Description

"Who you are, depends on what do you think about GOD and yourself."

#KotakAjaib
Copy-Paste boleh, asal cerdas! Jangan lupa cantumkan sumbernya ya...
http://tanpa-inspirasi.blogspot.com/

Thursday, September 28, 2017

Sabar itu Berbuah Lancar: Langkah Membuka Blokir Internet Banking BNI secara Online

PROLOG
Tulisan kali ini spesial banget diinisiasi oleh kinerja terbaik (meski belum maksimal) yang telah aku rasakan dan nikmati dari PT. Bank Negara Indonesia (persero) Tbk, bank pertama milik negara yang lahir setelah kemerdekaan Indonesia.
Bagaimana bisa tulisan ini berasal dari kinerja BNI? Yuk lanjut ke tulisan utamanya aja.

Jadi peristiwanya terjadi di 11 September 2017, atau tepat 21 hari (tiga minggu) setibaku di Taiwan pasca menikmati SVE17. Menjadi perantau yang masih dependent dengan tanah air memang terkadang menyulitkan, karena di sisi lain segala urusan selama merantau (untuk studi) telah sepenuhnya migrasi dan ditransfer di negara domisili. Akan tetapi untuk beberapa hal masih membutuhkan bantuan pelayanan dari Indonesia, jelas lah kan KTP dan Paspor (milikku) masih berlambang Garuda Pancasila dan bertuliskan Warga Negara Indonesia.

Nah di hari itu (11/09) aku mendapatkan sebuah kronologis kejadian yang aneh dan menjengkelkan.

Apaan sih emang?

Oke, sesuai dengan apa yang aku sampaikan via pengaduan elektronik ke e-mail bnicall@bni.co.id tertanggal 11 September 2017 pukul 14:41 Waktu Taiwan adalah:

(click to enlarge)
Nah begitulah ceritanya, sumpek galau, bingung, dan juga takut campur aduk menjadi satu. Bagaimana tidak, jelas sekali jika di Indonesia tinggal starter motor, cari kantor cabang BNI terdekat dan bertanya ke CS untuk menyelesaikan masalahnya, 15-20 menit clear. Nah masalahnya aku sedang berada di tanah rantau, di mana yang kuketahui adalah bahwa kantor cabang BNI di luar negeri terdekat dari Taiwan hanyalah di Hong Kong dan Korea (entahlah jika ada yang lain). Ya kali plesiran ke negara lain cuma buat aktivasi beginian doang kan? Useless banget, meski sebenarnya mungkin asyik.

Akhirnya seminggu berlalu, sampai pada hari ke-8, tak ada balasan dari e-mail tersebut selain ucapan standar khas bot pembalas e-mail semacam:
Yth. Bapak/Ibu,
Terima kasih atas kepercayaan Bapak/Ibu kepada BNI.
Email Bapak/Ibu telah kami terima dan akan segera kami tindak lanjuti.

Hormat Kami,
BNI Call 1500046

yang justru menambah tingkat emosi dan sakit hati semakin bertambah. Akhirnya di hari itu juga, dengan masih memegang prinsip kesabaran, aku mengirimkan pesan untuk meminta agar kasusku segera ditindak lanjuti. Atau minimal diberikan langkah-langkah mudah untuk aktivasi akun internet banking via online, tanpa harus repot menghadap CS. Tapi di sisi lain aku juga menghubungi orang rumah (baca: keluarga di Indonesia) untuk menanyakan ke CS bagaimana tindak lanjut kasusku. Yang ternyata hasilnya:
"Mungkin masnya bisa telpon ke BNI pusat Jakarta, atau pergi menghadap CS kami untuk aktivasi saja bu. Karena kami juga tak bisa membantu lebih banyak jika bukan yang bersangkutan yang hadir."

Oh men, jawabannya sangat amat "di permukaan". Heranku saat itu adalah mengapa CS tidak menyarankan aku untuk membuat surat kuasa ke orang rumah untuk memercayakan pengurusan kasus yang kualami itu pada yang bisa dipercaya? Yang jujur, pada saat itu hanya hal seperti itulah yang terpikir olehku, saking butuhnya mengecek rekening itu secara berkala.

Hari-hari berlalu dengan prinsip sabar (atau lebih tepatnya pasrah) dengan aku yang terus memikirkan plan B jika suatu saat tiba-tiba aku diharuskan mengecek rekening itu karena "suatu hal". Then, my mood has changed today. Pasalnya, admin e-mail bnicall@bni.co.id tiba-tiba mengirimkan balasan surat cinta yang kukirim 17 hari lalu dengan solusi yang sangat amat membantu, yang mungkin tak banyak orang tahu (bahkan CS kantor cabang pun seharusnya dilatih untuk memberikan solusi semacam ini jika ada nasabahnya datang dan meminta keterangan penyelesaian)

Jadi langsung saja, begini langkah-langkah untuk membuka blokir Internet Banking BNI secara online yang disarankan oleh admin BNI via e-mail tersebut:

1. Masuk ke tautan https://ibank.bni.co.id/ yang tampilannya seperti di bawah ini:

Setelah itu segera alihkan pandangan di icon di bawah kolom log in
Tenang saja di sini kalian masih tetap tak akan bisa login kok, jadi segera alihkan pandangan ke icon-icon di bawah kolom log in.

