PROLOG
Banyak orang yang
sebelumnya memilih diam dan tak mencuit via sosmednya masing-masing tentang
sesuatu, tiba tiba nulis dan pernyataannya selalu sejenis, "sebenernya sih aku nggak
pengen ngomen ginian..." atau "seharusnya bukan kapasitasku
untuk mengetik tulisan gini, tapi kebenaran harus disuarakan..." atau juga "duh gatel ini tangan, padahal
udah nahan sejak lama nggak bakal nulis tentang ini itu..." dan segala macam bentuk tulisan yang
sama bentuknya. Lalu apa maksudmu dengan prolog seperti ini?
Tenang saudara-saudara,
saya tak akan mencibir atau mencuitkan sesuatu yang memang sudah jadi kodrat
manusia, bahwa mereka makhluk sosial, yang secara implisit berhak bersosial
media untuk menyatakan pendapatnya tentang sesuatu. Toh, nggak mungkin dong
kita melarang hak asasi orang yang jelas tertuang di Pasal 28 Undang-undang
Dasar 1945? Karena memang kita manusia beradab dan bernegara yang tak boleh
saling melanggar HAM dengan melarang pengutaraan pendapat. Meski mengingatkan
untuk mengontrol pendapat juga harus dilakukan, demi "maslahat" dan
harmonisasi, bukan justru menambah "masalah" seperti yang sering kita
lakukan.
Jadi bahasan saya kali
ini tak begitu penting sebenarnya.
Bisa dianggap demikian
bagi para penganut bad news is
a good news. Tapi bagi saya yang notabene punya 'sedikit' background di
bidang Media dan Informasi, serta sejenak 'pernah nyemplung dan berendam tak
begitu lama' di dunia jurnalistik kampus, dan mungkin juga kaum-kaum sejenis
saya, hal seperti ini bukan hal tidak penting. Apalagi bagi manusia-manusia
idealis yang pernah nyicipin dunia tulis-menulis/jurnalistik/pers (lumayan)
formal, bukan cuma dunia tulis menulis 'ala-ala' yang jadi panutan jamaah
sosmediyah biasa lho ya. Jadi gini lho rek,
akhir-akhir ini kan di sosial media banyak sekali tulisan-tulisan,
komentar-komentar, bahkan cuitan-cuitan (yang beberapa orang juga menyebut
dengan: sudut
pandang Drone Manuk-Emprit), yang bertema kontroversial sesuai kondisi
kekinian, bahkan ada yang sampai berbau konfrontasi pada kaum dan pihak
tertentu. Iya apa iya? Hehehe...
Kamu pasti juga
merasakannya kan? Bahkan sampai risih juga, dan pada akhirnya berujung "aku kok geregetan pisan sih melihat bla bla bla bla" dan berujung jadi orang yang
digeregetin orang lain juga karena bla
bla bla mu juga mengandung hal-hal yang kamu geregetkan. Hayoloh,
muter-muter deh akhirnya, dan nanti kalau debat pas ketemu berujung ke circular reasoning.
NB: Untuk istilah yang
saya gunakan di tulisan kali ini kebanyakan dari mana, cari aja sendiri lah ya,
udah gede, udah bisa tracing sendiri mana sumber-sumber yang
harus ditelusuri atau dibiarkan begitu saja (duh, kan bahasanya belibet udah
kaya review jurnal).
Sebenarnya hal-hal
semacam mangkel,
geregetan, gemas, dan bahkan juga sebal (bisa ditafsirkan 'benci' juga
kadang-kadang oleh orang-orang yang kelewat baper) itu nggak perlu terjadi lho.
Karena sejak awal perbedaan pendapat itu jelas ada. Ini pandangan secara umum
lho ya, jangan terus melihat saya dari sudut pandang, "wah iki pasti
jamaah CARIAMANiyah" (atau bahasa keren logical
fallacy-nya: Middle Ground)
dan semacamnya karena men-generalisir segala sesuatu dengan
memainkan peran 'cari aman' dan jalan tengah (wes, iki koyok maba ae di-judge
cari aman).
