu untuk membaca...

Thursday, November 17, 2016

Kalau HOMOGEN namanya bukan INDONESIA

PROLOG
Dua malam ini gigi sedang tidak bersahabat. Nyeri sana sini menyebabkan menelan ludah sendiri pun rasanya tersakiti. Geraham yang tumbuh menandakan kedewasaan, tapi kalau sakit begini siapa yang tahan, toh air mata akhirnya keluar tak berhenti, karena memang sedang sendiri di sudut kamar dormitory.

Prolognya melankolis sekali tampaknya ya, sudahlah lupakan saja. Biar saya saja yang merasakannya, kalian tak usah. Cukup baca saja tulisan ini, mungkin saja bermanfaat untuk penghilang waktu nganggur yang (mungkin) sia-sia, atau sekedar pengganti dari kecanduan film-film dewasa.
Kali ini saya hadir lagi bukan ingin memberi petuah seperti di posting sebelumnya tentang Yuk! Jadi Netizen yang Dewasa. Saya rasa pasca posting itu rilis kalian semua sudah pada dewasa dan tercerahkan. Melihat perkembangan timeline dunia maya di dinas sosial media sosial apapun kemarin, rasanya sedih gitu. Perpecahan dan segala macam perporosan terjadi di mana-mana. Nggak di tataran pilkada ibukota, nggak di pemira mantan kampus tercinta, semua sedang diuji dengan perkubuan dan juga fitnah para buzzer serta anonim tak bernyali yang cuma berani muncul tanpa identitas asli. Nah, untuk sedikit beralih ke topik santai, maka tulisan kali ini saya hanya sedikit berbagi tentang bagaimana indahnya Indonesia di luar sini.

Zhongli-Taiwan, Enam Belas November 2016
Sejak malam sebelumnya telah ada woro-woro dari pengurus PPI NCU untuk meramaikan pelaksanaan opening ceremony dari NCU Sports Day 2016. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, di sinilah saatnya perwakilan Indonesia kembali menunjukkan pawai budaya (setelah ICD di paruh pertama 2016 beberapa bulan lalu). Jam enam pagi para main talent telah berkumpul di GFM dormitory untuk bersiap menjajal kostum dan memoles wajah dengan make up. Di obrolan kecil sebelumnya ada desas desus bahwa tema kali ini Mahabharata, di mana akan ada peran Rama, Shinta, Rahwana, Hanoman, Burung, dan juga pasangan adat Bali. Dan ternyata benar adanya, pagi itu aku yang datang belakangan akhirnya bergabung untuk membantu memasangkan property para main talent yang akan berjalan paling depan di barisan.
Oke, tahap persiapan selesai sebelum pukul 07.30 waktu Taiwan. Ditutup dengan sarapan roti isi selai yang dibawakan oleh mbak supervisor katering mbak Watik Aprillia, juga foto bersama.

Ada yang tahu kami semua ini sudah mandi atau belum?
Dan kami melanjutkan perjalanan ke barat mencari kitab suci depan kantor OIA NCU tepat pada pukul 07.30. Menunggu jemputan dari Amber Xiao pihak NCU Student Ambassador, sambil sesekali berfoto ria saat ada mahasiswa Indonesia lain yang datang menggunakan baju kebesaran kami semua, batik aneka motif dan warna, ada juga yang pakai kebaya ala-ala.

Main talent full team

Saat kami mulai rame, dan sok candid tak ada arahan khusus untuk bergaya
Tampaknya rundown pembukaannya sedikit molor, hingga hampir pukul 09.00 kami baru dipersilakan jalan oleh NCU Student Ambassador yang menjadi pendamping kami. Berjalan dua banjar menuju jogging track diwarnai dengan tawa dan sesekali jepret sana sini. Hingga sekali lagi kami harus berhenti dan menunggu rombongan lain dari berbagai departemen di NCU. Benar kata salah seorang kawan, bahwa di atmosfer seperti ini biasanya kalau di ITS diwarnai dengan show off dan kemunculan arogansi jurusan masing-masing dengan bendera dan atribut-atribut khas ITS banget. Sebenarnya tak jauh berbeda, hanya saja di sini lebih sepi karena tak ada adu mars juga vivat kebanggaan masing-masing ormawa.

Sebelum nyanyi Indonesia Raya (eh, atau setelahnya ya?)
Entah ini inisiatif datangnya dari bisikan sebelah mana, akhirnya kami menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, sembari menunggu giliran memasuki area parade. Nah di sini menurutku klimaksnya, entah dibilang lebay, alay atau metal (mellow total) terserah, tapi beda memang rasanya menyanyikan lagu kebangsaan sendiri di tanah orang, jauh dari peradaban dan minim populasi bangsa sendiri. Apalagi kami sedang mengenakan pakaian adat, atribut budaya, dan juga pakaian kebesaran kami (batik), sungguh mengharukan bahwa kami sangat amat beragam dan kaya akan budaya. Yang memang tak akan pernah bisa sama, karena INDAH dan BERWARNA tak pernah dieja dengan H-O-M-O-G-E-N. Here we are, the diverse country, Indonesia.

Sampai akhirnya, nama Indonesia diteriakkan oleh MC, sebagai 印尼(Yìnní), yang berarti "Indonesia". Kami berjalan memasuki jogging track sambil menerima tepuk tangan dari beberapa orang di sana. Entah karena unik atau apa, yang pasti suasananya cukup meriah.

Barisan rombongan kami dari depan

Penampakan Rama dan Shinta serta pasangan Bali

Penampakan Rahwana

Rombongan kami tampak samping

Batik and kebaya is our pride
Panas sih, tapi temperatur 26 derajat Celcius kala itu tak terasa sepanas kota Surabaya biasanya lah ya, menurutku. Pembukaan berlangsung tak lama, hanya sampai pukul 10.15 saja akhirnya sesi opening ceremony berakhir dengan dimulainya perlombaan pertama saat itu, lari dan tarik tambang.

Sudah? Hanya itu?

Eits, tunggu dulu, bukan kami rasanya kalau tak berfoto bersama full team (meski nggak full-full banget sih).
Pose pertama

Pose selanjutnya, terserah lah ya!!!
BONUS: Penampakan lima pemuda dengan pakaian adat Jawa.
Hayooo... mau pilih yang mana??
Akhir kata, tak ada penutup puitis yang akan saya tampilkan di tulisan kali ini, karena kalau anda-anda peka sebenarnya pesan saya sudah tersurat dan juga terungkap secara implisit di beberapa kalimat di atas. Intinya: INDONESIA ITU RAMAH, INDONESIA ITU UNIK, INDONESIA ITU KITA, jadi jangan kotori dengan berita-berita negatif tentang apapun ya!!!