2. Pilih lupa password (icon gembok terbuka)

3. Selanjutnya kalian semua akan ter-redirect pada halaman sebagai berikut:

Tentukan pilihanmu di sini
4. Untukku jelas kupilih mode online karena ketidak tersediaan ATM BNI di lokasi terdekat, yang setelah kutekan continue akan beralih lagi ke halaman sebagai berikut:

Jangan pedulikan angka merah, karena randomly mereka akan berganti-ganti
5. Lalu masukkan User ID kalian (yang digunakan untuk log in biasanya) dan juga kode verifikasi yang terdapat di layar BNI Internet Banking (angka merah). Dan klik continue, yang akan langsung teralihkan ke halaman:

Jendela ini jangan ditutup atau di-reload agar proses recovery akun kalian tidak terganggu lagi
6. Jika sepertiku, dengan kasus nomor handphone Indonesia yang 4 angka terakhirnya disematkan pada web tersebut telah hangus hampir 8 bulan lalu (karena lupa isi pulsa), jangan khawatir! Segera cek e-mail kalian yang digunakan untuk mendaftar akun internet banking dulu.

Di sini akan kalian temukan 4 digit angka untuk sekali log in sebelum dilakukan perubahan password
7. Selanjutnya masukkan 4 digit angka yang dikirim ke alamat e-mail (atau nomor handphone, jika masih aktif) yang sudah terdaftar di sistem saat pendaftaran pertama kali ke kolom yang ada di gambar langkah no 5, dan klik continue.

8. Selanjutnya akan muncul jendela untuk mengganti password akun kalian. Di sana ada beberapa acuan dan aturan untuk memilih password sesuai standar yang dianut oleh keamanan sistem BNI. Turuti sajalah, asal tetap menyamankan kalian dalam menghapal password pribadi.

9. Selesai, dan segera coba log in dengan password baru. Dijamin berhasil!!!

Yah, begitulah langkah-langkah mudah bagi siapapun yang sempat bingung dan kebakaran jenggot jika kasus serupa terjadi pada akun internet banking BNI kalian.

Saran bagi seluruh CS BNI cabang di seantero bumi:
Setidaknya kalian harus paham betul langkah-langkah yang memudahkan nasabah semacam ini agar ke depannya ketika ada nasabah yang memerlukan bantuan dan masukan saran terkait kasus yang mereka alami (tidak hanya tentang internet banking) jawaban kalian bisa sememuaskan admin e-mail pusat semacam ini. Karena toh seharusnya SOP terhadap semua kasus berasal dari sumber yang sama dan juga prosedurnya serupa.

EPILOG
Selamat mengikuti langkah-lagkah mudahnya, semoga membantu. Dan jika kalian (para pengguna internet banking BNI) belum pernah mengalami hal serupa, tak ada salahnya sebagai upaya preventif atau jaga-jaga segera tekan Ctrl+D di laptop masing-masing dan simpan link artikel ini. Mungkin saja berguna di masa depan. Dan satu lagi, yang terpenting dalam menghadapi situasi yang membingungkan semacam itu adalah kita harus SABAR dan dilarang putus asa dalam mencari jalan keluarnya.
Terima kasih untuk admin BNI pusat, karena berkat tanggapannya yang meski lama bisa diikuti dengan sangat mudah dan minim effort (selain butuh koneksi internet).

Friday, September 22, 2017

SVE17 4.0: Time to Go "Home" and Back to Work

PROLOG
Dan lagi-lagi, tulisan kali ini lahir dari manifestasi kesumpekan pekan ini yang disponsori oleh horizontal furnace. Memang sih, faktanya setiap furnace selalu punya tipikal yang sama: mudah dipanaskan tapi selalu lambat dalam penurunan temperatur saat annealing process. Dan kalau minggu lalu sumpeknya akibat temperatur furnace-nya lama turun saat annealing, eh minggu ini giliran ada seorang mahasiswa se-laboratorium yang secara serampangan menancapkan furnace (yang seharusnya) kerja di voltage 110 V ke port 220 V. Alhasil? Rusaklah beberapa komponennya. Untung (kata teknisinya yang datang ke lab hari ini) yang rusak cuma komponen seharga NT$4000-5000, dan sekitar seminggu lagi sudah bisa pulih. Coba kalau sampai dalaman elemen pemanasnya, yang (sekali lagi kata teknisinya) bisa jadi seharga NT$20000-30000, bisa-bisa para penghuni lab lainnya akan kebakaran jenggot dan secara kolektif menuntut si pelaku dengan minimal intimidasi sosial berlebih.

"At least, he must treat me some food for lunch or dinner. Because he just made my day too busy now," kata PIC ruang kerjaku.

Ah, bagi yang tak paham apa maksudnya, silakan di-skip saja PROLOG ini, dan lanjutkan langsung ke bacaan utama. Intinya kami pengguna furnace itu kesal pada si pelaku!!!

Oke, di seri SVE17 pamungkas kali ini sengaja ada agak lama rilisnya*, karena apa? Karena cerita kali ini merupakan penutup dan akan menjadi pembuka bagi cerita-cerita selanjutnya di semester ke-11-ku (dan juga seterusnya) nanti.
*padahal sih cuma alasan aja, wong telat rilis memang karena sibuk di lab dan kegiatan organisasi

Dan pasca menikmati tiga minggu yang sangat amat indah dengan berbagai macam cerita asyik yang telah tertuang di SVE17 1.0 sampai 3.1 kemarin, kali ini saatnya pulang.

