Description

"Who you are, depends on what do you think about GOD and yourself."

#KotakAjaib
Copy-Paste boleh, asal cerdas! Jangan lupa cantumkan sumbernya ya...
http://tanpa-inspirasi.blogspot.com/

Thursday, April 20, 2017

Things I Randomly Learned

PROLOG
Banyak hal-hal kecil dan sederhana yang sering abai dari pemikiran "serius" kita, dari mulai pengalaman tentang bangun kesiangan, menunggu kendaraan umum, hingga harus berdiri di dalam kereta dan memperhatikan orang-orang di dalamnya, hal-hal remeh temeh tersebut bisa jadi berubah menjadi sebuah pengalaman unik, lucu, dan tak lagi bisa dipandang sebelah mata jika diingat-ingat kembali, pun juga dimaknai. Di tulisan kali ini, potongan-potongan cerita itu akan jadi sebuah kumpulan mozaik yang kucoba sajikan dalam kisah runtutan yang tak runtut.

Mozaik 1:
"Terlambat dan Manajemen Hati"
Malam itu aku mengerjakan sebuah rangkuman proyek yang harus kusetor pada profesor sebelum diminta (caraku selalu demikian, lebih baik menyetorkan laporan progress terlebih dahulu, biasanya H-1 hari sebelum deadline, daripada terlambat dan dikira mangkir dari tanggung jawab). Karena memang kebetulan esok harinya (saat deadline) aku tak akan bisa fokus dalam mengerjakan laporan progress karena suatu hal yang juga sama-sama urgent. Alhasil, kumulai mengerjakannya dari tengah malam (setelah rapat persiapan acara yang sangat amat penting), dan terkirim tepat pukul 04.30 waktu Taiwan. Tidur? Sebentar, menunggu masuk waktu Shubuh terlebih dahulu sepertinya akan sangat membantu mengurangi tingkat stress karena mangkir dari kewajiban beribadah kepada-Nya. Ya kali kan, dosa yang nggak kelihatan aja udah banyak, apalagi harus ninggalin Sholat. Masih "bersarung", mata ini tak bisa bertahan lagi untuk terus terjaga, dan menyerah pada rasa kantuk adalah jawaban terbaik saat itu.
Singkat cerita, rencana berangkat bersama rombongan yang akan menghadiri acara penting pagi itu harus diurungkan. Aku berangkat sendirian, bagaimana bisa? Ya, karena pukul 07.45 pagi aku baru terbangun dan melompat turun dari tempat tidur untuk mandi, pukul 07.48 aku sudah siap dan berlari menuruni tangga dormitory dan mengayuh sepeda menunju Yi Ren Hall, dan 07.50 tepat aku tiba di sana.

"Permisi, apa kamu tahu bus nomor 9025 yang seharusnya 07.50 tiba di NCU, tepatnya tiba di halte ini pukul berapa?" tanyaku pada sesama penunggu kendaraan umum yang mengantri di sana.
"Oh, kukira 07.40 tadi sudah berangkat, karena memang ini termasuk waktu weekend, jadi itu tadi bus terakhir yang lewat sini pagi ini." jawabnya ramah.

Ah, ternyata jurus mandi "3 menit paket lengkap"ku tak cukup cepat membobol jadwal bus 9025 pagi ini. Terpaksa, 132 dan kereta lah yang menjadi moda transportasiku demi mengejar ketertinggalan rombongan.

*skip cerita tentang lompat-lompat stasiunnya*

Pukul 10.15 smartphone-ku bergetar,
"Zha, cepetan kita hampir maju!" kata pesan tersebut.
"Masih 4 stasiun lagi, mbak, sabar ya!" balasku cepat.

Pukul 10.20 pesannya kembali muncul dari orang yang sama,
"Kamu di mana Zha? Kita maju sekarang lho,"
"Oh, yaudah, semoga lancar ya, aku masih 3 stasiun lagi sampai," balasku lega.

Eh, tunggu dulu, lega ya? Oh iya, perasaan lega lah yang kurasakan saat itu. Bukan karena niat untuk mangkir membaca ikrar atau apapun, hanya saja aku lega karena ternyata aku berhasil memanajemen hati untuk tak kecewa "kehilangan kesempatan untuk ada di momentum sakral yang harusnya penting itu", tak kecewa "kehilangan kesempatan untuk menyaksikan saat banner organisasi dibentangkan sebagai tanda peralihan kepengurusan", tak kecewa "kehilangan kesempatan untuk merasakan berdiri di depan banyak orang yang hadir saat itu, dan diperkenalkan sebagai bagian dari organisasi yang menyebut dirnya History Creator di kepengurusan ini. Ya, aku tak kecewa saat itu: ketika membaca pesan bahwa kesempatan-kesempatan itu gagal kudapatkan. Meski satu menit sebelumnya, hati ini masih berharap aku ada di sana, merasakan atmosfer dan kebanggaan tersendiri di momentum bersejarah itu.

