Description

"Who you are, depends on what do you think about GOD and yourself."

#KotakAjaib
Copy-Paste boleh, asal cerdas! Jangan lupa cantumkan sumbernya ya...
http://tanpa-inspirasi.blogspot.com/

Friday, November 25, 2016

RANDOM WALK THEORY (bukan materi Kinetics of Materials)

(5 teori "random" yang tercetus dari seorang pemuda perantau pencari seteguk ilmu pengobat dahaga kebodohan di negeri orang yang sedang "berjalan" di tengah dinginnya malam bulan November)


PROLOG
Catatan ini sifatnya universal. Kalau baca nggak boleh baper (read: bawa perasaan). Anggap saja catatan absurd seorang hamba Allah SWT yang sedang (nyaris) putus asa, tapi berhasil eling dengan penciptanya.

Akan ada saatnya di mana suatu kesedihan akan hinggap. Bukan karena kegagalan atau juga ketidak mampuan untuk berbuat sesuatu, akan tetapi disebabkan oleh ketidak berdayaan untuk sepenuhnya menghamba pada-Nya. Banyak yang bilang bahwa dosa itu akan tampak saat kita menerima hukuman/azab/ada yang menyebut dengan bahasa halusnya 'cobaan berupa hal buruk'. Dan untuk menghapus kesialan tersebut, satu-satunya cara adalah bertaubat.

Benarkah demikian?

Mungkin juga benar, karena urusan keyakinan tak pernah bisa dipaksakan. Yang pasti aku merasakanannya, sekarang. Entah mengapa di kota orang, eh di negeri orang selalu menawarkan pesonanya tersendiri. Pesona berpetualang, menemukan hal baru, dan mengumpulkan networking baru pastilah tak terelakkan untuk ditaklukkan. Ya, begitu pula aku, aku menganggapnya demikian sebelum hijrahku ke negeri Formosa.
Tiga bulan lalu perut ini masih buncit, pipi ini masih tembem, dan rambut ini masih belum sepanjang ini, dan lagi: betis ini belum sebesar talas Bogor. Ya, dalam kurun waktu tiga bulan saja, lima kilogram bobot ini sudah tersedot sedemikian rupa (meski masih tetap buncit), tak nampak memang, karena memang pada dasarnya aku berpostur sedikit lebar.

Ada apakah gerangan?

Tak banyak yang bisa kuceritakan sekarang, hanya teaser saja mungkin. Intinya adalah:

Jangan pernah "salah niat" ketika ingin berpetualang ke negara lain. Menuntut ilmu? Sudahlah, niatkan itu untuk beribadah, menambah pengalaman, sekaligus menambah pembelajaran. Cukup! Jangan ada ekspektasi lebih, seperti "kemudahan dan keringanan dalam segala urusan, juga banyak kesempatan hura-hura" (ini maksudku salah niat). Karena apa? Di luar zona nyamanmu, bahkan jauh dari zona nyamanmu sebelumnya, tak akan pernah mudah menemukan zona nyaman yang baru. Pundakmu akan jauh dikuatkan olehNya dengan bermacam cobaan dan beban bertubi-tubi dan bertambah tanpa tedeng aling-aling.

Itu yang pertama, tentang beban dan tanggung jawab.

Hello, 您好, Hai, dan segala macam sapaan lainnya, bukanlah wujud sepenuhnya perhatian atau keinginan ingin menyapa. Mengapa demikian? Karena bisa jadi ini adalah awalan dari segala macam "kebutuhan", yang nantinya akan menjadi beban tambahan dan tanggung jawab "moral" tersendiri jika tak mampu kau lakukan sepenuh hati. Meski dalam hal bertualang kita pantang berburuk sangka, wajib hukumnya selalu berpositif thinking. Tapi satu hal lagi yang perlu diingat, TAK SEMUA ORANG BISA DIPERCAYA. Bahkan terkadang senyuman pun menyimpan tikaman tajam yang siap menghunjam kesadaran dan keseimbangan hidup kita, di perantauan.

Yang kedua, ini membicarakan tentang senyum dan ketulusan, serta kepercayaan yang kadang menjebak.