On the way bandara
Bangun sejak jam dua pagi, memeriksa ulang segala hal yang memang harus dibawa "pulang" menjadi hal wajib karena perjalanan kali ini bukan sekedar lintas kota atau lintas provinsi, melainkan lintas pulau dan lintas negeri. Mama yang sedari tengah malam sulit tidur menjelang ke"pulang"an anak bungsunya ke tanah rantau, telah mempersiapkan bekal sarapan untuk beberapa porsi yang rencananya akan kami makan setiba di bandara nanti.

Di sesi ini bukan berarti tanpa hambatan dan cobaan. Karena mas-mas sopir yang sengaja kami ajak menemani perjalanan dini hari ini mendadak tak bisa dihubungi.

"Dek, misal kita berangkat sendiri gimana?"
"Ya udah sih, aku yang nyetir nggak papa, panjenengan nanti baliknya aja!"
"Oke, tapi papa tak coba telpon masnya dulu aja."

Setidaknya itulah percakapan desperated yang terjadi antara ayah dan anak yang telah mulai jengkel dengan keadaan serba mendadak yang sedang dijalani.

"Pak, kulo boten saget mengantar. Wonten teman saya yang menjemput setengah jam lagi ke rumah panjenengan," ujar papaku saat membaca nyaring pesan singkat yang masuk ke smartphone-nya. Waktu yang saat itu telah menunjukkan pukul 03.00 pagi (yang otomatis akan molor tiga puluh menit dari rencana jika setengah jam lagi pak sopir penjemput baru tiba) menjadi waktu yang sangat amat melegakan, apalagi setelah pesan tersebut terbaca nyaring, dan didengar oleh seluruh anggota keluarga kecilku. Alhamdulillah, ternyata benar tepat pukul 03.30 bapak sopir pengganti pun tiba dan kami berangkat menuju kota kenanganku selama S1: Surabaya.

Berangkatnya telat 30 menit, terus gimana dong?

Ya udah, mau diapakan. Alhamdulillah sih jalannya lancar dan kami juga sempat sholat Shubuh di Lamongan. Meski akhirnya setibanya di bandara Juanda molor empat puluh lima menit dari rencana awal.

Di Juanda
Bertemu dengan mamanya mbak Sufia, yang (maaf) nama beliau tak sempat kutanyakan saking gupuh-nya menunggu Fahrenzy Yona Aisha, FTSP ITS angkatan 2014 (adik tingkat semasa S1 yang pagi itu katanya mau mengantarkan interviewer LKMM TM-nya kembali ke Taiwan), for your information aja sih, dia sempat salah tunggu di terminal keberangkatan domestik.

Dan pada akhirnya setelah ritual foto-foto berikut...

Thanks untuk si tembem yang ada di foto ini, yang rela bangun pagi, belum mandi, nyeret adik kelasnya sejurusan buat nemenin ke Juanda, dengan insiden salah terminal, lalu tancap motor ngebut hanya demi beberapa pcs perangko, kasih cemilan dan say see you ke aku.

Dan makasih banget yang utama adalah untuk Papa, Mama, dan Zaky (kakak lagi standby kerja di Rumah Sakit) yang udah meninggalkan air mata di jaketku (ini mama) dan elusan di punggungku (ini papa) sesaat sebelum perpisahan kedua ku menuju Taiwan tahun ini.
...juga derai air mata penuh kesedihan khas mama (yang masih sama seperti tahun lalu), aku meninggalkan ruang depan Juanda menuju ke ruang tunggu di dalam. Oh iya, kenapa harus ketemuan dulu sama mamanya mbak Sufia? Karena memang di keberangkatan kali ini mbak Sufia dan mas Andri menitipkan pesan padaku untuk menemani mama/ibu mertua mereka ke Taiwan demi menjenguk putrinya yang sedang hamil tua.

Ah, aku kapan gitu ya? (eh, ini apaan deh -_-)

Hong Kong International Airport
"Mas, dulu alumni Material ITS kan ya? Mas Akbar bukan?"
"Eh, iya dek aku Taufik Akbar. Lha sampeyan namanya siapa? Alumni Material juga?"
"Iya mas, aku Ozha MT14. Pantesan aja tadi kaya familiar sama wajah sampeyan dari samping."
"Alhamdulillah, masih diinget adik tingkat."

Begitulah kira-kira percakapan antara alumni Teknik Material dan Metalurgi ITS yang telah memiliki gap usia sekitar tiga tahun saat bertemu di bandara di negeri lain. Tapi meski demikian kehangatannya masih terasa karena ada embel-embel MATRICE yang menyatukannya.

"Mau ke mana mas?"
"Aku mau ke Taiwan, kamu?"
"Sama, mas."
"Lho? Kamu kuliah di sana ya?"
"Hihihi, iya mas. Kalau mas?"
"Ada urusan kerjaan ini, besok ke Taipei terus ke Kaohsiung"

Percakapan-percakapan lain pun mengalir begitu saja di perjalanan kami menuju ke Prayer Room milik HKIA yang letaknya di dekat gate 42.