Ngene lho rek, sesekali coba deh,
ketika membaca pesan-pesan dan berita unik yang beredar, matikan indera pengais
informasimu sejenak (read: hape, laptop, pager,
HT, dan semacamnya), lalu mainlah yang agak jauh dari tempatmu sekarang.
Pergilah sejenak, kenal lah orang-orang baru, serap segala macam sudut pandang
baru (tapi idealisme dan prinsipmu wajib masih dibawa lho ya, jangan sampai
tergadai duluan sebelum kamu kembali nanti), dan setelah beberapa lama
kembalilah. Buka lagi indera pengais informasimu yang mati tadi. Baca dengan
seksama apa yang kamu baca sebelumnya, sama kah rasanya? Menurut opini saya,
tak mungkin sama. Karena apa? Ada proses yang bertambah di dalam kehidupan
kamu, kamus sudah "main cukup jauh dan pulang cukup malam" (kalau
kata anak-anak kekinian). Otomatis kamu punya banyak wawasan baru yang lebih
bisa memberikan pandangan logis tentang apa yang kamu baca, lihat, dengar, dan
jilat (read: rasakan). Dan sifat-sifat sumbu pendek dengan asal share dengan
komentar-komentar menggeregetkan pun tak akan terjadi padamu. Tapi beda sih,
kalau prinsipmu masih bad news
is good news.
Lalu bagaimana jika kaum
saya disindir? Atau ras etnis saya yang dicuitkan?
Lhoalaaah (sambil tebas
dada), sindirannya kamu benarkan nggak? Atau apa yang dituduhkan itu benar
demikian di kaum atau ras kamu nggak? Kalau benar, ya sudah diam saja, kamu tak
berhak marah, karena memang benar adanya. Tak perlu cari-cari alasan sampai
menghasilkan social media-war atau
semacamnya. Tapi jika sindiran/opininya salah, bela kaummu! Etnismu! Rasmu!
Perjuangkan mati-matian tentang kebenaran yang kamu ketahui, tapi jangan cuma
"berkoar negatif" (atau kalau bahasa anak gaul sekarang jadi: sakit
pantat--butthurt) lewat komen dan posting balasan. Sungguh, sama sekali
tidak elegan gitu lho.
Kalau mau elegan gimana?
Bikin aja tulisan yang
santun, yang bagus, dengan bahasa-bahasa yang sopan dan lemah lembut, ingatkan
si penyindir dan pencuit, kalau bisa secara langsung layangkan ke beliau secara
pribadi.
Lha nek ga digubris?
Lakukan berulang-ulang,
toh gak mungkin kan bebal terus-terusan? Orang juga ada mikirnya, kan kodrat
manusia emang disuruh mikir.
Kalau itu sudah dilalui
tapi tetap tak sampai juga pendapat kita ke beliaunya? Atau beliaunya nggak
berubah dan tetap bebal?
Ya sudah, kalau memang
salah beliau berat dan akan menimbulkan mudharat yang tak sedikit, bergeraklah sesuai
ranahnya. Kan sosial media sekarang dilindungi Undang-undang ITE? Kumpulkan
bukti, berikan argumen konkret, layangkan gugatan! Biarkan yang berwenang yang
bergerak. Eits, tapi tunggu dulu, saya di sini tak
memberi saran bagi yang sudah bebal dan sakit pantat duluan ya, contohnya orang
yang demikian adalah yang selalu mencari celah: "yang berwenang lho bisa
disogok", "undang-undangnya lho masih cacat", dsb dsb... Lha
maumu apa le, nduk? Kamu
manusia bernegara kan ya? Ya sudah, itu yang bisa dilakukan ikhtiarnya. Urusan
faktor-faktor X yang uncontrollable sama kita ya sudah biarkan Allah
SWT yang atur. Beres.
Uenake cocotmu nek
ngomong beras beres rebes raimu!
Hahaha, yakin saya,
pasti banyak yang mikir demikian saat baca tulisan ini. Kan haters gonna hate adalah
kenyataan, ya tho? Tapi
setidaknya apa yang saya sarankan demikian sudah saya upayakan untuk terlaksana.