Tangis, sedih, tetesan air mata, dengan mudah kita simpan dengan keangkuhan dan kepercayaan diri. Ya, itu di sana, di negeri asal kita, negeri antah berantah yang mungkin sedang kau huni sekarang. Tapi di negeri orang, jangan coba-coba melakukan hal itu. Karena apa? Dijamin hanya akan menyiksa diri dan membuat waktu tidur dan memejamkan mata terasa tak nyenyak. Ingin menangis? Pulanglah ke shelter/dormitory/kosan atau apapun itu, gelar sajadah, pakai sarung, shalat-lah, dan jangan lupakan Qur'an (atau apapun kitab sucimu, bacalah)! Dijamin tangismu berpahala. GARIS BESARNYA: di perantauan tak akan pernah ada waktu untuk menyimpan duka dariNya, lewat tangisan.

Ini kurasa jelas, terpancar bukan pada siapapun selain aku sendiri. Yang ketiga ini tentang melunaknya hati dan kedekatan jiwa padaNya.

Penundaan berujung petaka, ya PETAKA! Mungkin sedikit nyambung dengan pengantar di atas, KESEDIHAN yang hinggap bukan akibat kegagalan atau juga ketidak mampuan untuk berbuat sesuatu, akan tetapi disebabkan oleh ketidak berdayaan untuk sepenuhnya menghamba pada-Nya. Mengapa demikian? Jelas, aktivitas apapun jika ditunda tak akan berujung baik. Paham kan, mengapa banyak cerita seorang pria gagal menikahi gadis pujaan hatinya ketika ternyata ditikung lebih dulu oleh pria lain yang lebih siap dan sigap untuk melamar sang gadis? Itu salah satu contoh saja sih, please, jangan baper!

“Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu: ‘Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi, (QS. 18:23) kecuali (dengan menyebut): ‘Insha Allah’ Dan ingatlah kepada Rabbmu jika kamu lupa dan katakanlah: ‘Mudah-mudahan Rabbku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini.’” (QS. 18:24)

Aku tak mau terlalu menafsirkan ayat ini, karena memang bukan porsinya aku menafsirkan. Toh ilmu juga masih cetek. Monggo dibaca saja sendiri!!! Intinya yang aku coba pahami adalah: jangan coba-coba menunda apapun, kecuali dengan mengucap "InshaAllah". Karena efek penundaan itu kita tak akan pernah tahu seperti apa, hanya Allah SWT yang berhak ber"kun faa ya kun".

Dan apa yang terjadi padaku (dan kawan-kawan seperjuangan) pada efek penundaan sangatlah besar, sampai berimbas pasa kelangsungan "hidup" kami di sini. Dan inilah pesan keempatnya.

The last message is: Menjaga kepercayaan itu susah, karena itu jangan pernah coba-coba menjadi orang yang mudah tidak dipercaya. Karena kepercayaan di perantauan adalah tongkat penuntun yang akan menunjukkan bagaimana kondisi kita saat kita tiba di tujuan. Bisa jadi jika tongkat yang kita bawa rapuh, belum tiba di tujuan kita sudah roboh, karena tongkatnya patah duluan.

Jadi, yang kelima ini adalah: JAGA KEPERCAYAAN SEPERTI KAU MENJAGA SHOLAT LIMA WAKTU (bagi yang melaksanakannya), bagi yang tidak melaksanakannya, buatlah perumpamaan sendiri.

EPILOG
Yuk diingat lagi, apa aja dosa yang pernah kita buat! Agar apa? Agar kita mudah meminta maaf, dan terhindar dari "hukuman/azab/ada yang menyebut dengan bahasa halusnya 'cobaan berupa hal buruk'" seperti yang aku sebutkan di baris-baris teratas tulisan ini. Dan lagi, buat para calon perantau: catat lima pesan di atas ya, barangkali butuh. Kalau sekiranya nggak butuh ya abaikan saja, aku akan kembalikan beberapa menitmu yang tak berguna karena membaca tulisan ini. Caranya? Tutup blog ini, lalu baca kitab suci masing-masing, inshaAllah akan kembali lagi kok kemanfaatan yang sempat terbuang sebelumnya (jika kau merasa demikian).
Terima kasih telah mau meluangkan waktu untuk membaca...

Thursday, November 17, 2016

Kalau HOMOGEN namanya bukan INDONESIA

PROLOG
Dua malam ini gigi sedang tidak bersahabat. Nyeri sana sini menyebabkan menelan ludah sendiri pun rasanya tersakiti. Geraham yang tumbuh menandakan kedewasaan, tapi kalau sakit begini siapa yang tahan, toh air mata akhirnya keluar tak berhenti, karena memang sedang sendiri di sudut kamar dormitory.

