Description

"Who you are, depends on what do you think about GOD and yourself."

#KotakAjaib
Copy-Paste boleh, asal cerdas! Jangan lupa cantumkan sumbernya ya...
http://tanpa-inspirasi.blogspot.com/

Thursday, February 16, 2017

Anak Kemarin Sore Ngoceh tentang Peran dan Kontribusi

PROLOG
Kali ini saya ingin mencoba menuangkan pikiran saya tentang satu hal unik, yang akan memantik banyak topik diskusi, bermuara pada definisi "peran dan kontribusi". Waaah, sepertinya serius sekali ya? Hahaha, tenang asal dinikmati dengan pikiran terbuka, atau mungkin juga sambil ngopi dan bercengkrama bersama saudara, inshaAllah tak akan terasa berat. Karena saya akan mencoba membawanya secara sederhana.

Oh ya, akhir-akhir ini jagat nyata sedang dihebohkan dengan apa yang namanya "pemilihan", entah pemilihan ketua RT, ketua RW, lurah, camat, bupati, gubernur, dan bahkan presiden. Tak perlu kan saya jelaskan satu per satu tentang kronologis peristiwa apa yang terjadi di perhelatan-perhelatan tersebut? Saya rasa pembaca sudah cerdas dan terampil dalam mempergunakan medianya masing-masing untuk menggali kabar-kabar terkini.

Saya hanya ingin sedikit menggeser perspektif pemikiran kita tentang substansi "pemilihan". Mungkin bagi para penulis esai sebagai prasyarat pelatihan (kalau di ITS, hampir tiap pelatihan selalu memberikan syarat pembuatan esai untuk menguji kesungguhan mahasiswa ketika akan mendaftarkan diri, dan mungkin juga di pelatihan-pelatihan lain berlaku sama) selalu diawali dengan definisi menggunakan KBBI/Oxford dictionary/dan semacamnya. Tapi kali ini saya tak akan melakukannya, jika ingin menggunakan metode sama, silakan manfaatkan fasilitas internet anda!

Oke, mari kembali ke jalan yang benar, (eh) maksud saya kembali ke topik awal. Tentang "pemilihan", semuanya memiliki latar belakang yang sama, yaitu berbicara makna "peran dan kontribusi". Untuk hal ini saya teringat dengan sebuah pengalaman semasa kuliah di jenjang S1. Mungkin tak sekeren pengalaman-pengalaman para kahima atau juga orang-orang sekaliber presma, tapi setidaknya saya bisa merumuskan satu substansial penting dari pembelajaran sederhana saya sendiri.

Suatu masa di penghujung pengabdian sebagai staf departemen Media dan Informasi Himpunan Mahasiswa Teknik Material dan Metalurgi (HMMT) FTI-ITS periode 2013/2014. Bertepatan juga dengan penghujung pengabdian dari beberapa organisasi yang saya ikuti dengan posisi yang sama, seorang staf/anggota (pembelajar awal, pencuri ilmu ulung dari para pendahulu/atasan, setidaknya begitulah saya mencoba memaknai posisi paling rendah dari suatu organisasi). Ada tiga organisasi yang sedang saya pegang amanahnya saat itu, sangat sedikit lah ya, dibandingkan dengan pembelajar-pembelajar lain yang memiliki mobilitas lebih tinggi dan kemampuan manajemen waktu yang lebih expert. Di masa itu cobaan datang bertubi-tubi, dari mulai kisah tentang kisruh dan carut marut 'standar' ala mahasiswa menjelang pemilihan ketua organisasinya (jujur saya ingin tertawa sendiri saat mengingatnya), hingga cerita unik tentang kawan-sahabat-partner kerja yang sikapnya berubah seketika. Dan sayangnya itu semua karena satu hal remeh temeh: sebuah pesta "pemilihan".

Saat itu entah bagaimana ceritanya nama saya muncul di jajaran orang-orang yang 'dicalonkan' untuk mengabdi di himpunan. Entah kebiasaan ini berlangsung di setiap angkatan atau kampus-kampus lain, yang pasti angkatan saya sangat strict tentang hal ini. Dari mulai prosesi "indah" saat menuangkan mimpi-mimpi tentang idealnya suatu organisasi yang bernama HMMT, di dalam ruang kelas MT105 (kalau saya tidak salah ingat), hingga perumusan metode "pengujian calon". Saat itu kami memberlakukan sistem empat lapis seleksi: 1) pencalonan pertama, yang menelurkan sebelas nama; 2) periode pengunduran diri, yang menghasilkan empat nama 'bakal calon'; 3) periode perumusan ulang gagasan dan pencarian TSK; 4) periode kampanye yang sebenarnya.

