Description

"Who you are, depends on what do you think about GOD and yourself."

#KotakAjaib
Copy-Paste boleh, asal cerdas! Jangan lupa cantumkan sumbernya ya...
http://tanpa-inspirasi.blogspot.com/

Friday, October 13, 2017

Bio-inspired Materials and Technology: About TRUST, PASSION, and HARD WORK

PROLOG
Yeay, suka banget deh sama tanggapan pembaca dari tulisan terakhir tentang Marriage, baru dua hari dirilis aja responnya udah macem-macem, ada yang chat kelewat curhat, ada yang DM nyasar ke diskusi "berbobot", dan bahkan ada yang ngomong langsung terkait responnya terhadap tulisan dua hari kemarin. Anyway, terima kasih atas support kalian (para pembaca) buat penulis amatiran ini ya, guys.

Kali ini aku cuma ingin berbagi pesan-pesan inspiring yang secara panjang lebar diselipkan selama mata kuliah Bio-inpired Materials and Technology oleh sang profesor di sela memberikan materinya pagi tadi. Sebelum keburu lupa dan menguap begitu saja, lebih baik kuketik saja malam ini.

"Thanks for choosing this class everybody, I never push you to stay here since the initial meeting. You just come and sit here until these continuous weeks for your own will, right?" ujarnya membuka ceramah panjang lebar setelah adanya insiden yang cukup memalukan untuk diceritakan. Tapi tenang, bukan tentang aku atau kawan-kawan Indonesia yang ada di kelas ini kok. So, just calm down. We're not making a shame to our beloved country.

<<<skip cerita memalukannya ya>>>

Jadi intinya hari ini tiba-tiba Prof. Tu Lee ngasih aturan unik yang beliau berlakukan di dalam kelasnya (setelah insiden memalukan itu):
1. Saat mengerjakan apapun, jangan pernah takut salah! Karena kita datang ke dalam sebuah forum diskusi adalah untuk memperkaya diri dengan pengetahuan, bukan untuk saling membanggakan apa yang sudah kita miliki. Jika ingin berkontribusi lebih di dalam forum diskusi, BELAJARLAH LEBIH GIAT menyampaikan pendapat, agar pendapatmu bisa dipertanggung jawabkan!!!
2. Dalam menggali ilmu pengetahuan sekarang ini telah banyak sekali sumber bantuan, tak peduli rekan satu laboratorium, rekan sekelas, Google (ini beliau sebut untuk mewakili internet), dan bahkan saya (profesor) sendiri. "You're free to ask me everything, and I won't take a fee," kelakarnya saat itu. Jadi jangan pernah berhenti mencari bantuan!!!
3. Kamu manusia, kamu makhluk sosial, jadi jangan tertutup apalagi malu untuk mencari tahu apa yang belum kamu tahu!
Dan sebenarnya tiga pesan itu saling berkelindan serta tak bisa dipisahkan satu sama lain, yang secara tersirat mampu menggambarkan keramahan yang ditawarkan institusi pendidikan (universitas) itu sendiri.

Eh, mengapa bisa demikian?

Karena ketika kita gali lebih jauh dari tiga aturan yang dikatakan Prof. Lee tadi, itu semua berhubungan langsung dengan tema menarik tentang keberadaan universitas yang dapat diulas lebih lanjut (salah satunya lewat tulisan kali ini). Universitas, tak peduli di manapun tempatnya, selalu menawarkan keramahan tersendiri bagi penghuninya.

Wait, keramahan seperti apa yang dimaksud?

Jadi begini, ketika kita berikan sebuah perbandingan antara studi lanjut (baik S2 maupun S3, ataupun postdoctoral sekalipun) dengan bekerja (karena ranahku di engineering, maka aku akan memberikan gambaran tentang menjadi engineer) di perusahaan, ditinjau dari gaji/pendapatan maka mereka berdua sangatlah tidak sebanding. Selaras dengan apa yang Prof. Lee katakan, "In a university, in your master or PhD program now, I bet you're get not much money in monthly, right?" yang saat itu jelas sekali diikuti dengan anggukan seisi kelas. Karena pada dasarnya kami semua, 12 orang (3 orang Indonesia, 3 orang Vietnam, 1 orang Mesir, dan sisanya Taiwan) yang mengambil mata kuliah itu, adalah penerima beasiswa baik master maupun PhD di NCU.