Dan inshaAllah selalu saya introspeksi ke diri saya sendiri untuk tak jadi
sumbu pendek. Setidaknya jika tak bisa jadi pengurai masalah, jangan jadi "tukang
memperkeruh masalah", itu prinsip yang saya pegang. Dan dalam hal
pemanfaatan media, saya rasa itulah hal yang paling bijak dilakukan. Mau
alasannya apapun, sangat pengecut jika hanya berani mencuit di sosial media
tapi tak bergerak secara langsung untuk menguraikan masalah. Apalagi akun
sosial mediamu cuma digunakan sebagai penyebar opini yang bikin geregetan orang
lain, yang justru pada awalnya kamu sendiri nulis itu karena juga geregetan
dengan orang lain. Lha lak terus-terusan nyebar greget, wes koyok meme Maddog nang The Raid
ae...
Bayangkan sudah berapa
banyak aura negatif yang tersebar jika gregetan
jariyah tadi tersebar di 5000
teman/followers facebo*k,
twitt*r, pa*h, instag*am, atau apapun itu? Dan berapa banyak energi yang telah
dihabiskan untuk sekedar mengobati "mata rantai" gregetan tadi agar
bisa ter-recovery lagi seperti sediakala? Buanyak lho pastinya...
Makanya itu rek, please lah! Berhenti menyebar
posting-posting dengan aura negatif. Kalau mau menanggapi, tanggapi yang baik,
bahasa yang sopan, halus, dan penuh penghayatan serta pemikiran panjang. Masa' aw*arin/an*a
geral*ine/selebgram (yang dianggap sebagai penyebar pengaruh negatif) aja yang
disuruh bertanggung jawab dengan postingannya, tapi kita sendiri merasa benar
dengan apa yang kita lakukan, padahal sebenarnya ngga beda jauh sama mereka
tadi, meski kita mengkritik dia. Sudahlah, jaman ini bukan lagi era MEDIA biasa, melainkan era CERDAS MENELAAH INFORMASI dengan MEDIA!
Mengutip dari posting di facebo*k saya beberapa waktu lalu,
(Dalam bersosial media) mari saling mengingatkan, saling menghargai, dan saling menghormati satu sama lain (tentunya dengan santun dan beradab). Jangan jadi manusia korek api ya, apalagi insan bersumbu pendek. Karena manusia tempatnya salah dan lupa, salah itu pasti ada, yang buruk adalah mencari-cari kesalahan yang diada-adakan. "Mari adil sejak dalam pikiran", kalau kata suhu Pramoedia A. T. "Karena orang SOK TAU itu suka banget MEMBUAT STANDAR GANDA bagi ORANG LAIN (mengkritik dan mencaci), dan orang SOK TUA itu paling suka MEMBUAT STANDAR GANDA bagi DIRINYA SENDIRI (membela diri)." Dan kalau udah dua-duanya? Segera istighfar dan mohon ampun sama Tuhanmu, barangkali "switch on off" introspeksimu sedang korslet.
Jadi jangan jadi orang yang merasa benar sendiri ya, yuk sama-sama memperbaiki diri, bijak dalam menyikapi segala hal, juga tak lupa mengingatkan orang lain (sekali lagi, dengan santun dan beradab) jika mereka khilaf dan lalai.
Indonesia bisa kok jadi lebih baik, jangan pernah malu jadi INDONESIA ya, apalagi sampai menempelkan segala hal negatif dengan komentar "pasti gitu, kan Indonesia...". Padahal kita tak sadar bahwa dengan berkomentar demikian, kita juga merendahkan diri kita sendiri. Ingat KTP-mu masih diurus di kecamatan yang tanahnya punya Indonesia lho, atau juga: paspormu lho masih gambar Garuda Pancasila, nggak usah lah sok memandang rendah negerimu sendiri. Wong Indonesia lho potensinya besar banget, cuma kita aja yang belum sadar dan belum memanfaatkannya dengan optimal, dalam hal apapun. Malah keduluan penjajah modern dengan penanaman modal besar mereka untuk mengeruk kekayaan kita (baik kekayaan SDA, SDM, maupun paham-paham unik yang cuma Indonesia poenya).
