PROLOG
Kata orang mengurai benang kusut adalah pekerjaan tersulit, sampai-sampai menjadi analogi mainstream tentang menyelesaikan permasalahan. Lalu bagaimana dengan menyusun puzzle? Atau menyatukan mozaik-mozaik yang telah berceceran ke mana-mana, bukankah lebih sulit lagi? Apalagi jika bagian-bagiannya belum benar-benar terlihat bisa disatukan.
Spring break kali ini menceritakan tentang sebuah perjalanan tiga hari menuju pencarian tali persaudaraan. Kau sudah kenal siapa aku, bahkan mungkin apa yang kutulis berkali-kali membuat dirimu memahami betul bagaimana diriku. Maafkan jika terkadang membuatmu geram, sakit hati, atau bahkan galau karena tulisanku. Tapi inilah aku, seseorang yang senang dengan "pencarian" dan "penemuan".
Sabtu, 1 April 2017
April Mop katanya, entah budaya mana yang memulai guyonan konyol penuh kebohongan di tanggal ini. Tapi tenang, aku tidak memulai hari ini dengan kebohongan, karena niat melangkahkan kaki keluar tempat tinggal adalah untuk mengungkap kebenaran. Bersama seorang partner luar biasa yang sejak awal bertemu telah sering sekali selaras dalam pemikiran dan juga pengambilan keputusan, L. Tri Wijaya N. Kusuma, itu nama lengkapnya. Dia adalah orang nomor satu di Perhimpunan Pelajar Indonesia di Taiwan untuk setahun ke depan, menggantikan Pitut Pramuji. Mungkin kalian familiar dengan dua nama itu? Ya, karena keduanya pernah muncul di tulisanku sebelumnya: tentang regenerasi PPI Taiwan dan juga tentang NCU ICD 2017 part 1 dan part 2. Kami melangkahkan kaki bersama pagi itu, pukul 09.00 kami menunggu bus 132 menuju stasiun kereta di daerah Zhongli. Perjalanan kali ini bukan tanpa tujuan, karena sejak jauh-jauh hari sebelumnya kami telah merencanakan sebuah misi "Perjalanan Persahabatan" ini. Merencanakan rute dari Hsinchu, Taichung, Tainan, dan Kaohshiung, untuk menjangkau wilayah tengah dan selatan Taiwan. Tak hanya sekedar say hi pada saudara-saudara sesama mahasiswa Indonesia kami di sana, tetapi juga membawa semangat kolaborasi "Bersahabat dan Bermanfaat".
Rel kereta berderit mengeluarkan bunyi memekakkan telinga tepat setelah kami memasuki ruang tunggu. Ternyata memang itulah kereta yang harus kami tumpangi menuju Hsinchu. Lima puluh menit perjalanan kami membawa pertemuan hangat dengan mas Nyoto dan mas Ardian, dua orang mahasiswa Indonesia (representatif area Hsinchu) yang sangat welcome dengan kehadiran kami berdua. Dari mulai berbincang tentang hal-hal serius, hingga sekedar kelakar pencair suasana, keduanya sangat mahir dalam men-treat tamu, bahkan kami mendapatkan jamuan makan siang spesial dari mereka (dibilang spesial karena gratisan sih, hihihi).
Jalan utama dalam kampus NTHU |
Sengaja fotonya ditampilkan yang dari belakang, karena untuk foto yang pegang MoU tunggu official dulu baru di-release (kiri ke kanan: mas Ardian, pak Tri, dan mas Nyoto) |
Tak membutuhkan waktu lama bagi kami untuk berjalan mengelilingi NCTU dan NTHU yang ternyata saudara kembar siam. Bagaimana tidak, pemisah dari mereka berdua hanyalah satu dinding tinggi dan penghubungnya semacam jembatan الصراط المستقيم (shirathal mustaqim) milik Institut Teknologi Sepuluh Nopember (Surabaya) menuju Keputih gang 1.
Dinding pemisah NCTU-NTHU (eh ada pak Tri nongol juga) |
Nggak kebayang kalau malam suasananya gimana kan ya? Pasti males yang mau lewat sini (jembatan penghubung NTHU-NCTU) karena gelapnya |
Tempat singgah kami sebelum pulang adalah di satu tempat milik Muslim Student Club (MSC) di NCTU, selain menunaikan shalat Dhuhur, kami juga sekedar say hi dengan beberapa mahasiswa muslim asal India dan negara-negara Timur Tengah yang sedang berkumpul di sana. Uniknya, ketua dari MSC ini bukan orang Indonesia (biasanya mayoritas Muslim di kampus-kampus Taiwan itu orang Indonesia), melainkan orang India, kalau aku tak salah dengar saat berkenalan, namanya Muhammad.