Prolognya melankolis sekali tampaknya ya, sudahlah lupakan saja. Biar saya saja yang merasakannya, kalian tak usah. Cukup baca saja tulisan ini, mungkin saja bermanfaat untuk penghilang waktu nganggur yang (mungkin) sia-sia, atau sekedar pengganti dari kecanduan film-film dewasa.
Kali ini saya hadir lagi bukan ingin memberi petuah seperti di posting sebelumnya tentang Yuk! Jadi Netizen yang Dewasa. Saya rasa pasca posting itu rilis kalian semua sudah pada dewasa dan tercerahkan. Melihat perkembangan timeline dunia maya di dinas sosial media sosial apapun kemarin, rasanya sedih gitu. Perpecahan dan segala macam perporosan terjadi di mana-mana. Nggak di tataran pilkada ibukota, nggak di pemira mantan kampus tercinta, semua sedang diuji dengan perkubuan dan juga fitnah para buzzer serta anonim tak bernyali yang cuma berani muncul tanpa identitas asli. Nah, untuk sedikit beralih ke topik santai, maka tulisan kali ini saya hanya sedikit berbagi tentang bagaimana indahnya Indonesia di luar sini.

Zhongli-Taiwan, Enam Belas November 2016
Sejak malam sebelumnya telah ada woro-woro dari pengurus PPI NCU untuk meramaikan pelaksanaan opening ceremony dari NCU Sports Day 2016. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, di sinilah saatnya perwakilan Indonesia kembali menunjukkan pawai budaya (setelah ICD di paruh pertama 2016 beberapa bulan lalu). Jam enam pagi para main talent telah berkumpul di GFM dormitory untuk bersiap menjajal kostum dan memoles wajah dengan make up. Di obrolan kecil sebelumnya ada desas desus bahwa tema kali ini Mahabharata, di mana akan ada peran Rama, Shinta, Rahwana, Hanoman, Burung, dan juga pasangan adat Bali. Dan ternyata benar adanya, pagi itu aku yang datang belakangan akhirnya bergabung untuk membantu memasangkan property para main talent yang akan berjalan paling depan di barisan.
Oke, tahap persiapan selesai sebelum pukul 07.30 waktu Taiwan. Ditutup dengan sarapan roti isi selai yang dibawakan oleh mbak supervisor katering mbak Watik Aprillia, juga foto bersama.

Ada yang tahu kami semua ini sudah mandi atau belum?
Dan kami melanjutkan perjalanan ke barat mencari kitab suci depan kantor OIA NCU tepat pada pukul 07.30. Menunggu jemputan dari Amber Xiao pihak NCU Student Ambassador, sambil sesekali berfoto ria saat ada mahasiswa Indonesia lain yang datang menggunakan baju kebesaran kami semua, batik aneka motif dan warna, ada juga yang pakai kebaya ala-ala.

Main talent full team

Saat kami mulai rame, dan sok candid tak ada arahan khusus untuk bergaya
Tampaknya rundown pembukaannya sedikit molor, hingga hampir pukul 09.00 kami baru dipersilakan jalan oleh NCU Student Ambassador yang menjadi pendamping kami. Berjalan dua banjar menuju jogging track diwarnai dengan tawa dan sesekali jepret sana sini. Hingga sekali lagi kami harus berhenti dan menunggu rombongan lain dari berbagai departemen di NCU. Benar kata salah seorang kawan, bahwa di atmosfer seperti ini biasanya kalau di ITS diwarnai dengan show off dan kemunculan arogansi jurusan masing-masing dengan bendera dan atribut-atribut khas ITS banget. Sebenarnya tak jauh berbeda, hanya saja di sini lebih sepi karena tak ada adu mars juga vivat kebanggaan masing-masing ormawa.

Sebelum nyanyi Indonesia Raya (eh, atau setelahnya ya?)
Entah ini inisiatif datangnya dari bisikan sebelah mana, akhirnya kami menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, sembari menunggu giliran memasuki area parade. Nah di sini menurutku klimaksnya, entah dibilang lebay, alay atau metal (mellow total) terserah, tapi beda memang rasanya menyanyikan lagu kebangsaan sendiri di tanah orang, jauh dari peradaban dan minim populasi bangsa sendiri. Apalagi kami sedang mengenakan pakaian adat, atribut budaya, dan juga pakaian kebesaran kami (batik), sungguh mengharukan bahwa kami sangat amat beragam dan kaya akan budaya. Yang memang tak akan pernah bisa sama, karena INDAH dan BERWARNA tak pernah dieja dengan H-O-M-O-G-E-N. Here we are, the diverse country, Indonesia.