Bagian kuanggap penting, karena pada dasarnya inilah pertama kalinya aku mengalami "sebuah kehilangan kesempatan berharga", dan logikaku mampu menang terhadap penyesalan yang sumbernya jelas dari "terbawa perasaan" saja. Ya, logikaku menang kali ini! Meski jelas, contoh yang kuberikan tentang keterlambatan tidaklah 100% bisa diterima dan dibenarkan. Tapi toh semua ada behind the scene-nya kan? Dan itu semua bukan 100% kehendakku juga untuk "berniat terlambat", meski hanya lima menit.

Mozaik 2:
"Kisah Cinta Romantis di Kereta"
Cuplikan kali ini merupakan flashback dari kisah yang sempat kulewati di mozaik sebelumnya. Kereta yang membawaku menuju Taipei berjalan di atas rel, suara derit rel dan roda kereta tak terlalu terdengar dari dalam, yang menjadi salah satu tipikal kereta di Taiwan. Aku bersandar di tiang dekat pintu. Mendengar percakapan orang di sekitarku tak lagi menjadi masalah, karena semenjak berada di sini dan tak begitu paham bahasa Mandarin membuatku cuek dan cenderung masa bodoh dengan apa yang kudengar. Terdengar seperti Anti Sosial memang, tapi yang kutahu ini adalah salah satu pembelajaran terbaik yang wajib dicoba siapapun untuk menghilangkan kecenderungan KEPO dengan percakapan orang lain: merantaulah ke tempat yang bahasanya tak begitu kau kenal!
Kondisi di dalam kereta saat itu ramai, beberapa muda mudi tak ragu mengumbar kemesraan mereka di depan umum, dari mulai pegang-pegangan, sampai adegan yang jelas ketika itu semua tersemat di film-film Indonesia pasti sudah di-skip atau minimal disensor oleh lembaga sensor. Aku yang melihatnya saja risih, apalagi orang-orang yang berada di samping mereka, untung saja di gerbong itu tak ada anak-anak. Tapi di samping itu semua, ada satu kisah cinta unik dan menginspirasi bagiku. Sejak awal kucoba menganalisis bahwa mereka adalah sepasang suami istri, dengan cincin motif dan model identik yang melingkar di jari manis masing-masing.

Tak ingin menyimpan inspirasi kecil ini untukku saja,
adegan perbincangan hangat mereka menjadi obyek menarik untuk diabadikan.
(abaikan hidung dan bibir yang muncul di pantulan pegangannya)

Ada banyak ekspresi yang saat itu tertangkap dalam amatanku, ekspresi serius sang istri saat mendengarkan sang suami berbicara, ekspresi senang sang istri saat melihat suaminya dengan perhatian membelai rambut istrinya yang menutupi wajah, di tengah obrolan dan goyangan kereta. Bahkan sesekali sang istri membetulkan topi suaminya yang (nampaknya) sedikit longgar. Ah, melihat mereka yang kuingat hanya mama dan papa, rindunya...
Bahkan tanpa mempertontonkan adegan dewasa, mereka telah mampu menghipnotisku, membuatku mau untuk mengalihkan pandangan dari layar smartphone yang dari tadi kupegang untuk melihat jam dan mengestimasi waktu. Menyaksikan mereka serasa waktu sejenak berjalan lambat, tak ada degup jantung yang memburu, ataupun perasaan takut terlambat yang tersirat. Adem, kalau bahasa Jawanya, harmonis sekali mereka, yang entah mengapa membuatku meredefinisi anggapanku sendiri tentang rasa cinta: bukan tentang bagaimana kemesraan diumbar dan dipertontonkan, melainkan dengan ungkapan perhatian dan kasih sayang sederhana yang tak dipaksakan. Tulus, tanpa beban, tak mengharap sorotan, "hanya ada aku dan engkau seorang".

Mozaik 3:
"Ikatan dan Pemersatu"
Nampaknya memang benar, teori atom yang menyatakan bahwa elektron-elektron di sekeliling nukleon tak akan pernah terlepas karena energi ikatan yang mempertahankan posisinya. Beda cerita jika berbicara tentang elektron-elektron itu tereksitasi atau tidak: yang nantinya menyebabkan mereka mendekat ataupun menjauh dari nukleon. (ah, ribetnya!!!) Aku yakin, pembaca banyak yang berpikir demikian...
Tenang, tenang, itu tadi hanya perumpamaan kok. Dan yang ingin kubahas di sini adalah tentang ikatannya. Ada yang bilang, simbol selalu mampu mempersatukan, siapapun, dan di manapun. Sama seperti label INDONESIA, di manapun berada, di belahan dan sudut bumi manapun selalu bisa memberikan telaga tersendiri bagi para musafir yang tengah mengalami dahaga pertemuan dengan saudaranya. Sama seperti kami: para "mantan" (atau halusnya sih dibilang Alumni) penerima beasiswa dari Djarum Foundation selama S1.

