Description

"Who you are, depends on what do you think about GOD and yourself."

#KotakAjaib
Copy-Paste boleh, asal cerdas! Jangan lupa cantumkan sumbernya ya...
http://tanpa-inspirasi.blogspot.com/

Friday, May 5, 2017

Redefinisi BADAI dan PELANGI

PROLOG
Delapan bulan lebih menggeluti dunia baru dan bidang yang 100% tak terbayangkan untuk ditekuni sebelumnya membuat seseorang terpaksa mengakselerasi dirinya jauh lebih cepat dalam proses pendewasaan. Bukan hanya dalam hardskill yang memang seharusnya didapatkan dalam perjalanannya, bahkan lebih dari itu: tentang proses menguatkan hati, juga meredefinisi sebuah makna penting kehidupan.


Sudah satu bulan lebih ujian datang bertubi-tubi, ada banyak problematika yang tak bisa dipikirkan secara enteng dan santai seperti biasanya. Bahkan kebuntuan logika sempat menyergap masuk ke dalam sudut pandang yang "seharusnya" telah terekspansi. April 2017 menjadi bulan yang melelahkan sekaligus menjemukan, bahkan sejak awal kedatangannya, setidaknya bagiku. Tapi maksud tulisan kali ini bukan untuk menorehkan keluh kesah dan juga membagi kesedihan kok, tenang saja! Justru tulisan kali ini dibuat atas dasar sebuah panggilan hati untuk memberikan redefinisi dari intisari permasalahan yang kudapatkan.

Tepat di akhir masa-masa sulit bulan April 2017: awal Mei. Bulan ke-5 ini baru dua hari menunjukkan atmosfernya, gloomy: lebih sering mendung sepanjang hari, dan berlalu saja tanpa ada hal-hal spesial selain hasil diskusi tentang migrasi topik risetku sehari lalu bersama profesor. Sejujurnya inilah pemantik utama keinginanku menuliskan sesuatu kali ini.

Pagi itu aku sengaja baru berangkat dari dormitory pada pukul 10.30 (padahal seharusnya jam kerja laboratorium dimulai pukul 10.00-18.00 setiap harinya). Tak langsung menuju ruang kerja, aku sengaja mampir ke kedai waffle favorit mahasiswa seantero kampus. Bermodal NT$ 90 aku menikmati sejuknya pagi itu dengan waffle ber-topping Chocolate and Cream dan segelas Matcha Latte hangat.

"Assalamu'alaikum..."
"Wa'alaikumussalaam..." jawabku.

Ternyata kawan Muslimku yang berasal dari Mesir berjalan mendekati kursi tempatku berada. Namanya Mohammad Amin, dia orang yang ramah dan sederhana, kami akrab karena beberapa bulan lalu aku menjadi orang pertama yang ia ajak berinteraksi ketika dia baru tiba di kampus. Dia adalah seorang mahasiswa master di departemen Kimia, yang masuk ke kampusku pada semester Spring 2017 (satu semester setelahku). Obrolan pagi itu tak jauh-jauh dari pertanyaan tentang kabar dan progress laboratorium masing-masing. Sampai tibalah pada sebuah topik ringan tapi mengena tentang suatu hal.

"Hey, why did you call it as failed?" tanyanya sedikit tak terima.
"Because it was happened to me," jawabku santai.
"Come on brother, let me ask you: what is fail in your opinion?"
"Simple, fail is a deviation of my target-hope-goal with the reality," jawabku masih santai, sembari menyeruput minumanku.
"Did you learn something from your progress? Come one!" ujarnya masih tak sepakat.
"I won't call it as fail if someone told a similar problem like mine. I'll call him/her just in learning progress. Basically, I know your mind, I just call my learning progress as fail only for burning my spirit," terangku.

Dan tampaknya keteranganku bisa diterima dengan baik olehnya, senyumnya mengembang, "MashaAllah, yeah I'm agree with you." Lalu obrolan berlanjut beberapa menit, hingga sebuah konsep dasar tentang gagal menjadi clear di antara kami, sebelum akhirnya saling berpisah dan kembali ke gua Hira' masing-masing.