Di proses pertama dan ke-2 nama saya masih tercantum di dalamnya, hingga sebuah kampanye 'gelap' menuju fase ke-3 dilangsungkan oleh angkatan. Saya bilang 'gelap' karena memang berlangsung dengan lampu mati, hanya suara yang menghubungkan proses komunikasi gagasan dari masing-masing calon. Bertempat di gedung UPMB dekat Pascasarjana, proses itu berlangsung dari setelah isya' sampai dini hari. Adu gagasan dan benturan-benturan ide terjadi di sana, hingga akhirnya angkatan saya berkomitmen untuk maju bersama, dan siap mendukung masing-masing dari kami berempat, bagaimanapun caranya. Karena memang cita-cita kami bersumber dari rahim yang sama, HMMT dan angkatan MT14. Dan secara implisit menurut hemat kami: "peran dan kontribusi" seorang pemimpin akan divisualisasikan melalui perumusan visi dan gagasan secara bersama, kolektif dan tak memihak, karena sumbernya demi kemaslahatan, dan kami berempat telah melalui tahap itu bersama-sama.

Masuklah kami pada fase seleksi ke-3, gerakan-gerakan mulai bermunculan, polarisasi dan poros-poros dukungan mulai nampak nyata. Seru, sangat amat mendebarkan, bahkan saya pikir masa ini jauh lebih mendebarkan daripada masa kampanye utama (ini menurut saya lho ya). Saya menikmatinya, karena jujur bagi saya mengonsep dan merumuskan suatu gagasan adalah salah satu list yang ada dalam 'hobi aneh' saya. Pendukung dan simpatisan juga sudah ada, dan hampir memenuhi kuota, ah... indahnya masa-masa itu. Sama persis seperti indahnya saat-saat adu gagasan di "pemilihan" pada umumnya. Akan tetapi fase ke-4 ternyata berlangsung tanpa saya, karena memang di masa itu orang tua adalah referensi utama ketika berurusan soal restu dalam hal apapun, baik akademik maupun non akademik. Kecewa? Jelas, karena jika tidak kecewa, tak mungkin dua setengah jam saya habiskan hanya untuk adu argumen via handphone antara Bojonegoro-Surabaya demi merayu dan me-lobby, meski gagal. Reaksi para TSK dan simpatisan pun beragam, tapi hanya satu hal yang saya katakan pada mereka saat itu, "Ya sudah, alihkan saja suara ke punggawa kita yang lain. Daripada rumah ini dipimpin sama orang yang tak dapat restu dari orang tuanya?".

Yah, kisah pertama berakhir di sana. Tapi tolong jangan lihat bapernya, mari kita renungkan perlahan apa makna yang ingin saya sampaikan. Gerbang "pemilihan" adalah main gate terdepan dalam sebuah regenerasi dari suatu organisasi/lembaga/pemerintahan di wilayah/bahkan NEGARA, sepakat? (kalaupun tidak juga silakan saja, karena saya tak akan memaksa). Dalam fase itu kita semua cenderung disibukkan dengan banyak hal tak wajar, dari mulai yang bermuara pada kepentingan dan juga sebuah kebutuhan akan eksistensi, sampai pada hal mulia yang memang inilah tujuan utamanya, "peran dan kontribusi".

Saya tak akan membahas motif detail masing-masing dari keempat calon di pemilihan ketua di cerita saya tadi. Yuk konsentrasikan ke metodenya (kalau terlewat silakan scroll lagi ke atas dan baca lagi), contoh dari empat fase penyaringan seorang pemimpin yang pernah kami lakukan jelas merupakan sebuah miniatur indah dari rangkaian pesta demokrasi. Diawali dengan sebuah penyatuan persepsi, melalui proses "mengutarakan keluh kesah" dan memberikan gagasan-gagasan ideal dari setiap elemen. Lalu berlanjut pada sebuah proses yang memerlukan kesungguhan hati dari masing-masing sosok yang akan 'ditumbalkan' (please, jangan maknai ini sebagai arti yang sebenarnya). Bayangkan saja di proses ini menggugurkan banyak sekali punggawa, dari 11 menjadi 4. Bukan tentang keberanian atau sekedar ambisi-ambisian, tapi tentang introspeksi dan kemampuan membaca situasi, hingga melahirkan orang-orang kuat dan legowo dari angkatan kami, tujuh orang terbaik yang namanya pernah muncul di papan tulis, lewat coretan spidol yang dipegang sang Komandan Tingkat. Proses berlanjut, pada sebuah fase penting yang mengambarkan sebuah peta the real bakal calon pemimpin. Isya' sampai dini hari, sebuah waktu yang tak singkat, dengan antusiasme yang tak surut dari (sekitar) 75% angkatan kami yang hadir saat itu. Proses ini 'panas', sangat-sangat menantang, sebuah proses penyatuan visi yang tak biasa sebagai bekal perumusan gagasan-gagasan original dari para bakal calon. Sampai pada masa persuasif para pendukung dengan suara real, atau biasa disebut TSK dan juga simpatisan.