Kawan baru ketemu ini namanya Laskar, sama denganku, dia juga Beswan Djarum angkatan 30.
Dia beswan Jogja, aku beswan Surabaya, dan kami "baru" bertemu di Taiwan
Amazing, bukan? Selama setahun menjadi beswan Djarum dan melewati NB, CB, LD, dan mungkin beberapa kali menjadi LO adik-adik beswan Djarum 31, sama sekali kami belum pernah bertemu dan bercakap seakrab kemarin. Ceritanya memang unik, sama seperti cerita sebelumnya tentang perjalanan ke selatan Taiwan, Mushalla selalu membawa berkah tersendiri dalam mempertemukan. Maghrib, Mushalla NTUST menjadi destinasi tempat berbisik pada bumi untuk diperdengarkan ke langit. Istighfar, Tasbih, Tahmid, dan Takbir telah berhasil menggerakkan bibir ini setelah sholat.

"Mas? Beswan angkatan berapa ya?" tanyaku sambil menyodorkan tangan untuk bersalaman.
"Lho? Saya 30, mas, kalau mas? Kok tahu?" jawabnya tersenyum, menyambut jabat tanganku.
"Wah, aku juga angkatan 30, namaku Ozha. Aku beswan Surabaya," jawabku
"Alhamdulillah, ketemu temen di sini, namaku Laskar, beswan Jogja,"

Obrolan-obrolan nostalgia selama menjabat sebagai beswan Djarum menjadi pemersatu dan pengikat tersendiri di antara kami. Jujur saja, jaket biru-kelabu itu menjadi identitas tak terlupakan bagi kami, dan karena ikatan itu juga lah aku secara tiba-tiba menanyakan sebuah pertanyaan es-ka-es-de kepada si pemakainya, yang tak lain adalah kawan seper-beswan Djarum-an angkatan 30.
Benar kan? Teori ikatan antar atom itu tak terbantahkan, karena hanya dengan ikatan itulah kami* akrab, di manapun, dan sejauh apapun kami dari tempat asal**.

*si pemilik atom-atom yang disematkan oleh-Nya di tubuh kami
**tanah air Indonesia

Mozaik 4:
"Kesamaan Background dan Obrolan Optimis tentang Indonesia"
Malam itu aku sengaja menginap di dormitory kawan-kawan NTUST. Malam Minggu ini rencananya kami (angkatan MT14 yang mendiami regional Taiwan) akan melakukan take video untuk memeriahkan Anniversary angkatan kami yang ke-4. Akan tetapi, karena memang masih harus menunggu beberapa kawan lain yang belum hadir di Taipei (kota untuk obyek pengambilan gambar kami), maka rencana itu ditunda esok hari. Alhasil, bermalam Minggu di area Gongguan menjadi agenda tak terencana, tapi terlaksana. (udah mirip labelling pas LPJ Himpunan belum? Hahaha)
Acaranya hari itu: beli martabak, jalan-jalan, dan duduk-duduk di taman dekat pintu keluar kampus National Taiwan University.

"Assalamu'alaikum!" seruku pada seseorang yang lewat di dekat kami malam itu.
"Wa'alaikumussalaam... Hei! Nang kene?" jawabnya.
"Iyo mas, dolan ae, nyambangi konco-konco, wes suwe nggak ketemu," balasku

Latar belakang dan beberapa cerita masa lalu yang hampir sama membuat obrolan semakin hangat. Bagaimana tak "hampir sama", kan memang mas Gita Novian adalah salah satu bagian dari keluarga MATRICE juga, meski berbeda angkatan denganku. Kisah demi kisah tentang penelitian, dunia kerja, trik-trik sepik profesor mengalir begitu saja malam itu. Sampai pada akhirnya menghasilkan sebuah statement tentang semangat kebangsaan dari kami,

"Memang apa sih yang kita cari jauh-jauh kemari kalau bukan untuk kembali dan membangun Indonesia?" tanyaku dengan tatapan menerawang ke langit.
"Tak ada lagi, pilihannya demikian, curi ilmu, perkaya diri dengan wawasan dan pengetahuan, kembali, dan bangun peradaban," ujarnya menjawabku (intinya demikian, aku lupa kata-kata tepat yang keluar darinya bagaimana)
"Oh iya, sampeyan nggak ingin cari kerja di sini?"
"Aku sudah pernah kerja, dan aku sudah paham bagaimana atmosfernya, aku ingin mengajar: jadi dosen!" tukasnya, "itu pun kalau dapat tempat cepat," imbuhnya.
"Kalau nggak cepat?" tanyaku.
"Banyak rencana dan jalan, asal niatnya tetap positif sih mengapa tidak dijalankan? Meski aku nggak bisa bilang sekarang."
"Ah iya, apapun rencananya, niatkan untuk ibadah dan mengharumkan nama bangsa Indonesia ya, mas!" ujarku.
"InshaAllah..." balasnya.

Terbukti kan? Malam itu bergelimang optimisme dan cita-cita mulia dari dua orang anak bangsa yang merantau ke sudut kecil salah satu entitas politik milik China.