EPILOG
Penutupnya video saja ya, apa daya penulisnya sedang malas memberikan penutup, wong nulis ini aja sambil tengkurep di kasur dan mendesis sesekali menahan nyerinya gigi.

Lagu pengiring video: Indonesia Raya & Zenzenzen by Radwimps (soundtrack film yang pernah saya review sebelumnya: Kimi No Na Wa)

Saturday, November 5, 2016

Yuk Jadi Netizen yang Dewasa!

PROLOG
Banyak orang yang sebelumnya memilih diam dan tak mencuit via sosmednya masing-masing tentang sesuatu, tiba tiba nulis dan pernyataannya selalu sejenis, "sebenernya sih aku nggak pengen ngomen ginian..." atau "seharusnya bukan kapasitasku untuk mengetik tulisan gini, tapi kebenaran harus disuarakan..." atau juga "duh gatel ini tangan, padahal udah nahan sejak lama nggak bakal nulis tentang ini itu..." dan segala macam bentuk tulisan yang sama bentuknya. Lalu apa maksudmu dengan prolog seperti ini?

Tenang saudara-saudara, saya tak akan mencibir atau mencuitkan sesuatu yang memang sudah jadi kodrat manusia, bahwa mereka makhluk sosial, yang secara implisit berhak bersosial media untuk menyatakan pendapatnya tentang sesuatu. Toh, nggak mungkin dong kita melarang hak asasi orang yang jelas tertuang di Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945? Karena memang kita manusia beradab dan bernegara yang tak boleh saling melanggar HAM dengan melarang pengutaraan pendapat. Meski mengingatkan untuk mengontrol pendapat juga harus dilakukan, demi "maslahat" dan harmonisasi, bukan justru menambah "masalah" seperti yang sering kita lakukan.

Jadi bahasan saya kali ini tak begitu penting sebenarnya.
Bisa dianggap demikian bagi para penganut bad news is a good news. Tapi bagi saya yang notabene punya 'sedikit' background di bidang Media dan Informasi, serta sejenak 'pernah nyemplung dan berendam tak begitu lama' di dunia jurnalistik kampus, dan mungkin juga kaum-kaum sejenis saya, hal seperti ini bukan hal tidak penting. Apalagi bagi manusia-manusia idealis yang pernah nyicipin dunia tulis-menulis/jurnalistik/pers (lumayan) formal, bukan cuma dunia tulis menulis 'ala-ala' yang jadi panutan jamaah sosmediyah biasa lho ya. Jadi gini lho rek, akhir-akhir ini kan di sosial media banyak sekali tulisan-tulisan, komentar-komentar, bahkan cuitan-cuitan (yang beberapa orang juga menyebut dengan: sudut pandang Drone Manuk-Emprit), yang bertema kontroversial sesuai kondisi kekinian, bahkan ada yang sampai berbau konfrontasi pada kaum dan pihak tertentu. Iya apa iya? Hehehe...
Kamu pasti juga merasakannya kan? Bahkan sampai risih juga, dan pada akhirnya berujung "aku kok geregetan pisan sih melihat bla bla bla bla" dan berujung jadi orang yang digeregetin orang lain juga karena bla bla bla mu juga mengandung hal-hal yang kamu geregetkan. Hayoloh, muter-muter deh akhirnya, dan nanti kalau debat pas ketemu berujung ke circular reasoning.

NB: Untuk istilah yang saya gunakan di tulisan kali ini kebanyakan dari mana, cari aja sendiri lah ya, udah gede, udah bisa tracing sendiri mana sumber-sumber yang harus ditelusuri atau dibiarkan begitu saja (duh, kan bahasanya belibet udah kaya review jurnal).

Sebenarnya hal-hal semacam mangkel, geregetan, gemas, dan bahkan juga sebal (bisa ditafsirkan 'benci' juga kadang-kadang oleh orang-orang yang kelewat baper) itu nggak perlu terjadi lho. Karena sejak awal perbedaan pendapat itu jelas ada. Ini pandangan secara umum lho ya, jangan terus melihat saya dari sudut pandang, "wah iki pasti jamaah CARIAMANiyah" (atau bahasa keren logical fallacy-nya: Middle Ground) dan semacamnya karena men-generalisir segala sesuatu dengan memainkan peran 'cari aman' dan jalan tengah (wes, iki koyok maba ae di-judge cari aman).
Ngene lho rek, sesekali coba deh, ketika membaca pesan-pesan dan berita unik yang beredar, matikan indera pengais informasimu sejenak (read: hape, laptop, pager, HT, dan semacamnya), lalu mainlah yang agak jauh dari tempatmu sekarang. Pergilah sejenak, kenal lah orang-orang baru, serap segala macam sudut pandang baru (tapi idealisme dan prinsipmu wajib masih dibawa lho ya, jangan sampai tergadai duluan sebelum kamu kembali nanti), dan setelah beberapa lama kembalilah. Buka lagi indera pengais informasimu yang mati tadi. Baca dengan seksama apa yang kamu baca sebelumnya, sama kah rasanya? Menurut opini saya, tak mungkin sama. Karena apa? Ada proses yang bertambah di dalam kehidupan kamu, kamus sudah "main cukup jauh dan pulang cukup malam" (kalau kata anak-anak kekinian). Otomatis kamu punya banyak wawasan baru yang lebih bisa memberikan pandangan logis tentang apa yang kamu baca, lihat, dengar, dan jilat (read: rasakan). Dan sifat-sifat sumbu pendek dengan asal share dengan komentar-komentar menggeregetkan pun tak akan terjadi padamu. Tapi beda sih, kalau prinsipmu masih bad news is good news.

Lalu bagaimana jika kaum saya disindir? Atau ras etnis saya yang dicuitkan?

Lhoalaaah (sambil tebas dada), sindirannya kamu benarkan nggak? Atau apa yang dituduhkan itu benar demikian di kaum atau ras kamu nggak? Kalau benar, ya sudah diam saja, kamu tak berhak marah, karena memang benar adanya. Tak perlu cari-cari alasan sampai menghasilkan social media-war atau semacamnya. Tapi jika sindiran/opininya salah, bela kaummu! Etnismu! Rasmu! Perjuangkan mati-matian tentang kebenaran yang kamu ketahui, tapi jangan cuma "berkoar negatif" (atau kalau bahasa anak gaul sekarang jadi: sakit pantat--butthurt) lewat komen dan posting balasan. Sungguh, sama sekali tidak elegan gitu lho.

Kalau mau elegan gimana?

