Description

"Who you are, depends on what do you think about GOD and yourself."

#KotakAjaib
Copy-Paste boleh, asal cerdas! Jangan lupa cantumkan sumbernya ya...
http://tanpa-inspirasi.blogspot.com/

Saturday, November 5, 2016

Yuk Jadi Netizen yang Dewasa!

PROLOG
Banyak orang yang sebelumnya memilih diam dan tak mencuit via sosmednya masing-masing tentang sesuatu, tiba tiba nulis dan pernyataannya selalu sejenis, "sebenernya sih aku nggak pengen ngomen ginian..." atau "seharusnya bukan kapasitasku untuk mengetik tulisan gini, tapi kebenaran harus disuarakan..." atau juga "duh gatel ini tangan, padahal udah nahan sejak lama nggak bakal nulis tentang ini itu..." dan segala macam bentuk tulisan yang sama bentuknya. Lalu apa maksudmu dengan prolog seperti ini?

Tenang saudara-saudara, saya tak akan mencibir atau mencuitkan sesuatu yang memang sudah jadi kodrat manusia, bahwa mereka makhluk sosial, yang secara implisit berhak bersosial media untuk menyatakan pendapatnya tentang sesuatu. Toh, nggak mungkin dong kita melarang hak asasi orang yang jelas tertuang di Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945? Karena memang kita manusia beradab dan bernegara yang tak boleh saling melanggar HAM dengan melarang pengutaraan pendapat. Meski mengingatkan untuk mengontrol pendapat juga harus dilakukan, demi "maslahat" dan harmonisasi, bukan justru menambah "masalah" seperti yang sering kita lakukan.

Jadi bahasan saya kali ini tak begitu penting sebenarnya.
Bisa dianggap demikian bagi para penganut bad news is a good news. Tapi bagi saya yang notabene punya 'sedikit' background di bidang Media dan Informasi, serta sejenak 'pernah nyemplung dan berendam tak begitu lama' di dunia jurnalistik kampus, dan mungkin juga kaum-kaum sejenis saya, hal seperti ini bukan hal tidak penting. Apalagi bagi manusia-manusia idealis yang pernah nyicipin dunia tulis-menulis/jurnalistik/pers (lumayan) formal, bukan cuma dunia tulis menulis 'ala-ala' yang jadi panutan jamaah sosmediyah biasa lho ya. Jadi gini lho rek, akhir-akhir ini kan di sosial media banyak sekali tulisan-tulisan, komentar-komentar, bahkan cuitan-cuitan (yang beberapa orang juga menyebut dengan: sudut pandang Drone Manuk-Emprit), yang bertema kontroversial sesuai kondisi kekinian, bahkan ada yang sampai berbau konfrontasi pada kaum dan pihak tertentu. Iya apa iya? Hehehe...
Kamu pasti juga merasakannya kan? Bahkan sampai risih juga, dan pada akhirnya berujung "aku kok geregetan pisan sih melihat bla bla bla bla" dan berujung jadi orang yang digeregetin orang lain juga karena bla bla bla mu juga mengandung hal-hal yang kamu geregetkan. Hayoloh, muter-muter deh akhirnya, dan nanti kalau debat pas ketemu berujung ke circular reasoning.

NB: Untuk istilah yang saya gunakan di tulisan kali ini kebanyakan dari mana, cari aja sendiri lah ya, udah gede, udah bisa tracing sendiri mana sumber-sumber yang harus ditelusuri atau dibiarkan begitu saja (duh, kan bahasanya belibet udah kaya review jurnal).