Mozaik 5:
"Road to tanggal 20* yang ke-48"
Mozaik terakhir yang bertengger di tulisan kali ini tak banyak yang ingin kubahas, hanya secuil kata-kata untuk angkatanku tercinta, yang mungkin sudah jauh terpisah satu sama lain. Tapi sebelumnya mendingan aku cantumin beberapa chat di chatroom para tukang rusuh menyambut 20 April yang ke-48 ini deh,
________________________________________________
Member chatroom: Fadhil (koor Jogja dan sekitarnya), Syarif (koor Borneo), Nyoman Suprayojana (koor Bali), dayu (koor Jabodetabek), Hastya Anisa Rufaida (koor Jogja juga kali ya?), Widia Anggia Vicky (koor Surabaya dan sekitarnya), Azhar Basyir (editor andalan MT14), Gilang Maulana H (koor Jabodetabek juga), dan tentunya ada aku.
________________________________________________
22:00 Ozha Hernandha | 弗達斯: "Ini apa gaes?"
22:00 dayu: "Ini grup yg isinya pj region"
22:01 dayu: "Kemarin dari Jabodetabek ada saran buat photo collage gitu"
22:01 dayu: "Terus pengennya kita buat kata kata happy anniv"
22:07 Widia Anggia Vicky: "Kalo make kertas tiap orang riweuh"
22:07 Widia Anggia Vicky: "Yang simple aja"
22:07 Widia Anggia Vicky: "Kalo yg bawa tulisan sendiri2 susah keknya"
22:07 dayu: Yaudah, bebas aja konsepnya...
22:07 Widia Anggia Vicky: Apalagi kalo yg di tempat kerja
22:21 Syarif: "Terus terang ya rek..."
22:21 Fadhil: "Yang di jogja kantornya pada mencar day, syulit"
22:21 Syarif: "Kalo yg Borneo kayanya ga bakal jalan"
22:21 Syarif: "Soalnya anaknya cm 3, dan tempatnya mencar. Willi di Bpn kota, aku masih 10 jam dari Bpn, dan Dayat malah lebih dekat ke Malaysia, di Tarakan."
22:22 Syarif: "Dayat juauh"
22:22 Ozha Hernandha | 弗達斯: "Kalo usul dari aku guys, mendingan fotonya sebisanya aja, untuk print bisa diusahakan tulisannya apa font dsbnya. Kalo kondisi, mending ngumpul bareng di tempat yg jadi icon regional masing2 atau di manapun asalkan kumpul dan ngga memberatkan."
22:22 Fadhil: "Ini tema annivnya happy arseneversary kan? cc: @Syarif "
22:22 dayu: "Kok kasian, Sya"
22:22 dayu: "Kamu kesepian"
22:23 Syarif: "Temenin sini"
22:23 Fadhil: "Kan ultah yg ke 4 rip wkwk"
22:23 dayu: "Jemput Dayu, Sya"
22:23 Fadhil: "usul Ozha masuk"
22:23 dayu: "usul Ozha masuk"
22:24 dayu: "Tapi jangan lupa di kumpulinnya sebelum tgl 20 ya biar bisa diedit dulu 😂"
22:42 Nyoman Suprayojana: "Berdasarkan kreatifitas masing2 region aja, entah video ataupun foto"
22:43 dayu: "Setuju"
(meanwhile)
22:46 Gilang Maulana H: "Apa lagi ini, too much chat group tante"
(another meanwhile)
06:04 Hastya Anisa Rufaida: "Rame banget"
07:06 dayu: "Baca nis dari atas wkkk"
12:49 Hastya Anisa Rufaida: "Terlalu banyak daaay wakakk"
________________________________________________

Hingga akhirnya video dan foto-foto kumpul pun digarap masing-masing region, tak terkecuali regional terjauh dan paling terpencil: Taiwan.


Itu sih cuma video perjalanan mencari view aja, untuk main video-nya ada di sini nih:


Eits, tunggu dulu, ada juga tambahan ucapan dari regional Taiwan, mau tahu gimana ucapan dan doa-doanya? Lets check this out!!!


Udah?

Udah, asli aku speechless untuk ulang tahun kali ini. Kalau tahun lalu adalah ulang tahun terakhir saat kita kumpul terbanyak-terakhir di kampus sebelum semua pada lulus, tahun ini adalah tahun pertama kita merayakan Anniversary jauh-jauhan dan el-de-er-an. Duh, nano nano rasanya...

Yang pasti doa-doa baik yang terpanjatkan hari ini, untuk kita semua, adalah tulus dari hati kita masing-masing untuk saling menyemangati dalam setiap aktivitas yang kita lakukan, menjadikannya jalan ikhtiar untuk meniti sukses masing-masing.


HAPPY ANNIVERSARY MT14


"Jika tua nanti kita t'lah hidup masing-masing, ingatlah 20 April..."

Satu hal yang bisa kita sikapi bersama dari mozaik ke-5 ini: Menjaga jarak adalah cara terindah untuk memupuk kerinduan, cara terbaik untuk memecah kejenuhan, dan cara tersukses untuk menumbuhkan rasa cinta. Dan disadari atau tidak, kita rindu satu sama lain...

Semoga sukses MT14!!!

*maksudnya tanggal 20 punya MT14

EPILOG:
Udah ah, capek, lelah, di tengah eksperimen yang masih stuck, cuma ingin menulis sebisaku aja untuk menyalurkan energi stress biar lebih positif aja. See you!!!

