Description

"Who you are, depends on what do you think about GOD and yourself."

#KotakAjaib
Copy-Paste boleh, asal cerdas! Jangan lupa cantumkan sumbernya ya...
http://tanpa-inspirasi.blogspot.com/

Thursday, January 10, 2013

"the ZOIZ" Desire

   "Sudah banyak yang tumbang, sudah banyak yang meninggalkan kita, dan sudah banyak yang tak mampu lagi bertahan."
   Sebenarnya itu kata-kata dari salah seorang kawan yang memang dapat dianalogikan sebagai tamparan keras. Bukan untuk siapapun, tapi untuk orang yang sampai saat ini masih belum bisa peka terhadap apa yang terjadi. Terlalu memikirkan diri sendiri, study oriented dan tak peduli terhadap nasib keluarganya.
   Dalam pikiranku masih ada banyak asumsi, "Ujung tombak sudah mulai tumpul, kayu penopangnya pun sudah lapuk dan banyak yang keropos." lalu, "Sang juru bicara pun sudah tak ingin lagi menyuarakan kebenaran karena larangan segelintir orang yang ingin tak hanya sang juru bicara yang berbicara, tetapi yang lain juga mampu berbicara."
   Sebenarnya jika kita mau memandang dari sudut pandang yang lebih luas, inilah kesempatan kita, waktunya kita menghimpun kekuatan. Perjuangan kita sudah tinggal selangkah lagi, diujung tanduk pun tak peduli. Kita perbarui kayu penopang tombak kita, dan ujung tombak yang tumpul tak harus dipertajam, hanya intensitas penyerangan yang kita intensifkan.
   Mungkin terlalu naif jika menganggap ini hanyalah hal kecil. Orang-orang yang lebih sering memandang sesuatu yang penting menjadi tak penting dan menganggap sesuatu yang patut ditakutkan menjadi hal yang tak perlu diperhatikan adalah orang-orang lemah yang sebenarnya bisa dengan mudah kita tembus meski dengan lemparan kerikil kecil sekalipun.
   Tinggal bagaimana kita menyikapi segalanya. 143 dari kita sudah pasti akan berkurang di akhir semester ini, sudah ada 2 yang pasti akan pergi. Tinggal 141 orang yang masih tampak bertahan, meskipun tanpa kita sadari pun akan ada yang mengikuti jejak 2 orang terdahulu.
   Haruskah kita menunggu saudara yang berjuang bersama kita hingga beberapa tahun kedepan di kampus ini berkurang lagi?
   Harus menunggu sampai berapa orang keluarga kita yang menyerah di medan ini?
  Mungkin benar kata salah seorang keluarga kita, "Mungkin kita nggak akan bisa keluar dari sebuah keadaan yang menjemukan ini jika kita selalu ikut alur yang tak pasti ini, juga mungkin saja jika kita keluar dari arahan mereka untuk kebaikan kita sendiri mereka akan menganggap kita sudah mampu berdiri sendiri tanpa tuntunan dan akan segera mengakhiri ini semua, tentu saja dengan harapan bahwa kita akan segera menjadi bagian dari mereka."
   Sekali lagi itu hanya anggapan, tanpa ada tindakan, anggapan akan hanya menjadi anggapan.
  Tulisan ini bukan bertujuan untuk mengajarkan bagaimana cara keluar dari keadaan kita saat ini, tetapi tulisan ini lebih menekankan pada bagaimana kita menyikapi keadaan kita saat ini sehingga kita bisa menemukan cara yang tepat untuk keluar dari keadaan kita saat ini.
   Tanpa berniat sedikitpun menggurui ataupun sok tau, tapi aku tak ingin keadaan kita lebih buruk dari ini, itu saja. Cukup sampai disini masa sulit kita, mari kita songsong masa indah yang terbaik setelah kita menemukan cara untuk mengawali langkah kita untuk mencapainya.
   Adakah cara terbaik yang kalian pikirkan??
   Mari kita kaji bersama, dan kita sikapi keadaan ini dengan bijak.