Sebenarnya hal-hal semacam mangkel, geregetan, gemas, dan bahkan juga sebal (bisa ditafsirkan 'benci' juga kadang-kadang oleh orang-orang yang kelewat baper) itu nggak perlu terjadi lho. Karena sejak awal perbedaan pendapat itu jelas ada. Ini pandangan secara umum lho ya, jangan terus melihat saya dari sudut pandang, "wah iki pasti jamaah CARIAMANiyah" (atau bahasa keren logical fallacy-nya: Middle Ground) dan semacamnya karena men-generalisir segala sesuatu dengan memainkan peran 'cari aman' dan jalan tengah (wes, iki koyok maba ae di-judge cari aman).
Ngene lho rek, sesekali coba deh, ketika membaca pesan-pesan dan berita unik yang beredar, matikan indera pengais informasimu sejenak (read: hape, laptop, pager, HT, dan semacamnya), lalu mainlah yang agak jauh dari tempatmu sekarang. Pergilah sejenak, kenal lah orang-orang baru, serap segala macam sudut pandang baru (tapi idealisme dan prinsipmu wajib masih dibawa lho ya, jangan sampai tergadai duluan sebelum kamu kembali nanti), dan setelah beberapa lama kembalilah. Buka lagi indera pengais informasimu yang mati tadi. Baca dengan seksama apa yang kamu baca sebelumnya, sama kah rasanya? Menurut opini saya, tak mungkin sama. Karena apa? Ada proses yang bertambah di dalam kehidupan kamu, kamus sudah "main cukup jauh dan pulang cukup malam" (kalau kata anak-anak kekinian). Otomatis kamu punya banyak wawasan baru yang lebih bisa memberikan pandangan logis tentang apa yang kamu baca, lihat, dengar, dan jilat (read: rasakan). Dan sifat-sifat sumbu pendek dengan asal share dengan komentar-komentar menggeregetkan pun tak akan terjadi padamu. Tapi beda sih, kalau prinsipmu masih bad news is good news.

Lalu bagaimana jika kaum saya disindir? Atau ras etnis saya yang dicuitkan?

Lhoalaaah (sambil tebas dada), sindirannya kamu benarkan nggak? Atau apa yang dituduhkan itu benar demikian di kaum atau ras kamu nggak? Kalau benar, ya sudah diam saja, kamu tak berhak marah, karena memang benar adanya. Tak perlu cari-cari alasan sampai menghasilkan social media-war atau semacamnya. Tapi jika sindiran/opininya salah, bela kaummu! Etnismu! Rasmu! Perjuangkan mati-matian tentang kebenaran yang kamu ketahui, tapi jangan cuma "berkoar negatif" (atau kalau bahasa anak gaul sekarang jadi: sakit pantat--butthurt) lewat komen dan posting balasan. Sungguh, sama sekali tidak elegan gitu lho.

Kalau mau elegan gimana?

Bikin aja tulisan yang santun, yang bagus, dengan bahasa-bahasa yang sopan dan lemah lembut, ingatkan si penyindir dan pencuit, kalau bisa secara langsung layangkan ke beliau secara pribadi.

Lha nek ga digubris?

Lakukan berulang-ulang, toh gak mungkin kan bebal terus-terusan? Orang juga ada mikirnya, kan kodrat manusia emang disuruh mikir.

Kalau itu sudah dilalui tapi tetap tak sampai juga pendapat kita ke beliaunya? Atau beliaunya nggak berubah dan tetap bebal?

Ya sudah, kalau memang salah beliau berat dan akan menimbulkan mudharat yang tak sedikit, bergeraklah sesuai ranahnya. Kan sosial media sekarang dilindungi Undang-undang ITE? Kumpulkan bukti, berikan argumen konkret, layangkan gugatan! Biarkan yang berwenang yang bergerak. Eits, tapi tunggu dulu, saya di sini tak memberi saran bagi yang sudah bebal dan sakit pantat duluan ya, contohnya orang yang demikian adalah yang selalu mencari celah: "yang berwenang lho bisa disogok", "undang-undangnya lho masih cacat", dsb dsb... Lha maumu apa le, nduk? Kamu manusia bernegara kan ya? Ya sudah, itu yang bisa dilakukan ikhtiarnya. Urusan faktor-faktor X yang uncontrollable sama kita ya sudah biarkan Allah SWT yang atur. Beres.

Uenake cocotmu nek ngomong beras beres rebes raimu!

Hahaha, yakin saya, pasti banyak yang mikir demikian saat baca tulisan ini. Kan haters gonna hate adalah kenyataan, ya tho? Tapi setidaknya apa yang saya sarankan demikian sudah saya upayakan untuk terlaksana. Dan inshaAllah selalu saya introspeksi ke diri saya sendiri untuk tak jadi sumbu pendek. Setidaknya jika tak bisa jadi pengurai masalah, jangan jadi "tukang memperkeruh masalah", itu prinsip yang saya pegang. Dan dalam hal pemanfaatan media, saya rasa itulah hal yang paling bijak dilakukan. Mau alasannya apapun, sangat pengecut jika hanya berani mencuit di sosial media tapi tak bergerak secara langsung untuk menguraikan masalah. Apalagi akun sosial mediamu cuma digunakan sebagai penyebar opini yang bikin geregetan orang lain, yang justru pada awalnya kamu sendiri nulis itu karena juga geregetan dengan orang lain. Lha lak terus-terusan nyebar greget, wes koyok meme Maddog nang The Raid ae...
Bayangkan sudah berapa banyak aura negatif yang tersebar jika gregetan jariyah tadi tersebar di 5000 teman/followers facebo*k, twitt*r, pa*h, instag*am, atau apapun itu? Dan berapa banyak energi yang telah dihabiskan untuk sekedar mengobati "mata rantai" gregetan tadi agar bisa ter-recovery lagi seperti sediakala? Buanyak lho pastinya...