Next time kalau ke sana bisa mampir ya, bagi siapapun (Muslim) yang sedang membaca tulisan ini. Karena sayang kan ada tempat nyaman untuk sholat tapi nggak dipakai, dan kitanya malah milih "merasa boleh menjamak sholat", meskipun memang diperbolehkan untuk dilakukan saat bepergian semacam yang ada di cerita ini.

Taiwan, Akhirnya Aku Pulang
Hihihi, subjudulnya gitu banget ya? Maafkan, bukan karena aku sudah tak cinta Indonesia atau juga tak punya nasionalisme yang tertinggal dalam dada (tsaaah), tapi karena memang seperti itulah rasanya:

"Oh, sudah sampai bandara ini (Taiwan Taoyuan International Airport) lagi. Saatnya berkarya lagi dan beraktivitas seperti biasanya..."

Begitulah gumaman dalam hati saat itu. Aku tak paham mengapa demikian, sebab menurut testimoni beberapa kakak tingkat sih seharusnya saat kembali ke Taiwan pasca liburan summer pasti bawaannya males dan nggak rela ninggal rumah. Tapi entahlah, aku justru sebaliknya, apa memang ini bawaan dari "rencana"? (eh)

"Eh dek, sayang banget ya kita tadi nggak foto bareng untuk dokumentasi kalau pernah ketemu setelah sekian lama," kata mas Taufik Akbar via chat WA.
"Hahaha, nggak papa deh mas, mungkin lain kali," balasku.

Ya sudahlah, intinya kisah SVE17 ditutup lewat rilis terakhir kali ini. Dan semoga dengan ditutupnya kisah SVE17 ini menjadikan awalan yang indah untuk cerita-cerita selanjutnya yang akan rilis di blog ini kedepannya.

EPILOG
Udah, nggak usah pakai epilog ya, bye!!!

Tuesday, September 12, 2017

SVE17 3.1: Spin Off Testimoni tentang Transportasi dan Percakapan Random di Jalanan Ibukota

PROLOG
Ah ya, ternyata SVE17 baru sampai di cerita pekan ketiga ya? Duh, aktivitas semester ke-11 ku sepertinya sedang terlalu hectic sampai-sampai hobi pengurai stress ini menjadi sedikit terbengkalai. Eh, tapi bagus dong ya artinya, kalau jarang nulis berarti jarang sumpek sama kerjaan dan terlalu menikmati pekerjaan sebagai researcher pemula di laboratorium. Karena memang menulis adalah salah satu output dari energi negatif yang sedang menyusup ke dalam otakku, yang daripada harus meluap menjadi hal sia-sia, aku transformasikan pada kegiatan menulis untuk berbagi sesuatu yang "mungkin" bisa jadi bermanfaat.

Oke, kali ini spin off di pekan ke-3 sepertinya tak bergambar dan cenderung singkat. Masih cerita tentang liburan summer kemarin (ya iya lah, labelnya aja masih SVE17 kan?). Anyway yang sempat mengikuti dua kisahku bertualang sebentar di Ibukota menggunakan bermacam moda transportasi (klik kalau penasaran sama cerita pertama dan kedua) bersama Tira, mungkin sudah paham ke mana arah tulisan kali ini bermuara.

Mohon maaf sebelumnya kalau bahasannya tak sesantai dan se-enjoy biasanya. Jadi kali ini aku akan sedikit membahas tentang beberapa testimoni dan juga sisi lain dari keunikan transportasi di Indonesia, utamanya di Jakarta.

Kuawali dengan Kereta
Perjalananku ke ibukota selama ini selalu berurusan dengan transportasi satu ini, yah tak terlalu berbeda lah dengan di Taiwan. Karena memang pada dasarnya aku adalah backpacker yang lebih nyaman dengan hal-hal fleksibel berupa ngemper, jalan kaki, dan juga jadi public transport-er. Moda transportasi satu ini telah banyak berubah sejak beberapa tahun lalu (saat pertama kali aku naik kereta di Taman Kanak-kanak).

"Pa, aku mau duduk di atas."
"Tapi tangannya nggak boleh dikeluarkan lho ya!" pesan mama.
"....." aku mengangguk tanpa menjawab.
"Kakak nggak sekalian?" tawar papa saat mengangkatku ke atas meja kereta api yang dulu masih sekitar setengah meter kali setengah meter.
"Pak, kopi pak? Mau minum, dek?" ujar salah satu penjaja makanan yang lewat di tengah-tengah jalur antara bangku kanan dan kiri.
"Sudah bawa pak," kata kakakku sambil menunjukkan roti yang ia pegang.
"Hush, wong ditanya minum kok jawabnya makanan sih, kak?" kata mama.
"Boten pak, sudah bawa minum sendiri," imbuh mama.
"Anginnya kencang nih, aku mual," kataku setelah kurang lebih sepuluh menit berada tepat di samping jendela kereta api.
"Ya udah, turun sini dipangku mama!" jawab papa sembari menurunkanku dari meja.

Angin sepoi-sepoi yang terasa di dalam gerbong bersumber dari jendela masing-masing penumpang, yang tak jarang juga ditutup sebagian karena pasti akan terlalu kencang jika dirasakan. Pengap, bau rokok, bercampur dengan bau makanan penumpang menjadi aroma yang khas dari kereta ekonomi, yang memang berbeda dengan kereta Eksekutif maupun Bisnis, baik interior maupun pelayanannya.