Tuesday, January 8, 2013

Sebuah Pemikiran Minor Tentang Transisi

   Hal ini selalu saja menarik untuk diangkat sebagai bahan diskusi, entah diskusi dengan orang banyak, atau hanya diskusi dengan batin sendiri, hal ini berkaitan erat dengan sebuah masa, awal dari sebuah masa yang akan membawa pada sebuah dimensi yang baru, berbagai pemikiran mungkin sudah mulai terbersit.
   Di sini aku tak akan menyinggung langsung tentang apa itu ospek, apa itu kaderisasi, apa itu orientasi, atau apalah nama dan bentuknya.
   Pada hakikatnya itu semua bermuara pada sebuah tujuan mulia, sebuah gerbang adaptasi untuk menemukan suasana baru dari yang sebelumnya, juga untuk membekali diri dalam menghadapi suasana yang baru itu, atau yang lebih jauh lagi, adalah dari sudut pandang tujuan mulia bagi dunia, tak cukup waktu untuk mengurai satu per satu, mungkin tulisan ini aku buat saat aku masih dalam posisi sebagai obyek yang merasakan hal - hal ini, tapi tak dapat dipungkiri, jika seseorang merenungi hakikat yang sebenarnya dari tujuan - tujuan tentang adanya hal ini, aku yakin mereka mungkin tak akan membantah atau mungkin malah setuju.
   Oke, apapun yang aku maksud dalam hal ini, akan aku wakilkan dalam sebuah kata TRANSISI.
   Di dalam sebuah Transisi terdapat sebuah misi yang diemban oleh kakak-kakak kelas, yang selanjutnya aku sebut sebagai TRANFERER. Di mana membentuk sebuah atmosfer baru yang dapat memberikan transformasi pemikiran bagi adek-adek kelas, yang dapat diartikan sebagai RESIPIENT, agar mereka atau mungkin kami dapat menjalani kelanjutan hidup di sebuah komunitas baru yang tak dapat dipungkiri benar-benar baru dan asing. Transisi tidak seharusnya menjadikan Resipien enggan untuk menerima fasilitas yang Transferer berikan. Di sini Transferer merupakan media pembentuk mental, media pengatur Transisi agar proses berjalan maksimal. Banyak metode yang dapat dilakukan, tidak hanya dengan pressure yang berlebih. Mungkin contoh tentang Raden Gathotkaca yang ditenggelamkan ke dalam kawah Candradimuka menjadi analogi yang paling sering digunakan untuk menghalalkan bahwa tekanan merupakan cara terbaik untuk membuat seseorang menjadi kuat. Membuat alibi bahwa mencaci maki adalah sah jika output yang dihasilkan menjadi berkualitas.
   Mari kita tinjau, kualitas seperti apakah yang dihasilkan. Kualitas dalam kungkungan skala kuantitas kah?
Kumpulan pemikiran mayor, hasil upaya doktrinasi Transferer kepada Resipient, menindas pemikiran-pemikiran minor dari Resipient yang mungkin saja memiliki keseksamaan yang lebih valid jika ditinjau dari kadar kebenaran yang benar-benar membenarkan, bukan kebenaran hasil dari kesepakatan kuantitatif.
Pemikiran-pemikiran mayor yang muncul memang sampai pada parameter yang Transferer harapkan untuk membuat Transisi ini sesuai dengan output yang diinginkan. Tapi bagaimana dengan Resipient? Apakah hanya dengan parameter yang telah ditetapkan, yang sekali lagi dalam skala kuantitatif (atau dapat diperjelas menjadi kesepakatan komunal), itu sudah cukup untuk bekal kedepan mereka?
   Pernahkah para Tranferer berpikir tentang efek samping yang mereka akibatkan dengan tertanamnya doktrin akan parameter komunal mereka ke dalam otak Resipien yang masih dipenuhi dengan ambiguitas dan kebingungan yang semakin menjadi-jadi. Meskipun tampak bahwa parameter itu tercapai, dengan sedikit paksaan yang tak sesuai.