Bikin aja tulisan yang santun, yang bagus, dengan bahasa-bahasa yang sopan dan lemah lembut, ingatkan si penyindir dan pencuit, kalau bisa secara langsung layangkan ke beliau secara pribadi.

Lha nek ga digubris?

Lakukan berulang-ulang, toh gak mungkin kan bebal terus-terusan? Orang juga ada mikirnya, kan kodrat manusia emang disuruh mikir.

Kalau itu sudah dilalui tapi tetap tak sampai juga pendapat kita ke beliaunya? Atau beliaunya nggak berubah dan tetap bebal?

Ya sudah, kalau memang salah beliau berat dan akan menimbulkan mudharat yang tak sedikit, bergeraklah sesuai ranahnya. Kan sosial media sekarang dilindungi Undang-undang ITE? Kumpulkan bukti, berikan argumen konkret, layangkan gugatan! Biarkan yang berwenang yang bergerak. Eits, tapi tunggu dulu, saya di sini tak memberi saran bagi yang sudah bebal dan sakit pantat duluan ya, contohnya orang yang demikian adalah yang selalu mencari celah: "yang berwenang lho bisa disogok", "undang-undangnya lho masih cacat", dsb dsb... Lha maumu apa le, nduk? Kamu manusia bernegara kan ya? Ya sudah, itu yang bisa dilakukan ikhtiarnya. Urusan faktor-faktor X yang uncontrollable sama kita ya sudah biarkan Allah SWT yang atur. Beres.

Uenake cocotmu nek ngomong beras beres rebes raimu!

Hahaha, yakin saya, pasti banyak yang mikir demikian saat baca tulisan ini. Kan haters gonna hate adalah kenyataan, ya tho? Tapi setidaknya apa yang saya sarankan demikian sudah saya upayakan untuk terlaksana. Dan inshaAllah selalu saya introspeksi ke diri saya sendiri untuk tak jadi sumbu pendek. Setidaknya jika tak bisa jadi pengurai masalah, jangan jadi "tukang memperkeruh masalah", itu prinsip yang saya pegang. Dan dalam hal pemanfaatan media, saya rasa itulah hal yang paling bijak dilakukan. Mau alasannya apapun, sangat pengecut jika hanya berani mencuit di sosial media tapi tak bergerak secara langsung untuk menguraikan masalah. Apalagi akun sosial mediamu cuma digunakan sebagai penyebar opini yang bikin geregetan orang lain, yang justru pada awalnya kamu sendiri nulis itu karena juga geregetan dengan orang lain. Lha lak terus-terusan nyebar greget, wes koyok meme Maddog nang The Raid ae...
Bayangkan sudah berapa banyak aura negatif yang tersebar jika gregetan jariyah tadi tersebar di 5000 teman/followers facebo*k, twitt*r, pa*h, instag*am, atau apapun itu? Dan berapa banyak energi yang telah dihabiskan untuk sekedar mengobati "mata rantai" gregetan tadi agar bisa ter-recovery lagi seperti sediakala? Buanyak lho pastinya...

Makanya itu rek, please lah! Berhenti menyebar posting-posting dengan aura negatif. Kalau mau menanggapi, tanggapi yang baik, bahasa yang sopan, halus, dan penuh penghayatan serta pemikiran panjang. Masa' aw*arin/an*a geral*ine/selebgram (yang dianggap sebagai penyebar pengaruh negatif) aja yang disuruh bertanggung jawab dengan postingannya, tapi kita sendiri merasa benar dengan apa yang kita lakukan, padahal sebenarnya ngga beda jauh sama mereka tadi, meski kita mengkritik dia. Sudahlah, jaman ini bukan lagi era MEDIA biasa, melainkan era CERDAS MENELAAH INFORMASI dengan MEDIA!

Mengutip dari posting di facebo*k saya beberapa waktu lalu,

(Dalam bersosial media) mari saling mengingatkan, saling menghargai, dan saling menghormati satu sama lain (tentunya dengan santun dan beradab). Jangan jadi manusia korek api ya, apalagi insan bersumbu pendek. Karena manusia tempatnya salah dan lupa, salah itu pasti ada, yang buruk adalah mencari-cari kesalahan yang diada-adakan. "Mari adil sejak dalam pikiran", kalau kata suhu Pramoedia A. T. "Karena orang SOK TAU itu suka banget MEMBUAT STANDAR GANDA bagi ORANG LAIN (mengkritik dan mencaci), dan orang SOK TUA itu paling suka MEMBUAT STANDAR GANDA bagi DIRINYA SENDIRI (membela diri)." Dan kalau udah dua-duanya? Segera istighfar dan mohon ampun sama Tuhanmu, barangkali "switch on off" introspeksimu sedang korslet.

Jadi jangan jadi orang yang merasa benar sendiri ya, yuk sama-sama memperbaiki diri, bijak dalam menyikapi segala hal, juga tak lupa mengingatkan orang lain (sekali lagi, dengan santun dan beradab) jika mereka khilaf dan lalai.

Indonesia bisa kok jadi lebih baik, jangan pernah malu jadi INDONESIA ya, apalagi sampai menempelkan segala hal negatif dengan komentar "pasti gitu, kan Indonesia...". Padahal kita tak sadar bahwa dengan berkomentar demikian, kita juga merendahkan diri kita sendiri. Ingat KTP-mu masih diurus di kecamatan yang tanahnya punya Indonesia lho, atau juga: paspormu lho masih gambar Garuda Pancasila, nggak usah lah sok memandang rendah negerimu sendiri. Wong Indonesia lho potensinya besar banget, cuma kita aja yang belum sadar dan belum memanfaatkannya dengan optimal, dalam hal apapun. Malah keduluan penjajah modern dengan penanaman modal besar mereka untuk mengeruk kekayaan kita (baik kekayaan SDA, SDM, maupun paham-paham unik yang cuma Indonesia poenya).

EPILOG
Wes rek, lerenono twit-warmu, comment-warmu, karena menulis tak pernah sebercanda itu. Perlu banyak pertimbangan matang dari mulai latar belakang, konten (isinya), sampai closing kesimpulannya. Dan yang lebih ekstrem lagi adalah: pertimbangan tentang siapa pembacanya dan efek apa yang akan timbul setelahnya. Karena memanfaatkan media dan informasi tak pernah sebercanda itu juga. Banyak lah meme-meme yang bilang kalau "benci sama postingan di sosmed itu lumrah, tapi kamu gak berhak mengatur mereka, karena ini media sosial bukan dinas sosial", tapi apa itu bener? Jangan bandwagon, please! Kita memang tak bisa mengatur orang lain, tapi bisa dong tak mengikuti jejak buruk mereka sebagai penebar aura negatif?