Makanya itu rek, please lah! Berhenti menyebar posting-posting dengan aura negatif. Kalau mau menanggapi, tanggapi yang baik, bahasa yang sopan, halus, dan penuh penghayatan serta pemikiran panjang. Masa' aw*arin/an*a geral*ine/selebgram (yang dianggap sebagai penyebar pengaruh negatif) aja yang disuruh bertanggung jawab dengan postingannya, tapi kita sendiri merasa benar dengan apa yang kita lakukan, padahal sebenarnya ngga beda jauh sama mereka tadi, meski kita mengkritik dia. Sudahlah, jaman ini bukan lagi era MEDIA biasa, melainkan era CERDAS MENELAAH INFORMASI dengan MEDIA!

Mengutip dari posting di facebo*k saya beberapa waktu lalu,

(Dalam bersosial media) mari saling mengingatkan, saling menghargai, dan saling menghormati satu sama lain (tentunya dengan santun dan beradab). Jangan jadi manusia korek api ya, apalagi insan bersumbu pendek. Karena manusia tempatnya salah dan lupa, salah itu pasti ada, yang buruk adalah mencari-cari kesalahan yang diada-adakan. "Mari adil sejak dalam pikiran", kalau kata suhu Pramoedia A. T. "Karena orang SOK TAU itu suka banget MEMBUAT STANDAR GANDA bagi ORANG LAIN (mengkritik dan mencaci), dan orang SOK TUA itu paling suka MEMBUAT STANDAR GANDA bagi DIRINYA SENDIRI (membela diri)." Dan kalau udah dua-duanya? Segera istighfar dan mohon ampun sama Tuhanmu, barangkali "switch on off" introspeksimu sedang korslet.

Jadi jangan jadi orang yang merasa benar sendiri ya, yuk sama-sama memperbaiki diri, bijak dalam menyikapi segala hal, juga tak lupa mengingatkan orang lain (sekali lagi, dengan santun dan beradab) jika mereka khilaf dan lalai.

Indonesia bisa kok jadi lebih baik, jangan pernah malu jadi INDONESIA ya, apalagi sampai menempelkan segala hal negatif dengan komentar "pasti gitu, kan Indonesia...". Padahal kita tak sadar bahwa dengan berkomentar demikian, kita juga merendahkan diri kita sendiri. Ingat KTP-mu masih diurus di kecamatan yang tanahnya punya Indonesia lho, atau juga: paspormu lho masih gambar Garuda Pancasila, nggak usah lah sok memandang rendah negerimu sendiri. Wong Indonesia lho potensinya besar banget, cuma kita aja yang belum sadar dan belum memanfaatkannya dengan optimal, dalam hal apapun. Malah keduluan penjajah modern dengan penanaman modal besar mereka untuk mengeruk kekayaan kita (baik kekayaan SDA, SDM, maupun paham-paham unik yang cuma Indonesia poenya).

EPILOG
Wes rek, lerenono twit-warmu, comment-warmu, karena menulis tak pernah sebercanda itu. Perlu banyak pertimbangan matang dari mulai latar belakang, konten (isinya), sampai closing kesimpulannya. Dan yang lebih ekstrem lagi adalah: pertimbangan tentang siapa pembacanya dan efek apa yang akan timbul setelahnya. Karena memanfaatkan media dan informasi tak pernah sebercanda itu juga. Banyak lah meme-meme yang bilang kalau "benci sama postingan di sosmed itu lumrah, tapi kamu gak berhak mengatur mereka, karena ini media sosial bukan dinas sosial", tapi apa itu bener? Jangan bandwagon, please! Kita memang tak bisa mengatur orang lain, tapi bisa dong tak mengikuti jejak buruk mereka sebagai penebar aura negatif?

No comments:

Post a Comment

Budayakan comment di setiap situs yang anda kunjungi...
Untuk memulainya, silakan dibiasakan di dalam blog Pujangga Tanpa Inspirasi!!
Terima kasih, Thank You, Gracias, Merci, Syukron, Matur Suwun...

Wanna support???