Memang, ketika ditinjau lebih lanjut, montly scholarship yang kami terima untuk S2 di sini adalah NT$10.000 dan S3 sekitar NT$15.000 (bisa lebih tergantung dari kinerja, statement ini berani kusebutkan karena kawan PhD satu ruangan labku menerima lebih dari NT$15.000 karena kinerjanya di atas rata-rata). Tapi bandingkan dengan kerja di perusahaan, "you know? A graduated master student, as an employee here (maksudnya di Taiwan), he/she can get at least NT$40.000 and of course it's bigger than yours now," kata Prof. Lee sekali lagi.

Tapi sekali lagi bukan sebatas acuan profit-oriented atau salary-centered yang ingin ditekankan dalam tulisan tentang institusi pendidikan yang kusodorkan pada kalian, dari pesan-pesan profesor yang berhasil kurekam hari ini. Karena memang ketika kita kaji lebih lanjut, universitas, tak peduli di manapun tempatnya, selalu menawarkan keramahan tersendiri bagi penghuninya.

Masih menjawab pertanyaan yang sama dengan sebelumnya, ada 3 hal khusus yang bisa kuulas. Pertama, universitas adalah tempat yang memberikan kemudahan mendapatkan pengetahuan tekstual: bagaimana tidak? Pada umumnya banyak profesor yang selalu siap sedia membimbing kita ketika kita mengalami kegalauan dalam mendaki puncak ilmu pengetahuan, belum lagi akses jurnal, paper, dan juga buku-buku yang sangat susah dicari oleh para R&D di perusahaan, sangat mudah ditemukan ketersediaannya di lingkungan universitas (statement ini terbukti dengan pengalaman pribadiku. Beberapa hari lalu, kakak tingkatku saat S1 dulu, yang sedang bekerja di salah satu perusahaan menghubungiku untuk mencari referensi demi menunjang pengembangan R&D perusahaannya); selanjutnya tentang memberikan kesempatan untuk memperbaiki diri: di sini sebenarnya ada hubungannya dengan yang ke-3, jadi alangkah lebih baik jika kugabungkan saja; yaitu universitas juga tempat paling pemaaf di dunia (setelah keluarga), meski low-money: di universitas kita diijinkan untuk salah berkali-kali, gagal berkali-kali, dan juga memperbaiki pekerjaan kita berkali-kali.

"Asal ada kemauan dan kesungguhan yang ditunjukkan dalam berusaha dalam mengerjakan eksperimen, di sana akan selalu ada jalan yang dibukakan profesor untuk membantu terlaksananya eksperimen kita dalam hal apapun (termasuk financial problem)," ini opini pribadiku ya.

Fungsi yang berlaku dalam proses ini hanyalah irisan dari fungsi waktu yang menjadi targetan pribadi kita, dengan fungsi hasil yang bisa kita usahakan secara maksimal dan sesuai kemampuan kita, fleksibel bukan? Sebagai contoh: jika kemarin kasusku (dengan kondisi sama persis) terjadi saat bekerja di perusahaan, bisa jadi aku terancam dipecat karena dianggap merugikan mereka berkali-kali. Bagaimana tidak? Kegagalanku (kudefinisikan sebagai ketidak-tercapaian target yang kutentukan sendiri dan disepakati dengan profesor, meski deviasinya kecil) dalam eksperimen sejak setahun lalu bisa jadi terhitung lebih dari 20 kali. Bayangkan saja jika di perusahaan, gagal mencapai target sekali saja mungkin sudah diomelin atasan, ya nggak?*
*pertanyaan bercetak tebal terakhir ini kutujukan untuk orang yang sering mengeluh dengan target pekerjaan yang kesulitan ia capai, serta orang-orang yang sering mengeluh padaku tentang atasannya yang lebih sering menuntut ini-itu daripada melakukan pembimbingan ^_^ (ya iyalah atasan di perusahaan mana ada membimbing kaya dosen/profesor)

"That's why you're paid higher in a company, than here (maksudnya ini ngomongin universitas). Generally, they want you to do more and make a profitable move for them. They don't care about your depression, your lack of knowledge, and maybe your far-from-good-life anymore. Because what they gave to you is a compensation from your works," imbuh Prof. Lee lagi.