Itu sekitar dua puluh tahun yang lalu, sangat berbeda dengan kereta ekonomi jaman sekarang yang sudah tersentuh Air Conditioner dan juga bangku yang tak lagi hanya komposit-polimer (simple-nya sih plastik). Meski tak seenak Eksekutif atau Bisnis yang bangkunya bisa dilandaikan untuk kenyamanan sandaran, setidaknya kereta ekonomi sudah banyak berubah. Tak ada lagi penjaja makanan ilegal yang memenuhi jalur tengah gerbong, dan bahkan setiap beberapa stasiun sekali tiket kami pun dicek satu per satu. Yang menurutku over all PT. KAI sudah banyak mendewasa dibanding beberapa tahun yang lalu.

Fleksibilitas Transportasi Online
"Dek, kita mau naik apa nanti ke stasiun?"
"G*-car atau Gr*b gimana?"
"Boleh deh, asal cepat! Adek ada app-nya?" kataku.
"Di aku lengkap, mas. Tenang aja, hehehe," jawab Tira.

Tuh, pasti para pengguna transportasi online di tanah air paham dengan awalan percakapan semacam itu. Karena memang menjamurnya transportasi online di Indonesia tak bisa diragukan lagi. Fenomena itu terjadi semenjak perusahaan start up (emang dulunya cuma start up) besutan Nadiem Makarim berkembang pertama kali di 2010, hingga tahun lalu app-nya telah diunduh hampir 10 juta kali. Sampai-sampai perusahaan serupa milik asing pun juga berlomba-lomba menanamkan injeksi investasi mereka demi menyasar para penggila fleksibilitas dan (kalau menurutku) kemalasan menunggu transportasi umum yang kalau di Indonesia lebih sering tak tentu jadwalnya.

Mengapa kubilang tak tentu?

Karena memang berdasarkan pengalaman bertahun-tahun bergelut dengan transportasi umum di kota asal: Bojonegoro, sampai di ibukota Jawa Timur: Surabaya, manajemen pengangkutan penumpang dari transportasi umum lebih banyak tidak sesuai waktu, melainkan "penuh-tidak penuh"nya kursi penumpang. Belum lagi budaya kejar setoran yang sampai saat ini masih menjadi mayoritas pijakan sistem untuk mobil angkutan umum (angkot, bemo, lyn, dan apalah namanya) maupun bus di Indonesia.

Hal-hal itulah yang membuat transportasi online menjadi primadona baru di kalangan masyarakat. Selain slogannya yang bukan penganut "jauh dekat 6000" atau mematok nominal tak tentu (dan kadang tak adil bagi sebagian pengguna), mereka juga siap sedia dipanggil ketika dibutuhkan. Penumpang pun dapat menyesuaikan uang yang ada di kocek untuk pembayarannya, based on seberapa jauh dia akan menyewa jasa para sopir dan pengemudi transportasi online ini. Dan bahkan semenjak ada sistem baru yang mereka terapkan berupa top-up atau pengisian nominal tertentu pada akun masing-masing yang dapat dipotong sewaktu-waktu tanpa perlu menyiapkan cash, penumpag tak perlu takut lagi dengan naik kendaraan umum tapi nggak bawa dompet. Yah, meski masih ada beberapa kasus tertentu yang justru memperlihatkan hal-hal semacam uang elektronik tersebut menjadi masalah, tapi kurasa dengan sedikit evaluasi dan sosialisasi lebih lanjut kasus semacam itu akan menghilang ditelan jaman.

Bajaj, Si Merah yang Ganti Baju
Di Jakarta pasti tak asing dengan yang namanya Bajaj. Transportasi legendaris ini telah bercokol di ibukota sejak 1975. Tuh, bahkan umur Bajaj saja masih lebih tua dibanding usia kita-kita para generasi 90-an yang sekarang rata-rata sudah pegang KTP (apaan sih -_-). Dulu yang kutahu sejak pertama kali ke Jakarta, Bajaj selalu identik dengan labeling warna merah-oranye dan beroda tiga. Bunyinya yang khas pun turut menjadi trademark bagi kendaraan unik yang juga menjadi primadona di negeri Bollywood.

Akan tetapi, tahukah kamu kalau sejak lima tahun ke belakang si merah ini mulai dilirik sebagai kendaraan agent of environmental friendly development? Di mana perubahannya menjadi simbol tersendiri untuk mobilisasi gerakan ramah lingkungan. Seperti yang dituliskan oleh Imama Lavi Insani pada 18 April 2016 lalu, bahwa:

"Hingga saat ini jumlah sopir bajaj sudah mencapai (sekitar) 14.000 orang terbagi menjadi dua yaitu 8.000 sopir menggunakan Bajaj lama berwarna orange dan sisanya yaitu 6.000 sudah berpindah menggunakan bajaj berbahan bakar gas yang berwarna biru."