Kegagalan bukan sesuatu yang sepenuhnya salah, kita bebas mendefinisikan gagal kita sendiri. Bisa jadi gagalku dan gagalmu berbeda makna, tapi toh memang kita sendirilah yang merasakannya, tak ada yang sepenuhnya salah. Kegagalan tak jarang akan mengantarkan kita pada sebuah pembelajaran baru. Pernah dengar pepatah yang mengatakan bahwa "pengalaman adalah guru yang paling berharga"? Jika iya, maka bias makna pengalaman juga dapat diartikan sebagai kegagalan. Dan gagal adalah salah satu hal yang berhasil memberikan kita framework pengetahuan baru untuk lebih bisa bermanfaat di masa depan.

"Bagaimana bisa?" ini adalah frequently asked question yang paling sering dilontarkan orang-orang yang diskusi denganku tentang hal ini.

Jawabannya mudah: karena pengalaman "gagal" akan memberikan kita ruang untuk menebalkan sistem imun terhadap kekecewaan. Bahkan dengan pengalaman "gagal" yang pernah kita terima, kita bisa mencegah orang lain untuk menempuh jalan yang menuntun pada kegagalan yang sama, seperti yang telah kita derita. Logis bukan?

Dan lagi, kegagalan juga akan membantu kita untuk mengenal lebih jauh tentang diri kita. Dia adalah instrumen terbaik untuk bermuhasabah, sehingga kita mampu meredefinisi ulang PELANGI: kebahagiaan, dan hal ini akan aku terangkan setelah ini. Tapi sebelumnya aku ingin menyelesaikan pembahasan tentang BADAI: kegagalan, ini terlebih dahulu.

Kasus lain: seringkali kita mendengar seseorang merasa kehilangan harapan dan semangat untuk bangkit memperjuangkan tujuannya hanya karena "merasa" gagal di suatu bidang tertentu.

Benar? Atau justru kita sendiri yang sering mengalaminya.

Penjelasan sederhananya (jujur, hal ini baru secara konkret kuformulasikan berdasarkan pengalaman saat 30 hari terakhir kegagalan bertubi-tubi dalam eksperimen yang kulakukan terjadi). Jika kita kembali merujuk pada definisi gagal yang kubuat tadi, bahwa "dia" adalah deviasi dari target dan realita yang terjadi, maka frustrasi akan dengan mudah muncul jika keberhasilan kita sebelumnya (yang mungkin pernah kita raih di bidang yang "telah" kita kuasai) tidak terjadi lagi di bidang yang kita tekuni saat ini. Perlahan-lahan, resapi kalimat barusan.

Oke, siap lanjut lagi?

Analogi sederhananya adalah "mungkin" kita telah menguasai laut kita sebelumnya, dan ternyata entah karena alasan apa, sekarang kita mencoba mendaki gunung. Yakinkah bahwa si anak pantai, yang sejak awal bergelut dengan ombak dan menginjak-injak pasir tiba-tiba mendaki gunung tanpa ada masa inkubasi?

Itulah yang terjadi pada saat "gagal" menimpa kita. Kita sedang berada dalam masa inkubasi, di dalam zona waktu kita masing-masing. Tentang zona waktu ini tak perlu dibahas terlalu dalam, karena aku yakin kita semua telah memahami apa maksud dari zona waktu kita masing-masing. Ya, itulah yang terjadi, kita sedang ter-inkubasi, sedang dalam tahap membungkus diri menjadi kepompong yang dibalut kesabaran sebelum bermetamorfosis untuk menaklukkan gunung yang sedang kita daki. Jelas? Logis? Jika belum, sangat disarankan untuk berdiskusi dengan orang-orang di sekitar kita untuk membuka pikiran tentang ini.

Oke, teorema sederhana tentang kegagalan tuntas kita bahas.

Selanjutnya beralih pada PELANGI, yang kaitannya sangat dekat dengan BADAI yang barusan kita bahas di dalam masa inkubasi.