Renungan tentang metode "pemilihan" (versi kami) berakhir, lalu apa?

Metode tadi jelas menampakkan suatu pembelajaran ideal tentang sebuah "pemilihan". Akan tetapi "pemilihan" yang muara utamanya adalah "peran dan kontribusi". Peran dan kontribusi memiliki andil penting dalam sebuah "pemilihan", bukan dari sudut pandang si calon, karena mereka yang berani maju dan berani menerima amanah untuk dicalonkan telah sangat paham tentang bagaimana mereka akan berperan dan berkontribusi. Makna peran dan kontribusi dalam motif suatu "pemilihan" haruslah lebih banyak disikapi oleh para pemilih. Saya menyampaikan hal ini tak lain hanya karena keresahan saya yang muncul saat mengamati suatu pola yang kurang baik dalam "pemilihan" yang akhir-akhir in terjadi di jagat maya.
"Peran dan kontribusi akan divisualisasi melalui perumusan visi dan gagasan secara bersama, kolektif dan tak memihak, karena sumbernya demi kemaslahatan." (pesan untuk pemimpin)
Pemilih, tak seharusnya menyerang personal dari seorang calon pemimpin, meski personal memang penting karena pemimpin adalah sosok yang seyogyanya "dapat dijadikan panutan dan bukan orang serampangan". Ingin mendukung X atau Y silakan, tentunya dengan alasan dan logika berpikir yang dibangun dari masing-masing individu pemilih. Itu bukan masalah, sama sekali tak jadi masalah. Yang bermasalah biasanya terjadi di masa kita mengajak, menarik massa, dan memanajemen perolehan suara (sebelum pemilihan). Ajakan dengan dasaran apapun tak dilarang, karena memang dunia ini adalah panggung bebas, tempat di mana argumentasi apapun ketika berdasarkan referensi yang bisa dipertanggung jawabkan (contoh: kitab suci, jurnal, paper, literatur buku, testimoni orang berpengalaman, dsb), bisa jadi benar. Tapi akankah dasar yang kita bangun sendiri dengan masing-masing referensi dan latar belakang yang kita gali sendiri, akan mengalahkan substansi penting dari "pemilihan"?

Substansi sebuah "pemilihan" adalah peran dan kontribusi. Cobalah sandingkan logika berpikir yang kita bangun dengan rapi (seperti yang tertulis di paragraf sebelum ini) dengan acuan lain berupa faktor "peran dan kontribusi" apa yang sudah dan akan dilakukan oleh para calon pemimpin. Yang sudah dilakukan dapat dimaknai sebagai track record, dan yang akan dilakukan otomatis merujuk pada gagasan dan visi yang diusung. Jadi tolong lah, jangan terlalu menutup diri dengan poin-poin penting tentang "peran dan kontribusi" di suatu "pemilihan". Karena terkadang menutup mata tentang hal-hal seperti ini akan membawa malapetaka dan atmosfer yang tak sehat dalam sebuah gaung "pemilihan".

Terakhir dari saya: tolong, sehatlah dalam menyikapi berbagai hal. Jangan memprovokasi dan juga jangan mudah terprovokasi. Biarlah seni dalam "pemilihan" ini tetap sehat, jangan lakukan hal-hal bodoh yang akan mengganggu jalannya pesta "pemilihan". Bodoh seperti apa? Saya pikir saling menebar kebencian dan menjatuhkan satu sama lain bukanlah contoh yang salah. Mengapa tak fokus dengan kelebihan jika itu yang diadu di medan perang "pemilihan"? Atau minimal, lakukanlah ritual tebar kebencian dan saling nyinyir di jagat nyata saja, jangan kotori jagat maya yang indah ini. Itu kalau panjenengan semua masih ngotot dan ndableg, atau bahkan nyaman dengan ritual anda. Jujur, saya rindu jagat maya yang indah dan tak ada corak kebencian di mana-mana.

Kalaupun tak sepakat dengan pendapat saya, lupakan saja apa yang pernah anda baca. Karena mungkin pemikiran saya yang salah (menurut anda), ya kan?