Yang berarti hampir 50% Bajaj telah berganti baju menjadi biru. Sejalan dengan pengalamanku berkendara menggunakan transportasi ini di jalanan ibukota dua tahun ke belakang. Hampir tak nampak Bajaj warna merah-oranye lagi di pintu masuk terminal-terminal dan stasiun-stasiun di Jakarta. Ya, memang si biru ini sedikit lebih mahal tarifnya dibanding si merah-oranye, tapi kalau kita berpikir lebih jauh tentang lingkungan dan emisi gas buang yang dihasilkan, tentunya tak akan ragu dalam memilih si biru untuk berkeliling ibukota.

Transjakarta, dan Jalurnya yang Sering Terlanggar
Transportasi ini telah menjadi moda transportasi pilihan lain di Jakarta, sistemnya mirip dengan bus-bus di negara maju, dengan halte transit yang sesuai waktu dan sesuai rute dengan jalurnya sendiri. Kalau dibilang murah, ya relatif tapi yang pasti moda transportasi satu ini juga tak kalah mudah karena menyediakan fasilitas tap and go. Dengan kerjasama yang digalang oleh perusahaan penyedia layanan dengan berbagai perusahaan perbankan Indonesia, dia berhasil menjadi transportasi fleksibel dengan memanfaatkan uang elektronik.

Tapi ya gitu, kadang hadirnya ke halte-halte pun sering telat. Mengapa demikian? Tak lain dan tak bukan karena jalurnya yang seolah eksklusif ini lebih sering dijadikan jalur private ilegal oleh para pengendara nakal demi mempercepat usaha by pass mereka menuju tujuan. Sekali lagi, tentunya budaya buruk semacam ini akan hilang digerus jaman jika penggalakan aturan dan sosialisasi terus dilakukan secara masif.

Aku bisa menilai demikian karena dulu pernah melihat sendiri jalur Transjakarta dengan gampangnya dijadikan jalan tembus oleh para pengendara nakal.

Angkot, Kopaja, dan Ojek Konvensional
"Mas, mas, naik mas! Ke Kota Tua mas!"
"Enggak bang, udah penuh gitu" jawabku
"Masih bisa satu lagi itu mas," katanya, "eh buk, yang kanan geser lagi dong!" imbuhnya kemudian.

"Yo, Stasiun stasiun, kosong!!!"
Sambil diikuti dengan suara khas mesinnya yang cempreng, kemiringan kanan-dan kiri yang tak biasa, juga asap tebal kehitaman yang keluar dari knalpotnya...

"Bang, ojek bang!" panggilku.
"Ke mana bang?"
"Ke stasiun, saya mau pulang nih, kejar kereta. Butuh 2 ya!"
"Oke bang," sambil memanggil temannya dan mempersilakanku duduk di bangku penumpang dan tanpa memberikan helm.

Silakan ditebak sendiri percakapan mana yang menjadi percakapan dari moda transportasi di subjudul. Itulah kenyataannya, mengapa mereka mulai ditinggalkan? Karena sepertinya modernisasi bukan menjadi salah satu goal utama pengembangan mereka.

EPILOG
Ini hanya kumpulan testimoni random dari pengalaman pribadiku. Untuk penyikapannya seperti apa dan bagaimana ke depannya nasib mereka, mungkin di kesempatan yang lain kalian para pembaca bisa menjadikannya bahasan khusus sebagai teman cangkruk dan ngudut di warung kopi.

Sampai jumpa lagi di kisah selanjutnya...

Wednesday, September 6, 2017

SVE17 3.0: Story about You, Distance, and Relationship

PROLOG
Pernah membaca kisah tentang Rafi Handha dan Raniasa di June in Jakarta: A Relationship Stories? Jika belum, kusarankan segera pergi ke sana dulu, karena cerita kali ini akan membahas tentang mereka lebih jauh lagi.

"Mas, kamu sampai di sini jam berapa?"
"Ini lho baru masuk Jakarta, tapi nggak tahu stasiun apa."
"Ya udah nanti kalau sampai langsung telepon adek ya!"
"Okey!!!"
"Mas di mana?"
"Adek udah di stasiun kah?"
"Eh udah, adek lihat mas..."
Itu semua percakapan yang terjadi sebelum kami tepat bertemu di tanggal 12 Agustus 2017.

Pukul 08.40, pagi itu ada seorang gadis berkerudung biru dongker yang menjemputku di stasiun kereta api, imutnya masih sama, manisnya juga, mungilnya pun tak berubah.
"Ah, si cantik yang selama ini cuma bisa kutemui via layar smartphone atau laptop," batinku.

Sejak lama, semenjak aku belum berangkat ke Indonesia untuk liburan summer, aku telah membeli tiket kereta pulang-pergi untuk momen kali ini. Sebelas Agustus sampai dengan 14 Agustus, yang pada hari terakhir nanti, sekaligus kumanfaatkan untuk pergi ke salah satu yayasan yang bergerak di bidang kemanusiaan demi kepentingan silaturrahim dan penandatanganan MoU untuk Gerakan Ikamat ITS Berdonasi (GRADASI). By the way, posternya juga sempat mampir di tulisan paling akhir dari posting-an SVE17 1.0 kok.