Sampai akhirnya, nama Indonesia diteriakkan oleh MC, sebagai 印尼(Yìnní), yang berarti "Indonesia". Kami berjalan memasuki jogging track sambil menerima tepuk tangan dari beberapa orang di sana. Entah karena unik atau apa, yang pasti suasananya cukup meriah.

Barisan rombongan kami dari depan

Penampakan Rama dan Shinta serta pasangan Bali

Penampakan Rahwana

Rombongan kami tampak samping

Batik and kebaya is our pride
Panas sih, tapi temperatur 26 derajat Celcius kala itu tak terasa sepanas kota Surabaya biasanya lah ya, menurutku. Pembukaan berlangsung tak lama, hanya sampai pukul 10.15 saja akhirnya sesi opening ceremony berakhir dengan dimulainya perlombaan pertama saat itu, lari dan tarik tambang.

Sudah? Hanya itu?

Eits, tunggu dulu, bukan kami rasanya kalau tak berfoto bersama full team (meski nggak full-full banget sih).
Pose pertama

Pose selanjutnya, terserah lah ya!!!
BONUS: Penampakan lima pemuda dengan pakaian adat Jawa.
Hayooo... mau pilih yang mana??
Akhir kata, tak ada penutup puitis yang akan saya tampilkan di tulisan kali ini, karena kalau anda-anda peka sebenarnya pesan saya sudah tersurat dan juga terungkap secara implisit di beberapa kalimat di atas. Intinya: INDONESIA ITU RAMAH, INDONESIA ITU UNIK, INDONESIA ITU KITA, jadi jangan kotori dengan berita-berita negatif tentang apapun ya!!!

EPILOG
Penutupnya video saja ya, apa daya penulisnya sedang malas memberikan penutup, wong nulis ini aja sambil tengkurep di kasur dan mendesis sesekali menahan nyerinya gigi.

Lagu pengiring video: Indonesia Raya & Zenzenzen by Radwimps (soundtrack film yang pernah saya review sebelumnya: Kimi No Na Wa)

Saturday, November 5, 2016

Yuk Jadi Netizen yang Dewasa!

PROLOG
Banyak orang yang sebelumnya memilih diam dan tak mencuit via sosmednya masing-masing tentang sesuatu, tiba tiba nulis dan pernyataannya selalu sejenis, "sebenernya sih aku nggak pengen ngomen ginian..." atau "seharusnya bukan kapasitasku untuk mengetik tulisan gini, tapi kebenaran harus disuarakan..." atau juga "duh gatel ini tangan, padahal udah nahan sejak lama nggak bakal nulis tentang ini itu..." dan segala macam bentuk tulisan yang sama bentuknya. Lalu apa maksudmu dengan prolog seperti ini?

Tenang saudara-saudara, saya tak akan mencibir atau mencuitkan sesuatu yang memang sudah jadi kodrat manusia, bahwa mereka makhluk sosial, yang secara implisit berhak bersosial media untuk menyatakan pendapatnya tentang sesuatu. Toh, nggak mungkin dong kita melarang hak asasi orang yang jelas tertuang di Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945? Karena memang kita manusia beradab dan bernegara yang tak boleh saling melanggar HAM dengan melarang pengutaraan pendapat. Meski mengingatkan untuk mengontrol pendapat juga harus dilakukan, demi "maslahat" dan harmonisasi, bukan justru menambah "masalah" seperti yang sering kita lakukan.

Jadi bahasan saya kali ini tak begitu penting sebenarnya.
Bisa dianggap demikian bagi para penganut bad news is a good news. Tapi bagi saya yang notabene punya 'sedikit' background di bidang Media dan Informasi, serta sejenak 'pernah nyemplung dan berendam tak begitu lama' di dunia jurnalistik kampus, dan mungkin juga kaum-kaum sejenis saya, hal seperti ini bukan hal tidak penting. Apalagi bagi manusia-manusia idealis yang pernah nyicipin dunia tulis-menulis/jurnalistik/pers (lumayan) formal, bukan cuma dunia tulis menulis 'ala-ala' yang jadi panutan jamaah sosmediyah biasa lho ya. Jadi gini lho rek, akhir-akhir ini kan di sosial media banyak sekali tulisan-tulisan, komentar-komentar, bahkan cuitan-cuitan (yang beberapa orang juga menyebut dengan: sudut pandang Drone Manuk-Emprit), yang bertema kontroversial sesuai kondisi kekinian, bahkan ada yang sampai berbau konfrontasi pada kaum dan pihak tertentu. Iya apa iya? Hehehe...
Kamu pasti juga merasakannya kan? Bahkan sampai risih juga, dan pada akhirnya berujung "aku kok geregetan pisan sih melihat bla bla bla bla" dan berujung jadi orang yang digeregetin orang lain juga karena bla bla bla mu juga mengandung hal-hal yang kamu geregetkan. Hayoloh, muter-muter deh akhirnya, dan nanti kalau debat pas ketemu berujung ke circular reasoning.