Disadari atau tidak memang benar, mayoritas perusahaan masih banyak yang hanya mengejar profit dibandingkan harus mengurus ketidak-bisaan pegawainya dalam menjalankan tugas, padahal juga demi kemajuan perusahaan nantinya. Istilahnya: "kamu diterima di sini (perusahaan) sesuai kualifikasi yang dibutuhkan, kamu menyanggupi dengan kompensasi gaji sekian, ya sudah, kerjakan sebaik mungkin pekerjaanmu untuk memenuhi target perusahaan!" apalagi kalau sudah tiba-tiba atasan bilang: "ya gimana caranya kamu harus bisa, bagaimanapun itu tanggung jawabmu!" checkmate. Kita tak akan pernah bisa menolak, karena memang begitulah adanya (ini pengalaman yang kudapatkan dari hasil curhatan-curhatan para mantan (eh) maksudnya beberapa kawan yang bergelut di perusahaan).

Kompleks ya? Padahal cuma ngomongin studi lanjut (di universitas) dan kerja (di perusahaan).

Hahaha, ya begitulah. Setiap hal yang kita coba pikirkan lebih mendalam akan selalu berujung pada hal-hal kompleks. Oh iya di dalam tambahan petuahnya, Prof. Lee mengatakan bahwa universitas juga menyuratkan beberapa hal filosofis yang lebih mendalam dibandingkan dengan bekerja "terlalu dini" (di perusahaan), dalam hal menghadapi realitas kehidupan.

The first one is TRUST
Mengapa rasa percaya?

Sebenarnya meski di perusahaan juga jelas ada pembelajaran tentang kepercayaan, tapi entah mengapa pastinya tak akan diberikan seramah ketika kita berada di universitas. Dan lagi, di dalam sebuah proses mencari jati diri dan labeling terhadap diri kita masing-masing saat menempuh studi lanjut, kita semua memerlukan sebuah kepercayaan. Ambil contoh simple deh, seorang dokter tak akan didatangi pasien jika dia tidak dipercaya bisa menjadi perantara kesembuhan suatu penyakit, seorang penjual nasi goreng tak akan dibeli dagangannya jika kelezatan rasa masakannya tidak dipercaya oleh pelanggan, begitu juga riset yang kita lakukan tak akan bisa dipercaya oleh para reviewer atau juga masyarakat (ketika telah diterapkan) jika dalam prosesnya ditemukan sebuah mekanisme rekayasa/upaya pembohongan terhadap data yang dihasilkan, serta masih banyak contoh-contoh lainnya.

"Can I trust you?" tanya profesor tiba-tiba.
Jujur saat profesor menanyakan hal ini di depan kelas tadi aku senyum-senyum sendiri, seolah familiar* dengan struktur kalimat pertanyaan semacam itu.
*Penasaran familiarnya di mana? Cek ke sini atau ke sini ya!

Pertanyaan itu bermakna satu: KEPERCAYAAN YANG DIBERIKAN PADAMU ADALAH SEBUAH TANGGUNG JAWAB YANG AKAN KAMU BUKTIKAN BISA TERLAKSANA
"It prove anything," imbuhnya.

"Then, if you've said YES clearly, next question shall be: Do you need the trust?" dan sekali lagi kami ber-12 secara refleks mengangguk.

"Ok, the last: How do you gain the trust?"

Dan ini pertanyaan inti yang sejujurnya perlu pemikiran panjang ketika akan menjawabnya. Yang jelas mendapatkan kepercayaan itu tak mudah, perlu pembuktian bertahun-tahun, membutuhkan waktu yang lama dan intensitas usaha yang tak sedikit.

Bahkan profesor menambahkan, "It always takes time to be a trusted person, but if you do a wrong thing, thus in no time you can be fired from a trust label itself."

That second thing called PASSION
"Passion always connected with happiness, especially who's already found them in here (di universitas, maksudnya semacam menjadikan riset, eksperimen, menulis jurnal, dll sebagai passion). I've a passion in encourage people, I'm also passioning in research and writing paper, that's why now I'm a professor," ujarnya sembari merentangkan kedua tangannya lebar-lebar.