Wednesday, November 2, 2016

Ruang Sendiri

PROLOG
Dua puluh satu derajat, ini dalam satuan Celcius, setidaknya itu yang tampak dari weather forecast di layar smartphone miliknya. Seorang pemuda berjalan di tengah terpaan angin sepoi ganas bulan Oktober, yang akan berganti menjadi November beberapa jam lagi. Saat ini mungkin Taiwan tengah menghadapi penghujung musim gugurnya. Ya, penghujung musim "terbuka" dan "serba pendek"-nya, akibat sisa summer sebelumnya.

Hari ini hari sibuk, seperti biasa Senin bagi mahasiswa tahun pertama selalu demikian. Meski tak seluruhnya, setidaknya pemuda itu mengalaminya. Dua mata kuliah di akhir bulan ini seringkali memberikan strike di tiap pekan. Apalagi kalau bukan Kinetics of Materials dan Chinese Speaking and Listening course (zero grade). Bagaimana tidak hampir setiap dua minggu keduanya sama-sama kuis, sama-sama ujian. Tapi beruntunglah hari ini hanya Kinetics yang menancapkan kuku tajamnya di awal hari, Midterm for 1st Chapter. Susah? Jelas, banyak cacing berkeliaran, banyak derivatif dan simbol sigma bertebaran. Menyerah? Jangan! Karena stagnasi berarti mati. Ikhtiar must go on katanya.

Cerita kali ini bukan itu kok klimaksnya, itu tadi mungkin hanya perpanjangan prolog yang kependekan. Meski tak sependek hotpants yang dikenakan mahasiswi sini setiap harinya. Kisah menariknya ada di pascanya, ya pasca kelas Chinese. Sembari menunggu katering yang setiap Senin selalu membantunya mempertahankan amunisi bahan makanan dalam kulkas asrama hingga Rabu nanti, dia sendirian di kamarnya. Mengetik, dan meng-edit beberapa slide untuk presentasi pekan depan, sebelum dikirimkan pada profesornya. Pikirannya terkonsentrasi pada layar laptop dan isi dari slide-slide di hadapannya. Hingga akhirnya dia...

JENUH

Pukul tujuh lewat tiga puluh dia pergi mengenakan hoodie hijau semata wayangnya (yang ia bawa dari tanah air) dipadu dengan training gelap Character Building yang menurutnya mampu menghangatkan alat gerak bagian bawahnya, dia melangkah keluar menuju jalan utama di dekat gedung Kwoh-Ting Library and Archives. Masih diterpa dinginnya angin malam, dia menanti balok berjalan bernomor 132 berhenti di depannya. Sengaja skip cerita riweuh tentang bagaimana mekanisme membawa makanan dari G14 hingga tersimpan rapi dalam kulkas asrama (read: dormitory). Pikirannya JENUH tak karuan, berharap escape plan-nya malam itu tak gagal dan berjalan lancar, tanpa bertemu siapapun, dan terkendala apapun. Karena sejatinya serigala kesepian dalam dirinya sedang bangkit malam ini. Di dalam bis, dia duduk di samping seorang gadis manis dengan headphone warna merah fanta, sayangnya dia tak bisa berbahasa Inggris secara aktif ketika diajak berkenalan. Bukan bermaksud genit atau laler (istilah lain dari tukang gombal dan sepik sana sini), melainkan hanya ingin sedikit mencairkan suasana beku pikiran malam itu sepanjang jalan.

HENING

Sepanjang jalan menuju terminal bus yang biasa disinggahi, Zhongli Station, pemuda itu sama sekali tak melirik lagi si gadis manis. Karena memang dia telah tenggelam jauh dalam pikirannya sendiri. Sampai akhirnya dia turun...

BERJALAN TANPA ARAH

Langkahnya lunglai, hanya memperhatikan sekeliling, kelap kelip lampu, juga orang-orang di sekelilingnya. Lima belas menit berjalan, setelah sejenak menikmati takoyaki di pojok jalan dekat stasiun, kakinya berhenti di depan sebuah jalan kecil dengan pertokoan yang berjajar di kanan kirinya. Hanya berdiri mematung dengan segala pikiran yang berkecamuk di otaknya.

Dari mulai berpikir tentang bagaimana asal muasal area tersebut tercipta hingga berpikir bagaimana bisa orang-orang di sini tak malu untuk berciuman di depan umum tanpa tedeng aling-aling. Absurd bukan? Ya, memang...
Tapi ada hal lain yang menenangkannya selain pemikiran-pemikiran absurd macam itu, apalagi sesaat setelah ada salah seorang anak laki-laki lumpuh dengan kursi rodanya melintas di depan pemuda itu. Matanya menerawang jauh pada anak-anak lain di depannya, juga depan pemuda itu, berlarian saling kejar satu sama lain. Seketika pedih dan JENUH yang ia rasakan...

HILANG

Pemuda itu mulai tak tahan berada di sana, ingin rasanya memegang smartphone dan mengabadikannya, untuk dijadikan tulisan di malam selanjutnya. Tapi matanya tak kuasa untuk menitikan air mata. JENUH-nya malam itu, terhapus dengan...

TANGIS

dan rasa syukur kepada-Nya. Tak lagi ada rasa jenuh mengganjal di pikirannya. Yang tertinggal hanya memori anak dengan kursi roda, yang membuatnya berpikir tak pantas dia JENUH dan...

MENGELUH

atas apa yang terjadi pada proses adaptasinya di negeri Formosa. Rasa berat terasa ringan saat itu juga, menyaksikan betapa beban berat orang lain, yang mungkin jika dialami sendiri, tak akan pernah bisa ia bayangkan seperti apa rasanya. Rasa JENUH pun hilang seketika...

SENYUM

Malam ini, pemuda penyendiri itu kembali tersenyum. Bahkan usahanya untuk sampai di titik ini, saat ini, adalah hal yang wajib diapresiasi, minimal oleh dirinya sendiri. Lalu, apa gunanya merasa JENUH dengan apa yang telah terjadi? Hanya maaf yang mampu tergambar dalam hati, karena untuk mencurahkan segala hal getir (yang terjadi) pada kedua orang tuanya pun dia tak mampu, apalagi pada orang lain. Tak perlu, itu hanya akan menyakiti dan menjadikan beban pikiran mereka. Biarlah pemuda itu berkembang sendiri untuk menemukan jalan dan sudut pandangnya sendiri. Tentang dunia baru yang sedang dihadapi.