Epilog novel Hujan karya Darwis "Tere Liye"
"Bukan seberapa lama umat manusia bisa bertahan hidup sebagai ukuran kebahagiaan, tapi seberapa besar kemampuan mereka memeluk erat-erat semua hal menyakitkan yang mereka alami."

Kira-kira begitu kutipan di kalimat terbawah di gambar tersebut. Mulai paham ke mana arah kalimat ini? Kali ini aku mengajak kita semua (termasuk diriku sendiri) meredefinisi lagi istilah PELANGI: kebahagiaan, yang selama ini kita tanamkan ke dalam diri masing-masing.

Seringnya:
Kebahagiaan itu kalau bisa menikah denganmu di saat tertentu, kalau bisa menyelesaikan studi tepat waktu, IP cumlaude, diterima kerja di perusahaan bonafide, kalau bisa kaya dengan nominal gaji sekian per bulan, dan blablablablabla...

Lupakan itu semua! Kali ini, di tulisan ini aku meredefinisi tentang kebahagiaan (setidaknya jika kalian tak mau menerimanya, biarkan ini berlaku bagi diriku sendiri). Kebahagiaan adalah seberapa kuat dan tabah kita dalam memeluk kegagalan, kesedihan, dan hal-hal mengecewakan yang pernah kita alami. Dan menggantikan semuanya dengan satu hal: BERSYUKUR.

Berat? Terkesan hanya OMONG DOANG?

Tentang berat, ya, kujawab: "jelas sekali itu berat". Tapi berat bukan berarti tak mungkin dilakukan, bukan? Dan tentang kesan om-do, sekali lagi kuterangkan, tulisan ini lahir dari sebuah kegagalan itu sendiri. Hal-hal sederhana dan analogi aplikatif tentang BADAI dan PELANGI ini baru bisa secara konkret kuformulasikan berdasarkan pengalaman saat 30 hari terakhir: kegagalan bertubi-tubi dalam eksperimen yang kulakukan terjadi.

Jadi sudah jelas, segala formulasi yang kutulis di sini telah terbukti! Aku berhasil memeluk rasa sakit dan kecewa yang kualami kala itu, dan pada akhirnya, PELANGI baru kudapatkan. Harapan baru berhasil kurumuskan, bersama optimisme baru yang kemarin terselip entah kemana saat bayang-bayang gundah gulana itu menelisik masuk ke dalam pemikiran.

Terakhir, ada sebuah cara ampuh untuk "perlahan" menghapus BADAI dan menggantikannya dengan PELANGI dalam hidupmu. Kalau kata Ust. Teuku Hanan Attaki, "hatimu tuh yang menggenggam Allah SWT (Tuhan), jadi kalau perasaan lagi galau, sumpek, nggak bersemangat, kuncinya apa? Dekati Dia, yang memegang dan memeluk erat hati kita, sang Maha Pembolak-balik hati: ISTIGHFAR!"

Jadi jelas kan definisinya sekarang?
Ya sudah, kalau sudah tahu gini kan enak, aku pun jika di tengah perjalanan hidupku nanti ternyata menemui perasaan yang sama dengan sebelum menelurkan tulisan ini, biar bisa segera tertampar dengan tulisan yang kuketik sendiri ini.


EPILOG
Jangan lupa bahagia ya guys!
Dan lagi, kalau butuh asupan, bisa juga pakau dopping coklat sebagai penenang kegalauan, tapi jangan lupa makannya berdoa dulu, ngunyahnya sambil dzikir, biar lebih tenang.

Kayak gini nih contohnya:
coklat pemberian kawan PhD yang mendiami ruang kerja yang sama denganku,
dia barusan pulang dari USA untuk magang penelitian

2 comments:

  1. Ada yang salah ketik tuh dek,
    "Pakau"
    Semangat terus buat kerjaan labnya ya!
    God bless

    ReplyDelete

Budayakan comment di setiap situs yang anda kunjungi...
Untuk memulainya, silakan dibiasakan di dalam blog Pujangga Tanpa Inspirasi!!
Terima kasih, Thank You, Gracias, Merci, Syukron, Matur Suwun...

Wanna support???