Flashback
Sekitar bulan September 2012, aku yang masih bersemangat dengan segala hal berbau facebook dan twitter, suka sekali dengan jabatan repot-tak bergaji bernama administrator dari media sosial. Menjadi salah satu admin di grup angkatan Teknik Material dan Metalurgi 2012 dan juga twitter @metalurgi2012 (sebelum akhirnya menyerah dan undur diri dari kancah per-twitter-an di semester berikutnya) adalah salah satu jabatan role yang tak pernah kusesali. Karena tragedi salah mention antara @metalurgi2012 dan @metalurgiui2012 yang Tira lakukan adalah kesalahan termanis yang pernah terjadi jika kuingat-ingat. Sebelum pada akhirnya kami kenal, menjadi kenalan biasa selama satu setengah tahun karena sama-sama memiliki pujaan hati masing-masing di masanya.

Kami yang jarang berinteraksi selain via twitter/facebook, suatu hari yang cerah kami dihubungkan kembali oleh-Nya melalui pencarian informasi mengenai mobil Sapu Angin yang ingin ia dapatkan (entah dulu untuk urusan apa, atau emang modusnya dia ya? *eh) via sms dan pada akhirnya berpindah interaksi ke LINE messenger. Setengah tahun menjadi teman biasa hingga saling curhat satu sama lain. Satu semester selanjutnya kami menjadi kenalan yang kelewatan, dan naik level menjadi sahabat setelah ternyata saling nyaman satu sama lain (efek sudah sama-sama single juga kali ya?). Hingga tibalah saat di mana angkatanku (atau tepatnya himpunanku: HMMT) mengadakan Kunjungan Industri, dan kami pun dijodohkan kembali untuk bertemu, bertatap muka, dan berbincang dalam kondisi live tanpa media apapun kecuali udara. And then, satu minggu kemudian muncul pertanyaan dariku untuk dia, yang awalannya adalah kata-kata hasil download dari internet (asli nggak banget sebenernya, hahaha)

Udah berapa tahun kata-kata ini bertengger di memori smartphone ya? Bahkan sampai ganti smartphone pun masih tertinggal di memorinya.
 May I trust you?

Oh iya, namanya Tira Kurnia Saputri, yang di kisah sebelumnya kusebutkan sebagai Raniasa. Dia mahasiswa alumni Teknik Metalurgi dan Material, Universitas Indonesia yang sekarang sedang berjuang dengan pekerjaannya di sebuah perusahaan manufaktur yang berlokasi di Karawang. Oke, back to flashback, setelah beberapa hari dia kebingungan dengan maksud pertanyaan absurd dan mendadak semacam itu dariku, barulah berhasil menjawab "iya" ketika kutelepon untuk memastikan jawabannya (karena menurutku durasi berpikirnya sudah melewati masa tenggang *eh).

Saturday
Dan pagi itu tanpa basa-basi, aku diajak ke rumahnya setelah prosesi penjemputan di stasiun kereta api. Seperti di kisah sebelumnya aku kembali diajak untuk menikmati perjalanan ibukota dengan berbagai moda transportasi (bagian menarik tentang hal-hal semacam ini InshaAllah akan dibahas di spin off pada seri SVE17 selanjutnya).

Dengan beberapa suntingan dan proses sensor (*eh), based on kisah yang ia tuliskan sendiri via notes di LINE yang dikirimkannya padaku, saat itu:

"Sesampainya di rumah, kita makan dan ngobrol-ngobrol, ketemu mama sama bapak, juga Adin. Eh tiba-tiba mas minta tanganku, dan ngasih cincin (wkwkwkwk... Heran, ga ada romatis-romantisnya dah lu, mas -_- sebal). Terus selesai prosesi unofficial itu kuantar mas ke penginapan, untuk mandi dan siap-siap ke kondangan temenku, sekaligus tetangga dekat rumah."

Ya, memang hari itu aku diseret langsung sekeluarga untuk hadir di undangan pernikahan teman Tira, yang juga tetangganya. Dan dari sinilah aku paham, bahwa budaya hajatan di sekitar rumahnya (Depok) undangan terbagi antara 1) dari orang tua mempelai; 2) undangan mempelai sendiri. Sungguh, khazanah budaya baru yang kukenal, karena selama ini setahuku undangan pernikahan itu ya langsung kuantitas keseluruhan gitu, tanpa pandang undangan untuk anak maupun orang tuanya (hihihi). At least, satu checklist keinginannya terpenuhi untuk kondangan bareng aku lah ya ^_^

Ini salah satu foto yang menghebohkan dunia persilatan DM instagramku beberapa waktu lalu, bagaimana tidak? Tak sampai lima menit setelah pajang, berbelas-belas DM masuk tiba-tiba. Hahaha
Saat itu tak ada kesepakatan matching, asal warna senada it's ok lah ya...

Lalu agenda kami pun berlanjut, dari siang itu kami keluar muter-muter Depok. Tujuan utamanya memenuhi hasrat narsis dan mengabadikan momen bersama yang sangat amat jarang terjadi. Maklum tjuy, dua tahun lebih LDR baru ketemu lima kali. Literally excited sih pasti ya? Hahaha.

And here we are, konsepnya emang pakai jas almamater masing-masing dan niatan ringing shoot pun tercipta begitu saja tanpa terencana sebelumnya.
Setelah foto kalian ngapain?

Kami nonton bareng untuk pertama kalinya, hahaha. Dan filmnya pun random parah, kami nonton film tentang para monyet di masa depan yang berperang melawan manusia dan sebaliknya hanya untuk berjuang hidup dengan hukum rimba yang dianut masing-masing. Keluar pas maghrib banget, lari ke mushalla Mall, yang dilanjutkan nongkrong di sana sampai isya' sekalian.