KUAT

Bahkan, lelah yang hadir pun dia biarkan menguap malam itu, kakinya melangkah lagi. Dengan kekuatan baru, dan juga harapan yang berbeda dari sebelumnya. Bahwa JENUH dalam hidupnya harus terbakar menjadi semangat, yang lebih menyala dari sebelumnya. Hingga nantinya KUAT tak lagi ia rasakan sebagai sesuatu yang harus diperjuangkan untuk bertahan dan berkembang. Karena KUAT adalah hal yang ada dalam dirinya, yang harus dibangunkan ketika (mungkin) tertidur dan terlelap.

EPILOG
Jika mungkin kebanyakan orang menemukan keKUATan dari keramaian dan semangat dari orang lain, maka tolong, jangan anggap aneh siapapun yang justru akan menjadi KUAT ketika dia sejenak menyendiri dan tak berinteraksi dengan siapapun. Because lone wolf mind is real...

Sunday, October 16, 2016

The Lone Wolf Power Existence

PROLOG
Satu waktu bernama sepi menjamah sekali lagi, kita tak tahu pasti kapan 'kan pergi, hanya saja seorang pemikir sejati tak akan terjebak dalam pusaran labirin yang diciptakannya sendiri.

Sang waktu percaya dengan satu kalimat bahwa "sepi tak kan pernah membunuh sampai mati". Ya, dia demikian. Ya, mungkin... Sampai akhirnya sepi ini hadir menelisik kembali, dalam nuansa ramai dengan balutan canda tawa tak terkendali.

Personality circle based on MBTI Introspective vs Observant
Menjadi seorang mastermind itu berat, katanya. Hidupnya penuh perasaan, penuh perencanaan, juga justification pribadi yang menimbulkan lebih banyak awalan su'udzon dalam hatinya (meski akhirnya tetap ditransformasi menjadi hal-hal logis dan tak berpihak).

Introversion, Intuition, Thinking, and Judgement...
Segalanya berlaku abstrak jika tanpa aksi, segalanya nampak buram jika tak dilakukan.

Jadi sekali lagi, sepi ini diolah dalam angan para pengidap INTJ. Dibumbui dengan fakta-fakta hasil observasi lapangan, juga perhitungan matang boundary layer sistem yang akan dianalisis. Apa sistemnya? Jelas dirinya sendiri. Dan surrounding-nya adalah siapapun dan apapun yang ada di sekitarnya.

Suasana ramai tak semarak bagi mereka para pengidap the architect. Karena ramai di luar belum tentu pikiran mereka dengan mudah menyerap keramaian hasil difusi "dari mata turun ke hati". Tak semudah itu. Ada satu membran tebal yang membentengi sistem mereka.

Jadi konsepnya, sepi akan selalu bisa hadir dan menyelimuti mereka, ada atau tak ada pengaruh dari luar sistem mereka.

Jadi, para konseptor ini selalu kesepian?

Bisa jadi iya, bisa juga tidak. Karena sepi yang dimaksud bukan semata sepi tanpa arti. Mereka membentengi sistem mereka dari pengaruh luar hanya untuk menciptakan kerajaan pikiran mereka sendiri, yang hanya dirinya sendiri sebagai rajanya, dirinya sendiri yang mampu bertitah, dan melanjutkan monarki dalam pikirannya sampai mati.

Mereka cenderung independen, seolah tampak "ya ya ya", tapi dalam hati tak menerima. Susah diajak berdamai dengan pendapat yang tak sesuai, dan bahkan dalam menjalankan instruksi yang tak mampu menembus gerbang emas pemikiran mereka.

Lalu akhirnya sepi ini memanfaatkan mereka, mengambil alih fungsi real surrounding menjadi tabir indah yang menjanjikan diri the architect satu-satunya pusat perhatian dalam dirinya. Ya, raja di dalam dirinya.

Kesepian menjadi tameng paling licik, turunan dari sepi itu sendiri, untuk memojokkan sang mastermind untuk mendapatkan judgement buruk dari the real surrounding-nya. Padahal tak demikian, justru sepi itu sendirilah yang dimanfaatkan oleh mereka, para pengidap INTJ...

Sebagai apa?

Sebagai area pendewasaan dan introspeksi, untuk meningkatkan kemampuan bermuhasabah dan mencari jati diri, dari dalam diri sendiri, bagi para pemikir ulung, sang mastermind.

Jadi,
sepi itu kawan,
sepi itu tempat persembunyian,
sepi itu tempat paling indah untuk membangun pemikiran,
sepi itu kebutuhan,
sepi itu lorong paling panjang yang terkadang menarik dan mengasyikan,
sepi itu juga labirin rumit yang sangat menyesatkan,
dan sepi itu...
tahta terbaik yang dimiliki oleh the architect untuk membangun dirinya, memperkuat nalar, juga memperindah logikanya.

Ya, baik sepi secara nyata, maupun sepi yang mereka ciptakan sendiri, meski berada dalam keramaian dan hiruk pikuk canda tawa.

Karena memang begitulah adanya,
bukan menggolongkan dan menjadikan suatu kelompok seakan spesial,
tapi inilah adanya, setidaknya hasil analisis tak official dari seorang pengidap...
mastermind,
the architect,
sang pemikir...

INTJ is mine, how about you?

16 Personality Type (click to enlarge if you want to know more)
EPILOG
Karena sepi adalah fase pendewasaan pemikiran, bukan penyiksaan yang mematikan.

Pustaka rujukan:
3. Authors. ( ). MYERS-BRIGGS TYPE INDICATOR MANUAL. WC Personality Inc.
4. Prem, Kathy. ( ). Myers-Briggs Personality Type Indicator – MBTI test manual slide. Engineering Career Services University of Wisconsin-Madison

Thursday, October 6, 2016

Puzzle Dari Surga

PROLOG
"Akhir-akhir ini aku muak, dengan segala hal berbau drama yang panjang dan tak bernyawa. Entah dari manapun asalnya, intinya bukan pada akar masalahnya. Justru dari persepsi yang terbangun karenanya," katanya mengomel sendirian.

Desa itu bernama Bumi, telah sangat lama dilanda kekeringan. Kerontang, tak ada kehidupan dan kesenangan (yang dapat dipertontonkan). Orang-orang hidup serba hening, pertukaran kata-kata pun hanya terjadi sebatas formalitas dan kebutuhan, juga kepentingan pribadi. Hubungan antar individu serasa jauh dan tak terkoneksi, meski jembatan bernama dunia maya telah terpancang dengan megahnya. Atau justru itu yang menyebabkannya? Entahlah, kejadian itu terjadi dalam kurun waktu berpuluh-puluh dekade...