Thursday, April 6, 2017

Journey to the Southern Taiwan: A Friendship Story

PROLOG
Kata orang mengurai benang kusut adalah pekerjaan tersulit, sampai-sampai menjadi analogi mainstream tentang menyelesaikan permasalahan. Lalu bagaimana dengan menyusun puzzle? Atau menyatukan mozaik-mozaik yang telah berceceran ke mana-mana, bukankah lebih sulit lagi? Apalagi jika bagian-bagiannya belum benar-benar terlihat bisa disatukan.

Spring break kali ini menceritakan tentang sebuah perjalanan tiga hari menuju pencarian tali persaudaraan. Kau sudah kenal siapa aku, bahkan mungkin apa yang kutulis berkali-kali membuat dirimu memahami betul bagaimana diriku. Maafkan jika terkadang membuatmu geram, sakit hati, atau bahkan galau karena tulisanku. Tapi inilah aku, seseorang yang senang dengan "pencarian" dan "penemuan".

Sabtu, 1 April 2017
April Mop katanya, entah budaya mana yang memulai guyonan konyol penuh kebohongan di tanggal ini. Tapi tenang, aku tidak memulai hari ini dengan kebohongan, karena niat melangkahkan kaki keluar tempat tinggal adalah untuk mengungkap kebenaran. Bersama seorang partner luar biasa yang sejak awal bertemu telah sering sekali selaras dalam pemikiran dan juga pengambilan keputusan, L. Tri Wijaya N. Kusuma, itu nama lengkapnya. Dia adalah orang nomor satu di Perhimpunan Pelajar Indonesia di Taiwan untuk setahun ke depan, menggantikan Pitut Pramuji. Mungkin kalian familiar dengan dua nama itu? Ya, karena keduanya pernah muncul di tulisanku sebelumnya: tentang regenerasi PPI Taiwan dan juga tentang NCU ICD 2017 part 1 dan part 2. Kami melangkahkan kaki bersama pagi itu, pukul 09.00 kami menunggu bus 132 menuju stasiun kereta di daerah Zhongli. Perjalanan kali ini bukan tanpa tujuan, karena sejak jauh-jauh hari sebelumnya kami telah merencanakan sebuah misi "Perjalanan Persahabatan" ini. Merencanakan rute dari Hsinchu, Taichung, Tainan, dan Kaohshiung, untuk menjangkau wilayah tengah dan selatan Taiwan. Tak hanya sekedar say hi pada saudara-saudara sesama mahasiswa Indonesia kami di sana, tetapi juga membawa semangat kolaborasi "Bersahabat dan Bermanfaat".

Rel kereta berderit mengeluarkan bunyi memekakkan telinga tepat setelah kami memasuki ruang tunggu. Ternyata memang itulah kereta yang harus kami tumpangi menuju Hsinchu. Lima puluh menit perjalanan kami membawa pertemuan hangat dengan mas Nyoto dan mas Ardian, dua orang mahasiswa Indonesia (representatif area Hsinchu) yang sangat welcome dengan kehadiran kami berdua. Dari mulai berbincang tentang hal-hal serius, hingga sekedar kelakar pencair suasana, keduanya sangat mahir dalam men-treat tamu, bahkan kami mendapatkan jamuan makan siang spesial dari mereka (dibilang spesial karena gratisan sih, hihihi).

Jalan utama dalam kampus NTHU

Sengaja fotonya ditampilkan yang dari belakang,
karena untuk foto yang pegang MoU tunggu official dulu baru di-release
(kiri ke kanan: mas Ardian, pak Tri, dan mas Nyoto)
Tak membutuhkan waktu lama bagi kami untuk berjalan mengelilingi NCTU dan NTHU yang ternyata saudara kembar siam. Bagaimana tidak, pemisah dari mereka berdua hanyalah satu dinding tinggi dan penghubungnya semacam jembatan الصراط المستقيم (shirathal mustaqim) milik Institut Teknologi Sepuluh Nopember (Surabaya) menuju Keputih gang 1.

Dinding pemisah NCTU-NTHU (eh ada pak Tri nongol juga)

Nggak kebayang kalau malam suasananya gimana kan ya?
Pasti males yang mau lewat sini (jembatan penghubung NTHU-NCTU) karena gelapnya
Tempat singgah kami sebelum pulang adalah di satu tempat milik Muslim Student Club (MSC) di NCTU, selain menunaikan shalat Dhuhur, kami juga sekedar say hi dengan beberapa mahasiswa muslim asal India dan negara-negara Timur Tengah yang sedang berkumpul di sana. Uniknya, ketua dari MSC ini bukan orang Indonesia (biasanya mayoritas Muslim di kampus-kampus Taiwan itu orang Indonesia), melainkan orang India, kalau aku tak salah dengar saat berkenalan, namanya Muhammad.