NB: Untuk istilah yang saya gunakan di tulisan kali ini kebanyakan dari mana, cari aja sendiri lah ya, udah gede, udah bisa tracing sendiri mana sumber-sumber yang harus ditelusuri atau dibiarkan begitu saja (duh, kan bahasanya belibet udah kaya review jurnal).

Sebenarnya hal-hal semacam mangkel, geregetan, gemas, dan bahkan juga sebal (bisa ditafsirkan 'benci' juga kadang-kadang oleh orang-orang yang kelewat baper) itu nggak perlu terjadi lho. Karena sejak awal perbedaan pendapat itu jelas ada. Ini pandangan secara umum lho ya, jangan terus melihat saya dari sudut pandang, "wah iki pasti jamaah CARIAMANiyah" (atau bahasa keren logical fallacy-nya: Middle Ground) dan semacamnya karena men-generalisir segala sesuatu dengan memainkan peran 'cari aman' dan jalan tengah (wes, iki koyok maba ae di-judge cari aman).
Ngene lho rek, sesekali coba deh, ketika membaca pesan-pesan dan berita unik yang beredar, matikan indera pengais informasimu sejenak (read: hape, laptop, pager, HT, dan semacamnya), lalu mainlah yang agak jauh dari tempatmu sekarang. Pergilah sejenak, kenal lah orang-orang baru, serap segala macam sudut pandang baru (tapi idealisme dan prinsipmu wajib masih dibawa lho ya, jangan sampai tergadai duluan sebelum kamu kembali nanti), dan setelah beberapa lama kembalilah. Buka lagi indera pengais informasimu yang mati tadi. Baca dengan seksama apa yang kamu baca sebelumnya, sama kah rasanya? Menurut opini saya, tak mungkin sama. Karena apa? Ada proses yang bertambah di dalam kehidupan kamu, kamus sudah "main cukup jauh dan pulang cukup malam" (kalau kata anak-anak kekinian). Otomatis kamu punya banyak wawasan baru yang lebih bisa memberikan pandangan logis tentang apa yang kamu baca, lihat, dengar, dan jilat (read: rasakan). Dan sifat-sifat sumbu pendek dengan asal share dengan komentar-komentar menggeregetkan pun tak akan terjadi padamu. Tapi beda sih, kalau prinsipmu masih bad news is good news.

Lalu bagaimana jika kaum saya disindir? Atau ras etnis saya yang dicuitkan?

Lhoalaaah (sambil tebas dada), sindirannya kamu benarkan nggak? Atau apa yang dituduhkan itu benar demikian di kaum atau ras kamu nggak? Kalau benar, ya sudah diam saja, kamu tak berhak marah, karena memang benar adanya. Tak perlu cari-cari alasan sampai menghasilkan social media-war atau semacamnya. Tapi jika sindiran/opininya salah, bela kaummu! Etnismu! Rasmu! Perjuangkan mati-matian tentang kebenaran yang kamu ketahui, tapi jangan cuma "berkoar negatif" (atau kalau bahasa anak gaul sekarang jadi: sakit pantat--butthurt) lewat komen dan posting balasan. Sungguh, sama sekali tidak elegan gitu lho.

Kalau mau elegan gimana?

Bikin aja tulisan yang santun, yang bagus, dengan bahasa-bahasa yang sopan dan lemah lembut, ingatkan si penyindir dan pencuit, kalau bisa secara langsung layangkan ke beliau secara pribadi.

Lha nek ga digubris?

Lakukan berulang-ulang, toh gak mungkin kan bebal terus-terusan? Orang juga ada mikirnya, kan kodrat manusia emang disuruh mikir.

Kalau itu sudah dilalui tapi tetap tak sampai juga pendapat kita ke beliaunya? Atau beliaunya nggak berubah dan tetap bebal?