Jauh sebelum desa Bumi tercipta, Tuhan menciptakan banyak hal di alam semesta. Dari mulai bintang-bintang berpijar, hingga bulatan-bulatan batuan dengan perpaduan udara dan segala tetek bengeknya. Hingga akhirnya muncul puzzle kecil bernama manusia. Awalnya hanya satu, bersama pasangannya. Namanya Adam dan Hawa, sungguh klasik ceritanya. Tapi kali ini aku tak ingin menceritakan tentang mereka ataupun juga kisah Khuldi dan Iblisnya.

Tuhan telah merencanakan penciptaan puzzle dalam jumlah yang amat sangat besar, jelas. Hingga pada suatu masa puzzle-puzzle itu Dia jatuhkan satu per satu ke desa bernama Bumi. Tentunya diawali dengan puzzle tertua dan terdahulu, Adam dan Hawa. Berjuta tahun berlalu, bahkan sekian tahun dengan nominal angka yang sampai sekarang para ilmuwan pun masih menyandarkan pada hipotesis (yang disepakati bersama) tentang perhitungan kapan desa itu tercipta. Kini Tuhan telah menjatuhkan jutaan puzzle yang telah Dia ciptakan. Puzzle dengan satu gambar utuh, dan satu penampang unik, berwarna-warni, sangat indah. Dia menamakannya kedamaian, ah tidak, Dia juga menyebutnya kesatuan. Eh, atau universe? Entahlah, kau paham maksudku.

Malam itu hujan badai, diselingi dengan salju yang berjatuhan, Salah satu puzzle berjalan sendirian.
"Hujan bulan Desember selalu seperti ini, dinginnya menusuk tulang, dan bahkan meruntuhkan daya tahan," begitu katanya.
"Hei pak tua, apa yang kau lakukan berjalan di tengah badai seperti ini?" teriak salah seorang puzzle lain dari balik jendela.
"Ah sudahlah, jangan pedulikan aku, urusi saja urusanmu di balik tembok tebal itu," selorohnya sambil lalu.

Desa itu adalah masa lalunya, puzzle tua itu terus berjalan menuju arah entah kemana. Dia lelah dengan semua hal. Drama tak bernyawa, ketiadaan rasa juga irama, semuanya hambar baginya. Puzzle itu lelah...

"Aku tercipta dengan peran tak penting memang," gumamnya.
"Tapi apakah aku memang tertulis dalam jutaan rencana-Nya?"

Entahlah, sekali lagi dalam hipotermia puzzle itu berjalan sendiri ke arah yang tak tentu, kadang ke timur, kadang ke barat, dan mungkin juga akan ke selatan atau utara.

Semak belukar keputus asaan menghentikannya sejenak.
Puzzle tua itu tertidur dalam gelap malam, dinginnya angin tak lagi ia pedulikan.

Tahukah kamu? Siapa puzzle tua itu?
Dia adalah "si tengah", sebuah puzzle maha penting yang telah lama mengembara, mencari puzzle-puzzle lain yang (mungkin bisa diselamatkan). Dalam keteraturan irama meski dalam perbedaan dan segala dinamika. Puzzle itu lelah dengan dunia, terutama apa yang terjadi di desa bernama Bumi. Puzzle-puzzle di sini sangat susah untuk menjadi satu. Berdalih pendapat dan acuan terbaik dari satu sudut pandang, telah berhasil memberangus toleransi dan diversity.

"Ah, jangan banyak omong tentang toleransi, nanti ada pihak yang tersungkur dengan batu sandungan yang kau elukan, atau bahkan ada pihak lain juga yang merasa bangga, seolah mendapat bantuan tangga untuk mencapai puncak kesombongan mereka," bisik puzzle tua padaku.

Ah ya, aku lupa, kata itu relatif dan sarat tendensi. Lalu bagaimana pak tua?

"Aku tak peduli lagi, bagaimana kau berceloteh tantang desamu sendiri. Yang pasti aku ingin istirahat. Lelah dengan segala hal berbau persepsi dan pemenangan diri. AKU DIAM!" ujarnya menyeringai padaku, sebelum nafasnya berhenti, sekali lagi.

Ah sudahlah, sang puzzle kunci telah pergi, tak ada harapan lagi untuk desa ini. Sudahlah, tutup mulut saja, aku pun akan melanjutkan perjalanan tanpanya. Memang benar, Tuhan menciptakan kita sebagai puzzle penuh warna, yang tak pernah sadar bahwa sebenarnya kita saling mengisi. Apa mungkin Tuhan yang salah? Melemparkan puzzle ini satu per satu. Sehingga apa? Tak pernah ada pandangan utuh yang tercipta, karena egoisme masing-masing dari kami.

Aku pernah mendengar kata-kata sarat makna tentang manusia puzzle ini,
"Sejujurnya Tuhan telah salah sepertinya, karena telah mengumpamakan manusia puzzle sebagai cermin. Di mana ketika Dia membantingnya ke desa bernama Bumi ini, cermin itu pecah berkeping-keping. Sehingga saat pecahan-pecahan tersebut merefleksikan diri di dalamnya, yang nampak hanya satu pemandangan dirinya, tak ada yang lain, tak ada perspektif utuh yang terpantul (untuk mencerminkan gambaran jelas) menjadi kesatuan puzzle yang utuh. Yang jelas, Sebelumnya Tuhan pernah menamakan kumpulan puzzle yang utuh sebagai kedamaian, atau mungkin juga kesatuan, a universe.

EPILOG
Persepsiku bukan semata hanya milikku, karena kita adalah bagian dari puzzle, atau mungkin juga cermin yang terpisah-terpecah satu sama lain. Yang hanya akan memantulkan apa yang kita inginkan, apa yang kita miliki dan mainkan. Itu semua bukan pandangan utuh seperti apa yang seharusnya ditampakkan. Tapi ini adalah rencana Tuhan, jadi cobalah mempersatukan!!!

Sunday, September 25, 2016

(Harusnya) Aku Wisuda Hari Ini!!!

PROLOG
Gerbang baru ke-114 terbuka hari ini. Aku berbicara tentang Institut Teknologi Sepuluh Nopember yang menggelar prosesi wisuda terakhirnya di semester ini.

Foto ini diambil dua puluh September 2015
di Jurusan Teknik Material dan Metalurgi FTI-ITS, saat prosesi wisuda 112 ITS
Siapa sangka foto itu adalah foto pertama dan terakhirku menggunakan topi wisuda di jenjang bachelor's degree. Topi itu milik mas Muhammad Khairurreza MT13 yang saat itu kupinjam untuk sekedar ber"haha hihi" mencicipi bagaimana rasa mengenakan topi wisuda. Saat itu sama sekali belum terpikirkan olehku waktu bergerak secepat ini. Saat itu sama sekali belum terbayang bahwa aku akan menjadi perantau di negeri lain setahun setelahnya.