Interior Mushalla milik MSC di NCTU, yang juga digunakan untuk shalat Jumat
Hari sudah sore, rencana kami melanjutkan perjalanan menuju Taichung nampaknya harus urung karena suatu hal. Plan B harus bekerja saat itu juga, karena perjalanan kali ini tak boleh terhenti. Tainan, yang bukan menjadi tujuan kami hari itu, menjadi kota selanjutnya yang harus dikunjungi sebelum malam. Perjalanan tak kurang dari empat jam berhasil dilalui meski harus berdiri sepanjang kereta (maklum spring break adalah salah satu masa liburan berjamaah di Taiwan). Petang, kebingungan, dan hampir berakhir ngemper di stasiun. Beruntung, ikatan batin yang terbangun selama kaderisasi mahasiswa baru di jurusan Teknik Material dan Metalurgi (diselenggarakan oleh HMMT FTI-ITS) dulu ternyata membekas di hati kami, para penyandang gelar MT. Mas Khoiril Metrima menjadi orang yang pertama kali kuhubungi saat itu, tujuan utamanya adalah: mencari tempat bernaung.

"Assalamu'alaikum, mas..." sapaku sembari menjabat tangan mas Metrim.
"Wa'alaikumussalaam... Nunggu lama ini tadi?" jawabnya tersenyum.
"Maaf lho mas, ngerepoti mendadak," ujar pak Tri.
"Nggak apa-apa, pak, tenang aja..." balas mas Metrim ramah.

Percakapan berlanjut sambil berjalan menuju dormitory milik NCKU. Petang itu kami menginjakkan kaki di Tainan, berniat merebahkan diri untuk beristirahat dan mempersiapkan diri bertemu kawan-kawan mahasiswa Indonesia, untuk sekali lagi ber-say hi dan juga merekatkan hubungan persaudaraan, esok hari.

Petang hari di NCKU
Shalat Maghrib menjadi agenda pertama setelah tiba di Mushalla milik NCKU (terletak di lantai 2 International dormitory NCKU).

"Sini Zha, minum dulu, ini tadi ada mbak-mbak ngaji sore, terus konsumsinya masih banyak," kata mas Metrim.
"Wah, siaaap..." kataku berjalan mendekatinya.
"Lho, mas ini dari mana?" tanya seorang lelaki yang sedang bermain dengan anak gadis kecil di pangkuannya.
"Saya dari Taoyuan pak, NCU," jawabku setelah menyeruput minuman yang kupegang.
"Oh, ini ya yang tamu jauh itu? Perkenalkan saya Iqbal," ujarnya.
"Inggih, pak. Saya yang bersama pak Tri ini," ujarku, "Pak, ini pak Iqbal, nggak nyangka bertemunya justru di sini," kataku melanjutkan.

Kira-kira begitulah perkenalan singkat kami saat itu. Pak Iqbal adalah mahasiswa S3 di NCKU yang merupakan representatif mahasiswa Indonesia yang ada di wilayah Tainan. Obrolan kami malam itu berlangsung hangat di serambi Mushalla, ditemani kudapan-kudapan ringan menambah kondusif suasana diskusi dari hal-hal ringan hingga serius yang menjadi tujuan kami (pak Tri dan aku) jauh-jauh melakukan perjalanan ke arah selatan Taiwan. Hingga selesai sholat Isya' berjamaah pun obrolan kami masih berlanjut, sampai pada akhirnya...

"Sepertinya saya harus pamit, pak. Mohon maaf lho kita diskusinya sampai malam begini, karena mungkin esok hari saya tidak bisa menemani," ujar pak Iqbal.
"Nggak papa, pak, kasihan juga itu adiknya sudah ketiduran," ujarku.

Dan pertemuan kami dengan pak Iqbal harus berakhir saat itu. Tapi sepertinya agenda malam ini tak berhenti di sana, karena perut kami sudah menabuh gendang berkali-kali. Malam itu kami diajak makan malam di sebuah kedai hot pot di dekat kampus oleh mas Metrim, mas Adnan Kasofi, dan juga beberapa mahasiswa Indonesia lainnya, sebelum dilanjutkan dengan agenda cangkruk ngopi di 7-11 dekat kampus. Lalu? Ya sudah, setelah semua agenda bincang malam di Tainan itu kami beristirahat demi menjaga stamina untuk melanjutkan perjalanan esok hari. Sungguh perjalanan kali ini dipermudah oleh Allah SWT, karena agenda diskusi yang seharusnya direncanakan esok hari, telah clear dalam semalam, dalam balutan hangatnya suasana Mushalla.

Ini mas Metrim (kanan), yang dengan tangan terbuka
mau menampung kami selama semalam di Tainan
Minggu, 2 April 2017
Hari kedua di bulan April, pukul 04.40, alarm sholat Shubuh berhasil membuka mata kami pagi itu. Rencananya hari ini kami akan menuju destinasi terakhir dari "Perjalanan Persahabatan", Kaohsiung, wilayah representatif paling selatan (sebelum Pingtung, yang terletak di area lebih ujung selatan lagi). Tapi sepertinya godaan untuk mengunjungi tempat "lain" tak bisa dihindarkan. Berawal dari hasil kepo-kepo tempat hits di Tainan, akhirnya tujuan kami sebelum melesat ke Kaohsiung adalah: Chimei Museum (奇美博物館). Di sana kami disambut dengan pemandangan patung-patung ala Dewa-Dewi Yunani di sepanjang jembatan masuk ke areal "Eropanya Taiwan".