Memang sih, tak ada yang bisa menentukan tentang passion yang kita miliki. Karena yang tahu tentang diri kita ya jelas kita sendiri. Untuk itulah pada kata kedua ini melibatkan diri kita dalam menemukan jati diri, melibatkan pemikiran kita dalam menggali potensi yang kita miliki, dan melibatkan hati kita dalam merasakan "cocok-tak cocok" dari apa yang sedang kita kerjakan. Tentu saja dalam menemukan passion ini kita tak bisa sembarangan mengambil hanya permukaan-nya saja dari sebuah pengalaman, karena dalam proses penemuan passion, secara default seharusnya kita telah paham apa yang kita tinggalkan dan yang akan kita pilih selanjutnya: itulah yang dinamakan MEMPERTIMBANGKAN DENGAN MATANG.

"Sometimes maybe you feel guilty about your process, or maybe you feel don't get anything when you're finding your real passion. But trust me! You never lose anything from your experiences, it always has an interesting story to share and something worth to comprehend," kata profesor menggebu-gebu.

Last but not least is WORK HARD*
*or maybe we can say it as struggle

"Then, after you've found your passion. Do your best for that! WORK HARD for your passion until it becomes your way to success. But if you still need more time to find your passion, keep searching and struggling until you found it!" imbuhnya lagi.

Ya, untuk yang terakhir ini aku speechless, karena semua pesannya benar. Meski tantangannya jelas bahwa dalam bekerja keras menemukan passion ada kalanya perhitungan dan persiapan kita tak selalu berguna.

Nah, jadi bagaimana dong?

Ya sesuai pesan profesor, ada baiknya kita terus bekerja keras, terus memperhitungkan, merencanakan, dan mempersiapkan apapun untuk masa depan kita. Tak peduli kapan dan di mana passion dan kerja keras kita akan bermuara (maksudnya di bidang apa) nantinya.

"Life's not always predictable, that's why we only can study about bio-inspired materials and technology, but can't 100% replicate what's nature: the living thing or biological creature did. And let me tell you a secret!"

Dan mendadak kami terdiam (atau tepatnya bengong), "as an engineer, please don't always predict anything! Including your spouse-soon-to-be, because it shall be an unpredictable thing. Like me and my wife now, I never imagine committing my life to her, not cheating her with another, and do everything in my whole age with her until the rest of my life."

Hahaha, dan ujung-ujungnya profesor curhat juga di penutupnya. Ya, begitulah kira-kira apa yang beliau sampaikan secara panjang lebar hari ini. Oh iya mirip tulisan kemarin, di akhir tulisanku kali ini aku juga akan mencoba mengingatkan diriku sendiri, juga pembaca sekalian bahwa di dalam setiap pemilihan apapun di dalam hidup ini jangan pernah 100% memilih tanpa pijakan campur tangan Allah SWT. Yang ketika kukorelasikan dengan tulisanku dari awal sampai akhir, baik dalam memilih jalur studi lanjut, bekerja (di perusahaan atau lainnya), melanjutkan jalan memilih passion maupun menetap untuk mendalami lebih jauh di passion tertentu, ingatlah selalu:

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَن تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah/2: 216)
EPILOG
Dan penutup untuk tulisan kali ini adalah: selamat memaknai segala sesuatu di manapun dan kapanpun juga. Karena kita tak pernah tahu pembelajaran hidup macam apa dan seperti apa yang akan kita dapatkan ketika kita berada di suatu tempat atau waktu tertentu. Jadilah gelas setengah isi yang siap menerima pembelajaran dalam bentuk apapun!
Selamat ber-Jumat malam...

NOTE: Prof. Tu Lee ini adalah Head of Chemical and Materials Engineering Department, National Central University Taiwan, yang baru diangkat tahun ini. Thanks for your encouragement, Prof!!!

Wednesday, October 11, 2017

Talk about Marriage in "Critical Eleven" Random Review

PROLOG
Aku belum sempat sama sekali membaca novel Critical Eleven punya Ika Natassa, tapi entah mengapa kemarin tiba-tiba jariku dengan lancar menekan tuts keyboard dan mengetikkan dua kata dengan lancar dan tanpa jeda: "Critical Eleven" di kolom mesin pencari Google. Dan pada akhirnya mengarahkanku pada satu situs yang entah host-nya dari mana, menayangkan streaming film* Critical Eleven produksi Starvision Plus dan Legacy Pictures.
*sejujurnya ini merupakan tindakan tak patut yang tak boleh ditiru, tapi apa mau dikata, aku jelas tak bisa menonton film ini di bioskop Taiwan kan?