Ya sudah, kalau memang salah beliau berat dan akan menimbulkan mudharat yang tak sedikit, bergeraklah sesuai ranahnya. Kan sosial media sekarang dilindungi Undang-undang ITE? Kumpulkan bukti, berikan argumen konkret, layangkan gugatan! Biarkan yang berwenang yang bergerak. Eits, tapi tunggu dulu, saya di sini tak memberi saran bagi yang sudah bebal dan sakit pantat duluan ya, contohnya orang yang demikian adalah yang selalu mencari celah: "yang berwenang lho bisa disogok", "undang-undangnya lho masih cacat", dsb dsb... Lha maumu apa le, nduk? Kamu manusia bernegara kan ya? Ya sudah, itu yang bisa dilakukan ikhtiarnya. Urusan faktor-faktor X yang uncontrollable sama kita ya sudah biarkan Allah SWT yang atur. Beres.

Uenake cocotmu nek ngomong beras beres rebes raimu!

Hahaha, yakin saya, pasti banyak yang mikir demikian saat baca tulisan ini. Kan haters gonna hate adalah kenyataan, ya tho? Tapi setidaknya apa yang saya sarankan demikian sudah saya upayakan untuk terlaksana. Dan inshaAllah selalu saya introspeksi ke diri saya sendiri untuk tak jadi sumbu pendek. Setidaknya jika tak bisa jadi pengurai masalah, jangan jadi "tukang memperkeruh masalah", itu prinsip yang saya pegang. Dan dalam hal pemanfaatan media, saya rasa itulah hal yang paling bijak dilakukan. Mau alasannya apapun, sangat pengecut jika hanya berani mencuit di sosial media tapi tak bergerak secara langsung untuk menguraikan masalah. Apalagi akun sosial mediamu cuma digunakan sebagai penyebar opini yang bikin geregetan orang lain, yang justru pada awalnya kamu sendiri nulis itu karena juga geregetan dengan orang lain. Lha lak terus-terusan nyebar greget, wes koyok meme Maddog nang The Raid ae...
Bayangkan sudah berapa banyak aura negatif yang tersebar jika gregetan jariyah tadi tersebar di 5000 teman/followers facebo*k, twitt*r, pa*h, instag*am, atau apapun itu? Dan berapa banyak energi yang telah dihabiskan untuk sekedar mengobati "mata rantai" gregetan tadi agar bisa ter-recovery lagi seperti sediakala? Buanyak lho pastinya...

Makanya itu rek, please lah! Berhenti menyebar posting-posting dengan aura negatif. Kalau mau menanggapi, tanggapi yang baik, bahasa yang sopan, halus, dan penuh penghayatan serta pemikiran panjang. Masa' aw*arin/an*a geral*ine/selebgram (yang dianggap sebagai penyebar pengaruh negatif) aja yang disuruh bertanggung jawab dengan postingannya, tapi kita sendiri merasa benar dengan apa yang kita lakukan, padahal sebenarnya ngga beda jauh sama mereka tadi, meski kita mengkritik dia. Sudahlah, jaman ini bukan lagi era MEDIA biasa, melainkan era CERDAS MENELAAH INFORMASI dengan MEDIA!

Mengutip dari posting di facebo*k saya beberapa waktu lalu,

(Dalam bersosial media) mari saling mengingatkan, saling menghargai, dan saling menghormati satu sama lain (tentunya dengan santun dan beradab). Jangan jadi manusia korek api ya, apalagi insan bersumbu pendek. Karena manusia tempatnya salah dan lupa, salah itu pasti ada, yang buruk adalah mencari-cari kesalahan yang diada-adakan. "Mari adil sejak dalam pikiran", kalau kata suhu Pramoedia A. T. "Karena orang SOK TAU itu suka banget MEMBUAT STANDAR GANDA bagi ORANG LAIN (mengkritik dan mencaci), dan orang SOK TUA itu paling suka MEMBUAT STANDAR GANDA bagi DIRINYA SENDIRI (membela diri)." Dan kalau udah dua-duanya? Segera istighfar dan mohon ampun sama Tuhanmu, barangkali "switch on off" introspeksimu sedang korslet.

Jadi jangan jadi orang yang merasa benar sendiri ya, yuk sama-sama memperbaiki diri, bijak dalam menyikapi segala hal, juga tak lupa mengingatkan orang lain (sekali lagi, dengan santun dan beradab) jika mereka khilaf dan lalai.