Deretan patung-patung Dewa-Dewi Yunani di sepanjang jembatan masuk
Area yang katanya "Eropanya Taiwan" di sisi samping gedung utama
Halaman depan Chimei Museum tak luput dari narsisme kami
untuk mengabadikan momen awal "kebersamaan" (eaaa...)
Oke, kembali ke jalur utama, momentum santai sejenak kami ini menjadi amunisi pembakar semangat untuk menyusuri rel kereta menuju destinasi selanjutnya. Via stasiun Bao'an, kami harus berpisah dengan mas Metrim, yang selama di Chimei Museum sudah rela meluangkan waktunya untuk menemani kami berdua.

Masih ingat caption yang sempat (katanya) bikin baper beberapa orang?
Bahkan "mereka" PM aku setelah foto ini release di akun Instagram @ozhahernandha (promo tipis-tipis)
Oke, perjalanan terakhir kami berlanjut. Kami tiba di Kaohsiung Station tepat pukul 12.30, dan bertemu dengan gus Rosyid, salah satu partner perjalanan kami yang memang bilang akan menyusul di hari Minggu. Dari stasiun Kaohsiung, kami menumpang bus nomor 30A menuju NKUAS, untuk menemui beberapa orang yang sudah dihubungi oleh pak Tri sebelumnya, untuk sekali lagi bersilaturrahim dan berdiskusi menyambung semangat kolaborasi "Bersahabat dan Bermanfaat".

Sambutan hangat (lebih tepatnya panas) diberikan oleh patung-patung boneka lucu ini di NKUAS
Singkat cerita hari itu kami sempat bertemu dengan mas Jaka, mas Andi, mbak Riska, pak Farid, pak Sujito, dan juga bapak-bapak lainnya yang ternyata bukan hanya dari kalangan mahasiswa Indonesia, melainkan ada juga yang pekerja. Sungguh, pertemuan sore itu sangat berfaedah, karena selain sambang dulur mahasiswa Indonesia yang ada di Taiwan, kami juga berkesempatan untuk berbincang tentang banyak hal terkait Buruh Migran Indonesia (BMI), yang menjadi fokusan utama pak Tri di kepengurusan PPI Taiwan tahun ini, dengan bapak-bapak pekerja di sekitar Kaohsiung. Tak lupa kami juga mengunjungi, serta memberikan dukungan kepada Perpustakaan Berjalan milik kawan-kawan mahasiswa Indonesia di wilayah Kaohsiung dan sekitarnya. Terbukti, gus Rosyid pun tak ingin ketinggalan untuk memanfaatkan kesempatan menyumbangkan buku tulisannya kepada Perpustakaan Berjalan ini, Sufisme Kyai Cebolek.

Dari kiri ke kanan: Yusril (Shoufu Univ.), pak Tri, pak Farid, gus Rosyid, mas Jaka, dan aku 
Lucunya, di kesempatan diskusi sore itu ada sebuah pertemuan unik,

"Lha, mas-mas ini asalnya mana?" tanya pak Sujito kepada kami (kebetulan di hadapan beliau hanya ada pak Tri dan aku)
"Saya asli Mataram, Lombok, pak. Tapi domisili di Malang," jawab pak Tri.
"Kalau sampeyan, mas?"
"Saya Jawa Timur pak, Bojonegoro," sambarku.
"Lho? Sek sek, Bojonegoro-ne endi?"
"Dekat stasiun pak, ke selatan, desa Pacul," terangku, penasaran dengan pertanyaan lanjutan dari beliau.
"Ealaaah... (dengan diikuti sapaan akrab khas Jawa Timur), aku ki yo Jonegoro, mas! Wong Poh-mbaru (baca: Kepohbaru, adalah nama salah satu daerah di Bojonegoro, Jawa Timur)."

Dan percakapan pun semakin menghangat pasca itu. Sejauh apapun kita merantau, selalu saja ada kerabat yang ditemukan, entah kerabat sedarah, sekota, sedaerah, dan se-se yang lainnya.

Gambaran suasana cangkruk hangat sore itu
Kalau ini bincang asli serius, candid tanpa dibuat-buat,
karena mendengarkan penjelasan langsung tentang kondisi BMI di Taiwan dari pak Azis (paling kanan)
Dan tujuan perjalanan kami hari itu berakhir. Lalu selanjutnya? Tenang, masih ada satu cerita unik lagi kok. Jangan lelah membaca sampai akhir ya!

Senin, 3 April 2017
Seharusnya hari ini kami semua sudah berada di Taoyuan, tidur meringkuk di dormitory kami masing-masing. Tapi nampaknya agenda kami harus disambung ke dalam rangkaian plan C yang disusun mendadak. Dini hari di NCYU, Chiayi, adalah salah satu wilayah (kalau dari utara) yang posisinya berada setelah Taichung, sebelum Tainan.

"Selamat datang di desa Chiayi, mas." ujar mbak Zazak.

Memang suasana di daerah ini sangat sepi, terutama di sekitar NCYU kampus Minxiong. Bahkan dari stasiun Minxiong ke kampus tak ada satupun kendaraan umum yang melintas kecuali taksi (yang itu pun jarang).