"Dalam penerbangan biasa dikenal adanya 11 menit kritis, yaitu tiga menit setelah take off, dan delapan menit sebelum landing. Di mana pada critical eleven itulah 80% kecelakaan pesawat terjadi."

Setidaknya itulah dialog yang terngiang di dalam pikiranku dan sempat kuingat, karena setelah kuubek-ubek mesin pencari lagi, aku tak menemukan tautan streaming yang kutonton kemarin. Niatnya adalah untuk amunisi menulis random malam ini (ya, ini random, karena kulihat tulisan terakhir di blog ini ada di kisaran tanggal 20an September 2017, makanya aku mencoba melemaskan jari-jari tangan ini lagi setelah beberapa hari berkutat dengan jadwal presentasi dengan perusahaan yang akan  kulakukan esok hari), akan tetapi ternyata tautannya hilang, alhasil kucoba ingat-ingat saja apa yang kemarin kusaksikan.

*SPOILER DETECTED*
Bagi yang belum nonton aku sarankan berhenti sampai di sini dan jangan melanjutkan scroll ke bawah. Atau terserah kalian saja lah, toh aku sudah mengingatkan.

Entah mengapa film ini menjadi film kedua yang membuatku membuka mata bahwa aku sudah tak kecil lagi. Bahkan masa remajaku telah terlewati hampir tiga tahun lalu. Karena definisi remaja menurutku adalah ketika usia dua puluh tahun berakhir, berdasarkan segala macam perkembangan fisik dan psikis yang kuanalisis sendiri secara unofficial.

Eh, btw memangnya yang pertama film apa?

Yang pertama ada film yang juga didasarkan pada novel, tak lain dan tak bukan adalah novel karya Aditya Mulya berjudul Sabtu Bersama Bapak. Sabtu Bersama Bapak adalah novel pertama pemberian Tira Kurnia Saputri, yang ia hadiahkan padaku saat kutantang dengan sebuah prosesi engagement menjelang aku berangkat ke Taiwan, saat itu di akhir tahun 2015. Tak lebih dari empat jam novel itu telah mampu menamparku dengan sebuah pesan-pesan sarat makna lengkap dengan visualisasi yang berhasil kuciptakan sendiri dalam pikiran dan imajinasiku: bahwa MENIKAH ITU BUKAN HAL MUDAH, dan memang ada tiga hal yang diserahkan perempuan kepada seorang lelaki saat ijab selesai diucapkan:
"Saya pilih kamu, tolong pilih saya untuk menghabiskan sisa hidup kamu, dan saya akan menghabiskan sisa hidup saya bersama kamu. Percayakan hidup kamu sama saya dan saya penuhi tugas saya padamu, nafkah lahir dan batin. Pindahkan baktimu, tidak lagi baktimu kepada orangtuamu, baktimu sekarang pada saya."
Setidaknya itu satu hal yang berhasil meredakanku untuk tidak salah langkah dan tergesa-gesa dalam mengambil keputusan serta perhitungan dalam melanjutkan kehidupan, khususnya kehidupan berumah tangga.

Oke, selanjutnya yang kedua adalah film ini: Critical Eleven. Karena posisinya aku belum pernah membaca novelnya, jadi aku hanya menuliskan hal-hal yang menurutku sarat makna based on filmnya, juga berdasarkan alur ke-random-an ceritaku malam ini.

Di awal film ini Anya yang bertemu secara tak sengaja dengan Ale di pesawat setelah insiden kehilangan mainan dinosaurus mini milik Anya dan juga adegan Ale meminjamkan sapu tangan kepada Anya, Anya sempat bergumam dalam hati bahwa setidaknya critical eleven ini bisa juga berlaku pada sebuah perkenalan. Yaitu tiga menit awal saat pertama kali berinteraksi, serta delapan menit akhir menjelang perpisahan. Di mana dari critical eleven itu konon seseorang mampu menyandarkan sebuah landasan akan seperti apa hubungan mereka pasca pertemuan itu. "Bisa jadi berakhir begitu saja, atau berlanjut menjadi sebuah hubungan indah di masa depan," kira-kira begitu kutipan kata-kata Anya yang kuingat.