Indonesia bisa kok jadi lebih baik, jangan pernah malu jadi INDONESIA ya, apalagi sampai menempelkan segala hal negatif dengan komentar "pasti gitu, kan Indonesia...". Padahal kita tak sadar bahwa dengan berkomentar demikian, kita juga merendahkan diri kita sendiri. Ingat KTP-mu masih diurus di kecamatan yang tanahnya punya Indonesia lho, atau juga: paspormu lho masih gambar Garuda Pancasila, nggak usah lah sok memandang rendah negerimu sendiri. Wong Indonesia lho potensinya besar banget, cuma kita aja yang belum sadar dan belum memanfaatkannya dengan optimal, dalam hal apapun. Malah keduluan penjajah modern dengan penanaman modal besar mereka untuk mengeruk kekayaan kita (baik kekayaan SDA, SDM, maupun paham-paham unik yang cuma Indonesia poenya).

EPILOG
Wes rek, lerenono twit-warmu, comment-warmu, karena menulis tak pernah sebercanda itu. Perlu banyak pertimbangan matang dari mulai latar belakang, konten (isinya), sampai closing kesimpulannya. Dan yang lebih ekstrem lagi adalah: pertimbangan tentang siapa pembacanya dan efek apa yang akan timbul setelahnya. Karena memanfaatkan media dan informasi tak pernah sebercanda itu juga. Banyak lah meme-meme yang bilang kalau "benci sama postingan di sosmed itu lumrah, tapi kamu gak berhak mengatur mereka, karena ini media sosial bukan dinas sosial", tapi apa itu bener? Jangan bandwagon, please! Kita memang tak bisa mengatur orang lain, tapi bisa dong tak mengikuti jejak buruk mereka sebagai penebar aura negatif?

Wednesday, November 2, 2016

Ruang Sendiri

PROLOG
Dua puluh satu derajat, ini dalam satuan Celcius, setidaknya itu yang tampak dari weather forecast di layar smartphone miliknya. Seorang pemuda berjalan di tengah terpaan angin sepoi ganas bulan Oktober, yang akan berganti menjadi November beberapa jam lagi. Saat ini mungkin Taiwan tengah menghadapi penghujung musim gugurnya. Ya, penghujung musim "terbuka" dan "serba pendek"-nya, akibat sisa summer sebelumnya.

Hari ini hari sibuk, seperti biasa Senin bagi mahasiswa tahun pertama selalu demikian. Meski tak seluruhnya, setidaknya pemuda itu mengalaminya. Dua mata kuliah di akhir bulan ini seringkali memberikan strike di tiap pekan. Apalagi kalau bukan Kinetics of Materials dan Chinese Speaking and Listening course (zero grade). Bagaimana tidak hampir setiap dua minggu keduanya sama-sama kuis, sama-sama ujian. Tapi beruntunglah hari ini hanya Kinetics yang menancapkan kuku tajamnya di awal hari, Midterm for 1st Chapter. Susah? Jelas, banyak cacing berkeliaran, banyak derivatif dan simbol sigma bertebaran. Menyerah? Jangan! Karena stagnasi berarti mati. Ikhtiar must go on katanya.

Cerita kali ini bukan itu kok klimaksnya, itu tadi mungkin hanya perpanjangan prolog yang kependekan. Meski tak sependek hotpants yang dikenakan mahasiswi sini setiap harinya. Kisah menariknya ada di pascanya, ya pasca kelas Chinese. Sembari menunggu katering yang setiap Senin selalu membantunya mempertahankan amunisi bahan makanan dalam kulkas asrama hingga Rabu nanti, dia sendirian di kamarnya. Mengetik, dan meng-edit beberapa slide untuk presentasi pekan depan, sebelum dikirimkan pada profesornya. Pikirannya terkonsentrasi pada layar laptop dan isi dari slide-slide di hadapannya. Hingga akhirnya dia...

JENUH

Pukul tujuh lewat tiga puluh dia pergi mengenakan hoodie hijau semata wayangnya (yang ia bawa dari tanah air) dipadu dengan training gelap Character Building yang menurutnya mampu menghangatkan alat gerak bagian bawahnya, dia melangkah keluar menuju jalan utama di dekat gedung Kwoh-Ting Library and Archives. Masih diterpa dinginnya angin malam, dia menanti balok berjalan bernomor 132 berhenti di depannya. Sengaja skip cerita riweuh tentang bagaimana mekanisme membawa makanan dari G14 hingga tersimpan rapi dalam kulkas asrama (read: dormitory). Pikirannya JENUH tak karuan, berharap escape plan-nya malam itu tak gagal dan berjalan lancar, tanpa bertemu siapapun, dan terkendala apapun. Karena sejatinya serigala kesepian dalam dirinya sedang bangkit malam ini. Di dalam bis, dia duduk di samping seorang gadis manis dengan headphone warna merah fanta, sayangnya dia tak bisa berbahasa Inggris secara aktif ketika diajak berkenalan. Bukan bermaksud genit atau laler (istilah lain dari tukang gombal dan sepik sana sini), melainkan hanya ingin sedikit mencairkan suasana beku pikiran malam itu sepanjang jalan.