"Mas, kamu laper nggak?"
"Banget, yuk dinner yuk!"
"Kamu mau makan apa?"
"Apa aja lah yang penting sama kamu..."

Itulah beberapa percakapan gombal ala-ala abege labil yang kami lakukan sebelum makan malam.

Muka-muka kenyang pasca melibas habis seloyang pizza dan semangkuk pasta beserta minumannya.
Yang gara-gara foto ini juga, mbak April tiba-tiba DM via Instagram:
"Aseeek, sumringah banget adikku lanang siji iki..."
Hahaha, sungguh mbak-tak sedarah yang sangat amat perhatian sama adiknya.

Sunday
Hari ini adalah satu-satunya hari yang benar-benar terencana oleh kami berdua. Ya, jelas sekali, karena destinasinya terstruktur dan terjadwal. Nggak usah diceritain lah, mending langsung posting foto-fotonya aja ya...

Jepretan pertama ini ada di salah satu spot Seaworld, Ancol
Masih di Seaworld, btw mikirin apa tuh?
Terus ada yang minta difotoin sama ikan pari
Kalo ini siluet ala-ala di spot ubur-ubur
Dan kalau kata Tira ini foto favoritnya dia, entah kenapa -_-
"Mas, aku kucel banget nggak sih di sini?"
"Ah enggak kok, masih cantik, masih chubby..."
Selesai puas jalan-jalan di sana, yang katanya baru kali ini dia ke sini lagi setelah jalan-jalannya bersama mama dan bapak waktu TK dan merasakan peningkatan harga tiket masuk 10 kali lipat (hahahaha, maklum lah udah berapa belas tahun), kami meluncur ke tempat makan. Sebelum pada akhirnya menyusuri jalanan ibukota dengan bus transjakarta.

"Muter-muter sampe bego nih kita," katanya ngedumel.

And finally, we're arrived di Kota Tua yang sore itu ramenya Subhanallah...

Jepretan tanpa kelihatan kucel sore itu disponsori oleh front camera dari ASUS Zenfone 3 Max
Muter-muter aja sesorean di situ
Dan ini jepretan terakhir sebelum melanjutkan perjalanan muter sisi lain dari Kota Tua
Ah, ternyata memang hari itu akan terasa lebih singkat jika dilalui dengan berbagai kegiatan, apalagi ditambah kalau lagi bahagia dan berbunga-bunga *eh.

Nggak papa lah untuk tulisan kali ini aku kolaborasi sama tulisan Tira, karena di sesi ini pun aku mengutip notes-nya yang bertengger di LINE:

"Nggak nyangka asli bakal serame itu, pusing kepalaku. Dan sebenarnya di sana sih cuma foto-foto doang, jalan-jalan gitu. Sampai Maghrib akhirnya kita cari masjid, pakai drama salah jalan lagi kan. Udah kaki pegel banget, ada salah jalannya pula. Mau minta gendong rasanya waktu itu, tapi kasihan kamu pasti nggak bakal kuat (hahahaha). Abis sholat Maghrib kita tjus naik KRL dan pulang ke Depok. Untung dapat tempat duduk, dan keretanya lengang, jadi pegelnya bisa ilang dikit-dikit. And finally sampai rumah, dan kamu ngobrol-ngobrol banyak sama keluargaku sebelum mereka akhirnya pada masuk ke ruang TV."

Mulai lah drama galau terjadi malam itu, dia yang galau mau ditinggal udah diem dan cemberut mulu. Dan di sisi lain aku yang udah bingung harus gimana cuma bilang, "Adek jangan diem dong, cemberut mulu! Besok masnya udah balik itu mbok ya diajak ngobrol, dibecandain..."
Hahaha, tapi ya dasarnya memang gitu anaknya, akhirnya jam 22.00 aku diantar kembali ke penginapan.

Monday
Ah, skip aja deh hari ini. Agendanya cuma ketemu Zulfa, sahabatnya Tira yang mau nikah awal tahun 2018 nanti. Pertama kalinya aku ketemu dan dikenalin sama Zulfa, biasanya sih cuma PM-PMan doang kalau pas mereka lagi bareng tapi si Tira nggak ada koneksi.

Lah ngapain PM?

Ya, ngabarin aja sih, mereka lagi di mana. Karena emang itu kebiasaanku sama Tira, untuk saling mengabarkan kondisi terkini dari hari-hari kami.

Sisanya hari itu ngapain?

Ke Menara 165, diskusi dan tanda-tangan MoU untuk GRADASI sama Yayasan ACT, dan pulang. Dan saat pulang kali ini nggak ada drama kok, karena memang kita sudah saling mempersiapkan diri untuk nggak lagi sedih dan menyerah dengan kerasnya hantaman long distance relationship yang berlangsung lebih dari dua tahun. Eh, tepatnya dua tahun empat bulan sih hari ini :)

EPILOG
Thanks ya dek, kamu udah mau jadi partner tersuper, yang meski cengeng dan sering nangis, tapi nggak pernah sekalipun menyelipkan air mata waktu kita ketemu atau video call. Selamat menjalani hubungan jarak jauh di fase selanjutnya!!! We're into next level now :*

Wanna support???