EPILOG
Wes rek, lerenono twit-warmu, comment-warmu, karena menulis tak pernah sebercanda itu. Perlu banyak pertimbangan matang dari mulai latar belakang, konten (isinya), sampai closing kesimpulannya. Dan yang lebih ekstrem lagi adalah: pertimbangan tentang siapa pembacanya dan efek apa yang akan timbul setelahnya. Karena memanfaatkan media dan informasi tak pernah sebercanda itu juga. Banyak lah meme-meme yang bilang kalau "benci sama postingan di sosmed itu lumrah, tapi kamu gak berhak mengatur mereka, karena ini media sosial bukan dinas sosial", tapi apa itu bener? Jangan bandwagon, please! Kita memang tak bisa mengatur orang lain, tapi bisa dong tak mengikuti jejak buruk mereka sebagai penebar aura negatif?
Mengutip dari posting di facebo*k saya beberapa waktu lalu,
(Dalam bersosial media) mari saling mengingatkan, saling menghargai, dan saling menghormati satu sama lain (tentunya dengan santun dan beradab). Jangan jadi manusia korek api ya, apalagi insan bersumbu pendek. Karena manusia tempatnya salah dan lupa, salah itu pasti ada, yang buruk adalah mencari-cari kesalahan yang diada-adakan. "Mari adil sejak dalam pikiran", kalau kata suhu Pramoedia A. T. "Karena orang SOK TAU itu suka banget MEMBUAT STANDAR GANDA bagi ORANG LAIN (mengkritik dan mencaci), dan orang SOK TUA itu paling suka MEMBUAT STANDAR GANDA bagi DIRINYA SENDIRI (membela diri)." Dan kalau udah dua-duanya? Segera istighfar dan mohon ampun sama Tuhanmu, barangkali "switch on off" introspeksimu sedang korslet.
Jadi jangan jadi orang yang merasa benar sendiri ya, yuk sama-sama memperbaiki diri, bijak dalam menyikapi segala hal, juga tak lupa mengingatkan orang lain (sekali lagi, dengan santun dan beradab) jika mereka khilaf dan lalai.
Indonesia bisa kok jadi lebih baik, jangan pernah malu jadi INDONESIA ya, apalagi sampai menempelkan segala hal negatif dengan komentar "pasti gitu, kan Indonesia...". Padahal kita tak sadar bahwa dengan berkomentar demikian, kita juga merendahkan diri kita sendiri. Ingat KTP-mu masih diurus di kecamatan yang tanahnya punya Indonesia lho, atau juga: paspormu lho masih gambar Garuda Pancasila, nggak usah lah sok memandang rendah negerimu sendiri. Wong Indonesia lho potensinya besar banget, cuma kita aja yang belum sadar dan belum memanfaatkannya dengan optimal, dalam hal apapun. Malah keduluan penjajah modern dengan penanaman modal besar mereka untuk mengeruk kekayaan kita (baik kekayaan SDA, SDM, maupun paham-paham unik yang cuma Indonesia poenya).
EPILOG
Wes rek, lerenono twit-warmu, comment-warmu, karena menulis tak pernah sebercanda itu. Perlu banyak pertimbangan matang dari mulai latar belakang, konten (isinya), sampai closing kesimpulannya. Dan yang lebih ekstrem lagi adalah: pertimbangan tentang siapa pembacanya dan efek apa yang akan timbul setelahnya. Karena memanfaatkan media dan informasi tak pernah sebercanda itu juga. Banyak lah meme-meme yang bilang kalau "benci sama postingan di sosmed itu lumrah, tapi kamu gak berhak mengatur mereka, karena ini media sosial bukan dinas sosial", tapi apa itu bener? Jangan bandwagon, please! Kita memang tak bisa mengatur orang lain, tapi bisa dong tak mengikuti jejak buruk mereka sebagai penebar aura negatif?
No comments:
Post a Comment
Budayakan comment di setiap situs yang anda kunjungi...
Untuk memulainya, silakan dibiasakan di dalam blog Pujangga Tanpa Inspirasi!!
Terima kasih, Thank You, Gracias, Merci, Syukron, Matur Suwun...