HENING

Sepanjang jalan menuju terminal bus yang biasa disinggahi, Zhongli Station, pemuda itu sama sekali tak melirik lagi si gadis manis. Karena memang dia telah tenggelam jauh dalam pikirannya sendiri. Sampai akhirnya dia turun...

BERJALAN TANPA ARAH

Langkahnya lunglai, hanya memperhatikan sekeliling, kelap kelip lampu, juga orang-orang di sekelilingnya. Lima belas menit berjalan, setelah sejenak menikmati takoyaki di pojok jalan dekat stasiun, kakinya berhenti di depan sebuah jalan kecil dengan pertokoan yang berjajar di kanan kirinya. Hanya berdiri mematung dengan segala pikiran yang berkecamuk di otaknya.

Dari mulai berpikir tentang bagaimana asal muasal area tersebut tercipta hingga berpikir bagaimana bisa orang-orang di sini tak malu untuk berciuman di depan umum tanpa tedeng aling-aling. Absurd bukan? Ya, memang...
Tapi ada hal lain yang menenangkannya selain pemikiran-pemikiran absurd macam itu, apalagi sesaat setelah ada salah seorang anak laki-laki lumpuh dengan kursi rodanya melintas di depan pemuda itu. Matanya menerawang jauh pada anak-anak lain di depannya, juga depan pemuda itu, berlarian saling kejar satu sama lain. Seketika pedih dan JENUH yang ia rasakan...

HILANG

Pemuda itu mulai tak tahan berada di sana, ingin rasanya memegang smartphone dan mengabadikannya, untuk dijadikan tulisan di malam selanjutnya. Tapi matanya tak kuasa untuk menitikan air mata. JENUH-nya malam itu, terhapus dengan...

TANGIS

dan rasa syukur kepada-Nya. Tak lagi ada rasa jenuh mengganjal di pikirannya. Yang tertinggal hanya memori anak dengan kursi roda, yang membuatnya berpikir tak pantas dia JENUH dan...

MENGELUH

atas apa yang terjadi pada proses adaptasinya di negeri Formosa. Rasa berat terasa ringan saat itu juga, menyaksikan betapa beban berat orang lain, yang mungkin jika dialami sendiri, tak akan pernah bisa ia bayangkan seperti apa rasanya. Rasa JENUH pun hilang seketika...

SENYUM

Malam ini, pemuda penyendiri itu kembali tersenyum. Bahkan usahanya untuk sampai di titik ini, saat ini, adalah hal yang wajib diapresiasi, minimal oleh dirinya sendiri. Lalu, apa gunanya merasa JENUH dengan apa yang telah terjadi? Hanya maaf yang mampu tergambar dalam hati, karena untuk mencurahkan segala hal getir (yang terjadi) pada kedua orang tuanya pun dia tak mampu, apalagi pada orang lain. Tak perlu, itu hanya akan menyakiti dan menjadikan beban pikiran mereka. Biarlah pemuda itu berkembang sendiri untuk menemukan jalan dan sudut pandangnya sendiri. Tentang dunia baru yang sedang dihadapi.

KUAT

Bahkan, lelah yang hadir pun dia biarkan menguap malam itu, kakinya melangkah lagi. Dengan kekuatan baru, dan juga harapan yang berbeda dari sebelumnya. Bahwa JENUH dalam hidupnya harus terbakar menjadi semangat, yang lebih menyala dari sebelumnya. Hingga nantinya KUAT tak lagi ia rasakan sebagai sesuatu yang harus diperjuangkan untuk bertahan dan berkembang. Karena KUAT adalah hal yang ada dalam dirinya, yang harus dibangunkan ketika (mungkin) tertidur dan terlelap.

EPILOG
Jika mungkin kebanyakan orang menemukan keKUATan dari keramaian dan semangat dari orang lain, maka tolong, jangan anggap aneh siapapun yang justru akan menjadi KUAT ketika dia sejenak menyendiri dan tak berinteraksi dengan siapapun. Because lone wolf mind is real...

Wanna support???