H-1 (harusnya) Wisuda
"Sumpek!!!" itu yang terucap dari mulutku saat ini.

Jujur entah mengapa, meski sekuat tenaga aku bilang tak masalah tanpa prosesi wisuda S1, tetap saja ada rasa kesal mengapa aku tak bisa menghadirinya. Kebetulan esok hari adalah hari di mana harusnya aku bertatap muka dengan kawan-kawan MT14 untuk kedua kalinya, duduk di dalam Grha Sepuluh Nopember (setelah pengukuhan empat tahun lalu). Tapi pagi ini pikiranku sedikit teralihkan oleh rencana kami untuk bersilaturrahim ke IETO (Indonesian Economic and Trade Office) atau yang dalam bahasa Indonesia berarti KDEI (Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia) di Taiwan.

Kantor yang berlokasi di 6th floor, no. 550, Rui Guang Road, Neihu District, Taipei 114, Taipei (R.O.C.) itu menjadi destinasi utama kami hari ini. Di sana kami bertatap muka dengan bapak Robert James Bintaryo, sebagai Representatif Indonesia di Taiwan (mudahnya: pimpinan KDEI periode 2016 sampai sekitar tiga tahun ke depan). Sambutan hangat dan pengantar tentang jumlah mahasiswa Indonesia di Taiwan yang mencapai kurang lebih 4000 orang menjadi pembuka silaturrahim. Tak kurang dari 23 orang dari Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) National Central University duduk bersama dalam satu ruangan untuk sharing dan juga berkenalan dengan pak Robert beserta jajarannya.

Sesi foto bersama di KDEI Taipei
Sesi sharing and introducing  berakhir sekitar pukul dua siang (GMT +8). Karena esok hari pak Robert harus bersiap pulang ke tanah air untuk mengurus beberapa hal terkait kedinasan.

Dalam hati masih bergumam sendiri, "wes tah? ngene tok?", efek baper besok wisuda masih membayangi. Ternyata mas mbak PPI berbaik hati (menyesuaikan rencana sebelumnya) dengan mengajak kami ber-sekian orang (setelah ada yang pulang duluan ke Taoyuan karena beberapa hal) berjalan-jalan mengunjungi salah satu bukit di daerah Xiangshan. Katanya sih area hiking, jadi nggak terlalu tinggi.

"Yosh!!!" batinku.

Sepanjang perjalanan ke Xiangshan diwarnai dengan canda tawa, bergantian duduk dan berdiri dalam kereta, dan lain sebagainya. Ya, semacam tamasya setelah hubungan kedinasan (karena memang masih pakai kemeja batik seluruhnya). Tapi setelah tiba di stasiun dekat lokasi Hiking Trail, kami seketika berubah wujud.

Tak banyak bicara, perjalanan kami ke puncak Elephant Mountain yang tingginya hanya 600-1200 feet (hayo konversi sendiri ke meter) tampak lancar dan tak berkendala. Hanya sesekali berhenti, minum, lalu berjalan lagi.

"Step by step... And we'll see the top"

Spot foto pertama, sebelum sampai setengah perjalanan

Sekilas menengok ke bawah, and cheese... (captured by Elsya Dhana)
Setibanya di atas, kami terpisah beberapa waktu, dan saling menunggu sampai semuanya berkumpul. Sambil menunggu enaknya ngapain yaaa. Yuk tengokin ke bawah yuk!!!

Penampakan Taipei 101 dari Elephant Mountain

Taipei padat gedung...

Begini wujudnya kalau gedung dan hijau-hijauan disatukan dalam sebuah frame
Sampai akhirnya...

Komplotan narsis pertama di spot foto dekat puncak

Di frame ini ada (dari paling atas, kiri ke kanan) pak Tri, aku, mbak Maytri, Elsya, mas Rio
mbak Nisa, mas Yoga, mbak Cica, mbak April, mbak Kartika, mas Maystya, mas Ellsa,
dan paling depan ada mas Wibhi

Alumni Institut Teknologi Sepuluh Nopember squad @ NCU

Kurang tah narsisnya???
Okay, it's time to go down...
Hampir petang, matahari di dekat Taipei 101 tak kuasa terlewatkan oleh mata kami.

Gradasi warna jingga dari matahari sore itu
Rasanya terlupakan semuanya bahwa besok (seharusnya) hari wisudaku. Sampai pada akhirnya...

Minggu, 25 September 2016
(ada satu video yang masuk ke chat line)
"Jurusanmu, bah! Seharusnya kamu ada di situ." (Mutia Anggraini Putri Arif, Matematika FMIPA ITS, 2014)

"Abah, selamat wisuda #114, karena hari ini Material wisuda dan abah nggak bisa ikut wisuda, jadi aku cuma bisa kasih hadiah sebatas itu. Semoga sukses selalu buat abahku, lancar kuliah S2 di Taiwan, jangan lupa sama anak-anak ayam di sini ya, bah! Terima kasih juga buat "pemanduku", yang selalu memberikan saran terbaiknya, selalu melakukan hal-hal terbaiknya, meski aku belum bisa melakukan hal-hal terbaik seperti saran abah. Maafkan cuma bisa memberi sebatas itu dan doa untuk wisuda abah hari ini. Semoga abah suka sama hadiahnya..." (Fathina Azhari, Fisika FMIPA-ITS 2014)

Tetiba baper gara-gara gambar ini dikirim sama Fathina "Opik" Azhari pagi ini 
Jujur ya nak, abahmu sebenernya lupa kalau hari ini wisuda (sejak bangun tidur tadi). Tapi jadi inget lagi gara-gara video dan gambarmu ini. Juga seketika ingat kata-kata yang entah ini cuma penenang atau memang sebenarnya demikian, dari mbak Paula, "Halah, nggak papa kok nggak ikut wisuda, nggak penting!". Thanks mbak, kata-kata itu sejenak berhasil menepis ke"ngenes"anku gara-gara nggak ikut prosesi wisuda hari ini. Terima kasih juga untuk beberapa ucapan-ucapan penyemangat hari ini...

"Tapi kan mas bakalan wisuda S2 dua tahun lagi! Jangan galau, kan ada aku!" kata seorang Tira Kurnia Saputri yang sedang bekerja keras di Karawang sana, meski hari Minggu.

"Nggak papa le, toh memang jalannya harus gitu..." ngendikanipun Mama dan Papa dari Bojonegoro nun jauh di sana.