"Oh, ternyata di Taiwan juga ada daerah yang 'lumayan' terpencil sepi seperti ini ya?" pikirku. Padahal memang menurut keterangan, lebih banyak lagi daerah-daerah yang lebih sepi daripada ini, contohnya: kampus CHU (Hsinchu) dan beberapa kampus-kampus daerah pegunungan/perbukitan lainnya, yang memang susah dijangkau kendaraan umum.

Di sini agenda kami tak banyak, hanya bersilaturrahim dengan kawan-kawan Chiayi yang kebetulan ingin mendirikan Perhimpunan Pelajar Indonesia, terutama di kampus NCYU. Bincang-bincang kami dilaksanakandari tengah malam (dari Minggu menuju Senin) sampai dini hari. Karena memang mayoritas cewek (ada mbak Zazak, mbak Euis, dan juga mbak Risa) jadi providing makanan saat kunjungan di sini sangat tak bisa dibandingkan dengan kampus lain. Dari mulai gorengan-gorengan handmade mereka sendiri sampai kudapan-kudapan mengenyangkan lain tersedia saat diskusi malam itu. Singkat cerita, kami juga bertemu dengan bang Jovan Sitinjak (koordinator mahasiswa Sumatera Utara yang ada di NCYU tahun lalu), salah satu Vlogger Indonesia yang sering membuat video-video unik tentang Study in Taiwan.
________________________________________
Oh iya, sedikit OOT ah, bang Jovan sedang mengikuti kompetisi video juga lho di bulan ini, jadi beliau ingin minta dukungan (vote) dari pembaca sekalian lewat link ini (klik aja 'link ini'-nya). Dan untuk cara vote-nya sebagai berikut:
(click to enlarge)

________________________________________

Pukul 12.00 siang, gus Rosyid, Yusril, dan aku, diantar menuju stasiun oleh mbak Risa dan mbak Zazak. Eh, pak Tri ke mana ya btw? Hihihi, beliau semalam harus melanjutkan perjalanan ke Taoyuan lebih dulu, rencananya akan melanjutkan misi "Perjalanan Persahabatan" ke arah utara. Jadi, beliau unofficially menitipkan kepadaku, Yusril, dan juga gus Rosyid untuk menghadiri diskusi di Chiayi kali ini.

Dari kiri ke kanan: Yusril, mbak Risa, aku, gus Rosyid, mbak Zazak

Dari kiri ke kanan: Yusril, bang Jovan, aku, gus Rosyid
Banyak hal yang menjadikan three day trip kali ini sangat amat melelahkan mengasyikan, karena memang benar "menyatukan mozaik-mozaik yang terpisah satu sama lain" untuk menjadikannya utuh bukanlah hal mudah. Perlu kerja keras luar biasa untuk melakukannya. Tapi meski demikian, SULIT BUKAN BERARTI TAK BISA DILAKUKAN bukan? Itulah yang sepertinya telah mampu menghapus lelah dari perjalanan singkat nan panjang kali ini. Jadi, pembelajaran macam apa yang akan terjadi selanjutnya? Stay tune di blog ini ya, guys, karena semangat positif (yang sedang berusaha kusebarkan) takkan pernah menjadi inspirasi tanpa kehadiaran kalian, para pembaca...

Terakhir, ada sebuah persembahan video singkat tentang "betapa cepatnya perjalanan pembelajaran kali ini", enjoy!!!


(harusnya) off the record story:
Jadi di perjalanan pulang, setelah kami (aku dan gus Rosyid) berpisah dengan Yusril di stasiun Chiayi, aku dibuat senyum sendiri oleh seorang cewek imut yang menempati satu gerbong kereta denganku.

"Excuse me," ujarnya.
"Oh, sure!" jawabku sambil melangkahkan kaki ke samping kanan, setelah menyadari bahwa aku menghalanginya untuk berjalan ke depan.
"Thank you, you're so kind," sambil tersenyum manis.

Bukan apa-apa, hanya saja entah mengapa selama perjalanan tiga hari ini aku baru menemukan orang yang memperhatikan kebaikan kecil dengan sebuah balasan pujian formal. Mungkin terdengar berlebihan, tapi dengan adanya ucapan itu menyiratkan dia sangat memperhatikan kebaikan orang lain sekecil apapun. Kagum? Jelas, karena selain manis, dia juga sopan dan ramah. Hihihi, untuk siapapun yang mungkin jealous, tenang ya! Di sini aku memosisikan diri setia, meski obyektif juga tetap harus kan?


Eh, ternyata foto si cewek nge-blur. Harap maklum ya, efek zoom terlalu besar.

EPILOG
Sebuah perjalanan tak akan pernah berarti tanpa tujuan, sama seperti sebuah amal baik yang dilakukan tanpa niat, juga akan sia-sia meskipun terhitung sebuah kebaikan. Tapi bukankah dengan berniat baik di awal saja sudah terhitung pahala? Lalu, apa jadinya jika niat baik itu terlaksana? Entahlah, biarkan perhitungan pahala dan kebaikan yang sudah kita tanam menjadi kalkulasi Allah SWT dalam memperberat timbangan kebaikan kita nantinya.

Wanna support???