   Pemikiran kreatif yang sesungguhnya benar justru dipandang salah, dan merendahkan kesepakatan komunal. Tujuan awal yang sebenarnya bermuara pada dunia, atau yang lebih kecil saja, skala masyarakat, dipandang salah karena tidak sesuai dengan keinginan Transferer. Di mana yang Transferer harapkan adalah dedikasi tinggi pada kesepakatan komunal. Yang bisa aku sebut secara frontal sebagai cara untuk mempertuhankan kesepakatan komunal tersebut. Aku tak mengelak akan manfaat dari apa yang Transferer berikan, tapi aku juga tak bisa menutupi bahwa di dalam sistem yang telah berlaku terdapat banyak kesalahan. Yang jalan satu-satunya untuk memperbaiki hal ini adalah dengan masuk ke dalamnya, persis seperti daur lisogenik yang virus bakteriofage lakukan untuk menginvasi bakteri pada tubuh manusia.
   Satu pemikiran minor yang tak cocok (atau setidaknya menurut penilaian Transferer) ada pada ideologi kesepakatan komunal, dianggap membahayakan dan penyakit yang harus dibuang. Mengapa tidak dicoba saja mempersatukan antara pemikiran mayor yang memang sengaja didoktrin kepada Resipient, dengan pemikiran minor dari Resipient yang kemungkinan besar memiliki arah positif tentang perbaikan ideologi kesepakatan komunal.
   Tapi sekali lagi pemikiran hanyalah pemikiran tanpa ada tindakan.
   Mengutip kalimat dari salah seorang pemateri di acara LKMM Tingkat Pra Dasar di salah satu lembaga perguruan tinggi di Indonesia:
   "Bahwa di dalam proses Transisi ini terdapat kesalahan, tapi di sini kapasitas saya adalah sebagai pemateri, bukan hak saya untuk menjelaskan apa saja kesalahan tersebut."
   Dapat disimpulkan Transisi ini ada sebuah kesalahan lama yang telah mengakar dan berlanjut hingga sekarang.
   Dan untuk menganalisa kesalahan apakah itu, sepenuhnya adalah tugas kita sebagai Resipient atau obyek dari proses Transisi yang terjadi ini. Apa yang kita serap dan apa yang kita hasilkan setelah menganalisa semuanya akan menjadi dasar fundamental yang membuat tonggak perubahan dari kesalahan-kesalahan masa lampau, sehingga menuju sebuah proses Transisi yang lebih baik dan terstruktur.
   Tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menyudutkan proses Transisi dari salah satu Universitas atau Institut manapun. Hal serupa bisa saja terjadi di lembaga manapun, hanya saja sebuah kasus serius yang demikian dapat menjadi bahan renungan tentang hakikat dari proses Transisi itu sendiri, agar tidak menyimpang dan justru hanya akan mendapatkan hasil yang dangkal seperti "Mempertuhankan Kesepakatan Komunal".
   Dengan segala kerendahan hati dan tanpa adanya pemikiran untuk menganggap apa yang terjadi di semua proses Transisi itu SALAH, aku di sini hanya menyodorkan sebuah fakta, yang diharapkan bisa menjadi sebuah studi kasus bagi para Resipient yang menjadi obyek proses Transisi ini, yang mengharapkan proses yang lebih baik di masa depan.
   Semoga di tahun yang baru ini, segelintir orang yang tergugah hatinya saat membaca tulisan ini, maupun yang tak paham sedikitpun dapat menggali pemikiran tentang peletakan tonggak awal transformasi ke arah yang lebih baik.
   Vivat!!!

Wanna support???