Seketika aku cengeng lihat posting ini di grup MT14, terutama baca kalimat paling akhir.
Jujur, aku sambil nyanyi pakai nada mars kebanggaan kita bacanya.
Makasih ya semuanya, semoga apapun yang jadi pilihan kita hari ini, kemarin, esok, dan kapanpun itu adalah pilihan terbaik dari Allah SWT untuk kita.

EPILOG
Memilih itu tak salah, karena jalan menuju puncak sukses memiliki terjal dan lurusnya masing-masing. Jalan ke arah cita-cita itu punya progress dan stagnasi masing-masing. Kadang harus berkorban lebih untuk sesuatu yang lebih besar juga. Itulah kehidupan, terima kasih terspesial untuk Papa Anwar Hariyono karena sejak kecil telah mengajarkan "jangan pernah berkata SEANDAINYA, KALAU SEMISAL, dan semacamnya". Jujur, itu membuat pribadi ini kuat karena tak pernah terlalu larut bersedih dalam hal yang bukan jadi milik kita (atau juga gagal menjadi milik kita). Karena memang jika sudah tergaris oleh-Nya sebagai rejeki tak akan pernah terlewat begitu saja dari hidup kita.

HAPPY GRADUATION MT14!!!

Friday, September 23, 2016

Pikiran, Firasat, dalam Coretan Personifikasi

PROLOG
People come and go, just do something, and let it go...
How about you?

Siapa mereka? Kau pun tak seluruhnya kenal. Lalu mengapa kau ada di sana?
(National Central University Welcome Party 2016)
     Sudah sejauh ini ternyata, apa yang dulu kau kenal sebagai sesuatu hal yang asing dan tak biasa, kini tak lagi sama, berinteraksi dengan manusia lainnya.

    Bertemu dengan manusia lain, tak saling kenal di awal, pendekatan, "jadian" (please, ini cuma kiasan), menjadi kawan dan bahkan terikat, terikat dalam aktivitas setiap harinya. Menjadi terbuka tak sesulit yang kau kira, nyatanya...

    Dulu yang kau kira bicara hanya meruntuhkan benteng yang kau bangun sendiri sebelumnya, ternyata salah besar. Lalu, yang kau pikir menyampaikan gagasan hanya buang-buang waktu saja, semuanya tek benar. Justru hidup adalah menorehkan gagasan dan suara perubahan. Entah perubahan bagi diri sendiri saja, jika tak ada yang mendengarnya. Atau bisa jadi perubahan bagi orang lain dan khalayak, jika bisa menjadi penggerak.

Jadi, kau berubah?

    Ya, setiap orang berubah, entah jadi semakin buruk atau justru semakin baik. Atau bahkan yang awalnya buruk menjadi baik, dan sebaliknya.

Siap menerima perlakuan lain atas perubahanmu?

    Pada dasarnya tak ada yang berubah terlalu banyak. Dirimu tetap dirimu, diriku tetap diriku, menjadi satu dalam satu tubuh dan pemikiran, hanya saja mungkin berbeda sisi. Tentang perlakuan? Aku tak takut lagi dengan perlakuan, terutama perlakuan orang lain padaku. Karena memang bagaimanapun perlakuan mereka tak akan menjadikanku (dan dirimu) mengikuti sepenuhnya apa yang mereka mau.

Mereka marah? Lantas kau harus marah?
Mereka jahat? Apa aku juga harus jahat?
Mereka cuek? Toh pada dasarnya kita cuek, jadi tak masalah kan?
Mereka ramah? Jelas, kita pun ramah, karena dirimu kan juga ramah, aslinya...
Mereka menusuk dari belakang? Hahaha, doakan saja apa yang terbaik bagi hidup mereka. Mungkin apa yang ditusukkan ke kita akan semakin memperkuat diri kita di masa depan, itu yang disebut pengalaman.
Mereka menikung? Hmm... Anggap saja itu bukan rejeki yang "tepat alamat" untuk kita.
Dan tentunya masih banyak perumpamaan-perumpamaan perlakuan yang lain. Intinya kita tak akan terpengaruh dengan mudah. Kita sudah dua puluh dua tahun dalam pikiran yang sama, dalam tubuh yang sama, dalam tindakan yang sama. Bertentangan, terkadang... Tapi tetap berakhir dengan satu tindakan nyata, yang selaras, bukan?

Jadi, mari kembali lagi, ke"tertutup"anmu sudah berakhir?

     Tidak, sama sekali tidak, dan aku tahu kau paham hal itu. Seorang yang terlahir introvert akan selamanya membutuhkan waktu me time-nya sendiri meski berada dalam satu komunitas yang cocok dengannya. Kapan waktunya? Biarkan malam, dan bintang-bintang yang menjawabnya. Bahkan, jika bulan ingin bergabung pun aku mempersilakannya.

Lalu, bagaimana denganku?

     Hmm, kau menanyakan tentang sisi diriku yang satu lagi. Atau mungkin kau bukan lagi dia? Bagaimana jika kubalik pertanyaannya, apa kau hanya masa lalu dalam pikiranku?

Entahlah, yang pasti aku tetap dirimu.

      Ya, sudah kau jawab sendiri pertanyaanmu. Jadi tak usah pikirkan apa yang akan terjadi padamu, padaku, pada masa lalu kita, atau diri kita yang lain lagi (yang akan tercipta di masa depan) hasil dari transformasi pembelajaran kita hari ini, detik ini, bersama dengan orang-orang ini (untuk saat ini).

Indonesian Student in National Central University Welcome Party 2016
by NCU Student Ambassador

Kawan ghibah nongkrong side A

Kawan ghibah nongkrong side B
Kesimpulanmu?

Just let it flow, brother...
People come and go, just do something, and let it go...
Keep make relations, keep our kindness, and always happy with ourself...
Then? We've got experiences, in everytime, everywhere...

EPILOG
Manusia itu tak mudah ditebak, kadang ceria, sedih, murung, bahagia, galau, menangis, tertawa, sakit hati, dan segala hal yang bisa dirasakan dan dilakukan. Lalu apa hubungannya semua itu dengan tulisan kali ini? Tentu saja ada, karena apa yang kalian baca barusan, adalah personifikasi pikiran manusia yang sedang berdialog dengan dirinya sendiri, entah masa lalunya, sisi lain dirinya, atau justru masa depan yang belum bertransformasi ke dalam dirinya, karena memang belum tercipta, hanya bercerita lewat firasat tanpa kata.
Bingung? Tak paham? Yah, lewati saja, tak usah dibaca lama-lama...

Wanna support???