EPILOG
Entah saya yang tak normal atau apa, menurut saya kesuksesan bagi orang kebanyakan selalu standar: menjadi pemimpin, kaya harta, dan mirisnya terkadang dimanifestasikan dengan memiliki banyak pengikut. Benarkah majority rule yang demikian? Bagi saya tidak, karena sukses itu memiliki parameternya masing-masing bagi tiap-tiap individu. Pernah dengar Ricky Elson dengan cerita tentang kapulaganya? Atau saat dia memanen padi di tengah pemberdayaan desa-desa terpencil dengan memanfaatkan ilmu yang dia punya? Jika belum, segera cari tahu, karena menurut saya itu salah satu tolok ukur sukses terbaik dalam hal berperan dan berkontribusi.
Asli, saya bosan mendengar pendapat tentang muara dari proses "pemilihan" pucuk pimpinan (yaitu menjadi literally pemimpin), dianggap sebagai satu-satunya ladang untuk berperan dan berkontribusi. Bukankah banyak ladang yang lain?

Friday, February 3, 2017

Salam dari 2045: Eka, Lewat Mesin Waktunya

PROLOG
Hai para pendahuluku yang mulia, perkenalkan namaku Eka. Sengaja ayah ibuku menamai diriku Bhinneka Tunggal Ika, entah maksudnya apa. Tahun ini aku genap berusia dua puluh lima tahun, di usia pernikahan ayah ibuku yang ke dua puluh enam. Aku bekerja di salah satu perusahaan riset swasta, yang bekerja sama dengan lembaga riset milik ayahku. Tahun ini, 2045, aku diundang sebagai peraih penghargaan paling bergengsi di seantero bumi, Nobel, lewat sebuah penciptaan alat yang pada zaman kalian dianggap mustahil, Time Travel Machine.

Kali ini kutulis surat pada kalian, setelah apa yang kulakukan semalaman, menangis penuh penyesalan. Mengapa tak dari dulu saja mesin ini tercipta, agar masa lalu, masa kalian, dan masaku dapat dicari tahu, atau bahkan diubah. Aku menangis karena hari ini tak banyak manusia-manusia optimis sepertiku. Dari sekian ratus juta penduduk Indonesia, hanya nol koma sekian yang berani bergerak dan bersuara. Aku sedih, pemerintahan di era saat ini, yang kata kalian akan menjadi zaman keemasan seratus tahun Indonesia berdasar hasil samping dari bonus demografinya, ternyata hanya tinggal nama. Orang-orang yang ada di pemerintahan kini tak banyak bisa diharapkan, segalanya kacau balau tak karuan.

Bahkan ketika kalian bilang era kalian adalah zaman-zaman terburuk, maka aku yakin kalian tak akan mampu membayangkan seperti apa kondisi negeri kalian kini, di zamanku. Jika kalian dulu bertemu dengan masa-masa penuh dengan generasi X-Y-Z yang kalian kotak-kotakkan sendiri, di mana ketiga generasi tersebut saling berlomba menuliskan kelebihan dan kekurangan generasi masing-masing dengan mencela dan menyalahkan generasi yang lain, maka inilah yang terjadi. Generasi di zamanku, yang entah kalian sebut apa (misal kalian tahu kami yang lahir akan seperti ini), generasiku menjadi generasi pencela, generasi penista, dan generasi saling tikung. Persis seperti apa yang kusaksikan lewat mesin yang kubuat sendiri, persis seperti apa yang pernah kalian pertontonkan pada generasi ayah-ibu kami.

Sungguh aku sedih, tergambar jelas di zaman kalian, sebuah fenomena mengerikan yang tak akan pernah terbayang bagaimana dampaknya. Presiden dicaci, pemimpin-pemimpin lainnya dimaki, Ustadz di nistai, kelompok A disakiti, kelompok B dicurigai. Dan bahkan lebih parahnya, generasi muda kalian yang sempat menyesap bagaimana gemerlapnya edukasi luar negeri, lebih memilih menyindir dan melabeli generasi yang lebih muda darinya, dengan sebutan yang sama sekali tak memotivasi. Mataku basah, bukan terharu karena keberhasilan mesin yang kuciptakan sendiri, akan tetapi justru karena apa yang tergambar jelas di mataku telah kelewatan, menciderai nalarku.
Kubatalkan agenda untuk hadir di upacara penyerahan piagam Nobel remeh hari ini. Aku lebih memilih mengurung diri di kamar, dan menulis surat untuk kalian. Ya, kalian para pendahuluku yang mulia, yang lebih bangga dengan gelar penghormatan dan tingginya derajat jabatan bagi kelompoknya, dibandingkan dengan membumi-melebur jadi satu dan menciptakan makna yang sebenarnya dari namaku. Ya, kalian yang lebih bangga dengan besarnya nama kelompok dan golongan. Ya, kalian yang lebih bangga dengan egoisme kalian sendiri, dengan memandang setiap hal secara hitam-putih, kawan-lawan, dan AKU BENAR-KAU SALAH.