Keputusan Anya dan Ale untuk menikah dan saling bergantung satu sama lain menjadi awalan menuju liku-liku kehidupan rumah tangga mereka. Anya yang harus meninggalkan pekerjaan, teman-teman, dan bahkan keluarganya demi ikut suami: "Ke manapun kamu pergi aku ikut! Kamu rumahku!" katanya pada Ale saat mereka menyaksikan kelap kelip lampu Manhattan (NYC, USA) melalui jendela apartemen mereka. Gambaran romantisme mereka tervisualisasi jelas melalui adegan ciuman, pelukan, dan berbagai macam gesture lainnya yang jelas menampakkan luapan cinta mereka satu sama lain pasca pernikahan.

Hingga akhirnya tantangan mereka datang bersamaan dengan kabar bahwa Anya hamil.

Nah, hamil kok tantangan?

Ya, karena di kehamilan Anya yang pertama inilah yang menjadi rumitan masalah utamanya dari film ini. Apalagi setelah anak mereka harus tiada setelah dilahirkan.

"Menguburkan anak dengan tangan sendiri itu suatu kesedihan yang mendalam bagi orang tua," ujar ibu Ale menasehati Anya (sekali lagi, setidaknya itu yang kuingat saat menuliskan jajaran kalimat-kalimat random malam ini).

Belum lagi bayang-bayang orang ketiga yang datang tiba-tiba, ah semakin lengkap tantangan kehidupan rumah tangga mereka. Ya, tiga tahun pernikahan Anya dan Ale menjadi gambaran mengerikan bagi cobaan dan rintangan dalam sebuah relaita take off yang mereka jalani.

Film ini sedih dong ya berarti?

Entahlah, menurutku di awal iya. Tapi ending-nya bahagia kok, selaras dengan judulnya: di mana delapan tahun setelah tantangan tiga tahun itu berakhir, kehidupan mereka "bisa jadi" bahagia dengan warna baru dari lahirnya buah hati mereka selanjutnya. That's the meaning of Critical Eleven from their marriage.

Jadi kesimpulanmu untuk tulisan malam ini?

Tak ada kesimpulan, hanya saja film kedua yang berhasil membekas di pikiranku tentang kehidupan pasca menikah ini (si Critical Eleven) menjadi salah satu film favorit setelah Sabtu Bersama Bapak (kalau ini sebenarnya lebih favorit novelnya sih). Bukan karena jalan ceritanya, atau juga judulnya yang sama persis seperti novel yang diadaptasi, akan tetapi lebih ke arah pembelajaran tentang (sekali lagi) MENIKAH ITU BUKAN HAL MUDAH. Perlu banyak sekali pertimbangan matang dan perhitungan yang tak biasa yang harus dilakukan, bahkan melebihi prosesi perhitungan termodinamika, kinetika, dan mungkin juga perhitungan Newton saat memecahkan konsep inersia.

Meski tetap saja landasannya adalah:
وَأَنكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِن يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Dan nikahkanlah orang-orang yang masih lajang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Q.S. An Nuur: 32)

EPILOG
Jadi, udahan nih nulis random-nya?

Udahan ah, kalau keterusan dan kepanjangan takut dikira galau, padahal sih cuma mau kasih pandangan kepada semua pembaca aja, bahwa MENIKAH ITU BUKAN HAL MUDAH. Butuh perhitungan dan persiapan matang sebelum benar-benar di-take off-kan (meski penulis juga belum pernah menikah sih ya, tapi kan ada yang bilang menasehati nggak perlu sempurna dulu kan?). Atau kalau kata Aditya Mulya (Sabtu Bersama Bapak) lagi:
"Membangun sebuah hubungan itu butuh dua orang yang solid, yang sama-sama kuat, bukan yang saling mengisi kelemahan. Karena untuk menjadi kuat adalah tanggung jawab masing-masing orang, bukan tanggung jawab orang lain."
Jadi, bukankah lebih keren jika kita (terutama sebagai lelaki) menguatkan diri* dulu sebelum pada akhirnya bisa menjadi imam bagi istri-istri (eh) kita kelak?
*menguatkan diri dari segi kedewasaan berpikir, mawas diri dalam mempertimbangkan segala sesuatu, dan mampu menunjukkan kematangan bertindak dalam setiap aksi atau manuver apapun yang akan dilakukan dalam hidup

Wanna support???