Yang kudengar dan kubaca, di era kalian telah banyak istilah-istilah logical fallacy yang dibeberkan dan disosialisasikan lewat berbagai media. Tapi, entah mengapa sepertinya tak ada maknanya sama sekali, tetap saja kalian lakukan, demi sebuah PEMBENARAN golongan yang sependapat dengan kalian. Mataku basah, bukan terharu karena keberhasilan mesin yang kuciptakan sendiri, akan tetapi justru karena apa yang tergambar jelas di mataku telah kelewatan, menciderai nalarku.

Kubahas sekali lagi, hari ini tak banyak manusia-manusia optimis sepertiku. Kalian tahu apa sebabnya? Jawabannya bisa kalian temukan jika kalian membaca suratku dari awal sampai baris ini. Tak banyak yang ingin aku pesankan pada kalian, para pendahuluku, generasi tetuaku. Berhentilah! Sebelum terlambat, dan berakhir seperti apa yang terjadi di zaman ini. Sejujurnya ingin aku tunjukkan pada kalian kondisi Indonesia, dan bahkan dunia, pada masa ini. Tapi aku tak ingin gambar-gambar busuk, yang kupegang saat ini, justru semakin mengendurkan optimisme kalian yang masih berapi-api. Tolong, sekali lagi, hentikan segala hal yang tengah kalian lakukan saat ini. Berhenti nyinyir satu sama lain, berhenti mencaci lawan, atau merendahkan kubu yang kalian anggap tak benar.

Jika semua hal itu masih tetap kalian lakukan, percayalah:

Akan ada saatnya generasi mendatang (terhitung dari masa kalian), TAKUT untuk berharap, TAKUT untuk menggantungkan cita-citanya, dan bahkan TAKUT untuk memegang tampuk "kepemimpinan".

Takut berharap, karena memang kalian selalu menyuguhkan ketiadaan pengharapan dan drama-drama tentang "terlampau buruknya kondisi kalian kala itu". Takut bercita-cita karena saat ingin meminta pendapat dan mencari tahu cara untuk menempuh jalan terbaik seperti yang pernah kalian lakukan sebelumnya, justru kalian cerca dengan kata-kata "apa-apa kok tutorial" atau "usaha sendiri sana, apa-apa kok nanya", sungguh ini kata-kata pedas yang menyakitkan. Takut menjadi pemimpin karena takut menerima konsekuensi menjadi teladan dan "tuntutan selalu benar" di mata khalayak, juga netizen (di era kalian).

Mataku basah, bukan terharu karena keberhasilan mesin yang kuciptakan sendiri, akan tetapi justru karena apa yang tergambar jelas di mataku telah kelewatan, menciderai nalarku. Karena apa yang aku takutkan di "akan ada saatnya..." telah terjadi saat ini, terjadi di masaku. Masa yang seharusnya indah dan penuh kilau keemasan di tengah usia seabad negeri kita.

Tolong, sudahi semuanya! Aku tak sanggup lagi melihat, membaca, dan bahkan mencerna segala ucapan, tulisan, dan segala ujaran kebencian yang kalian lontarkan di era kalian, yang sedang kusaksikan sekarang. Mataku basah, bukan terharu karena keberhasilan mesin yang kuciptakan sendiri, akan tetapi justru karena apa yang tergambar jelas di mataku telah kelewatan, menciderai nalarku.

EPILOG
Tentang tulisan, mengapa kalian tak belajar menulis tentang kebaikan? Mengapa kalian tak mencoba menebar semangat positif? Daripada hanya sekedar mencaci, memaki, dan menebarkan pemikiran destruktif, yang entah mengapa di era kalian justru banyak pengikutnya.

courtesy of: Youtube
*surat ini kutitipkan pada salah seorang dari kalian yang masih berpikir, bahwa apa yang kupikirkan dan kusesalkan adalah "sangat beralasan". Selamat berbenah...

Bhinneka Tunggal Ika,
seseorang dengan optimisme yang masih berkobar seperti kalian,
di belahan dunia yang sama dengan kalian,
hanya berbeda masa dan kondisi, yang kalian tak ingin harapkan akan terjadi.

Wanna support???