Interior Mushalla milik MSC di NCTU, yang juga digunakan untuk shalat Jumat |
Hari sudah sore, rencana kami melanjutkan perjalanan menuju Taichung nampaknya harus urung karena suatu hal. Plan B harus bekerja saat itu juga, karena perjalanan kali ini tak boleh terhenti. Tainan, yang bukan menjadi tujuan kami hari itu, menjadi kota selanjutnya yang harus dikunjungi sebelum malam. Perjalanan tak kurang dari empat jam berhasil dilalui meski harus berdiri sepanjang kereta (maklum spring break adalah salah satu masa liburan berjamaah di Taiwan). Petang, kebingungan, dan hampir berakhir ngemper di stasiun. Beruntung, ikatan batin yang terbangun selama kaderisasi mahasiswa baru di jurusan Teknik Material dan Metalurgi (diselenggarakan oleh HMMT FTI-ITS) dulu ternyata membekas di hati kami, para penyandang gelar MT. Mas Khoiril Metrima menjadi orang yang pertama kali kuhubungi saat itu, tujuan utamanya adalah: mencari tempat bernaung.
"Assalamu'alaikum, mas..." sapaku sembari menjabat tangan mas Metrim.
"Wa'alaikumussalaam... Nunggu lama ini tadi?" jawabnya tersenyum.
"Maaf lho mas, ngerepoti mendadak," ujar pak Tri.
"Nggak apa-apa, pak, tenang aja..." balas mas Metrim ramah.
Percakapan berlanjut sambil berjalan menuju dormitory milik NCKU. Petang itu kami menginjakkan kaki di Tainan, berniat merebahkan diri untuk beristirahat dan mempersiapkan diri bertemu kawan-kawan mahasiswa Indonesia, untuk sekali lagi ber-say hi dan juga merekatkan hubungan persaudaraan, esok hari.
Petang hari di NCKU |
Shalat Maghrib menjadi agenda pertama setelah tiba di Mushalla milik NCKU (terletak di lantai 2 International dormitory NCKU).
"Sini Zha, minum dulu, ini tadi ada mbak-mbak ngaji sore, terus konsumsinya masih banyak," kata mas Metrim.
"Wah, siaaap..." kataku berjalan mendekatinya.
"Lho, mas ini dari mana?" tanya seorang lelaki yang sedang bermain dengan anak gadis kecil di pangkuannya.
"Saya dari Taoyuan pak, NCU," jawabku setelah menyeruput minuman yang kupegang.
"Oh, ini ya yang tamu jauh itu? Perkenalkan saya Iqbal," ujarnya.
"Inggih, pak. Saya yang bersama pak Tri ini," ujarku, "Pak, ini pak Iqbal, nggak nyangka bertemunya justru di sini," kataku melanjutkan.
Kira-kira begitulah perkenalan singkat kami saat itu. Pak Iqbal adalah mahasiswa S3 di NCKU yang merupakan representatif mahasiswa Indonesia yang ada di wilayah Tainan. Obrolan kami malam itu berlangsung hangat di serambi Mushalla, ditemani kudapan-kudapan ringan menambah kondusif suasana diskusi dari hal-hal ringan hingga serius yang menjadi tujuan kami (pak Tri dan aku) jauh-jauh melakukan perjalanan ke arah selatan Taiwan. Hingga selesai sholat Isya' berjamaah pun obrolan kami masih berlanjut, sampai pada akhirnya...
"Sepertinya saya harus pamit, pak. Mohon maaf lho kita diskusinya sampai malam begini, karena mungkin esok hari saya tidak bisa menemani," ujar pak Iqbal.
"Nggak papa, pak, kasihan juga itu adiknya sudah ketiduran," ujarku.
Dan pertemuan kami dengan pak Iqbal harus berakhir saat itu. Tapi sepertinya agenda malam ini tak berhenti di sana, karena perut kami sudah menabuh gendang berkali-kali. Malam itu kami diajak makan malam di sebuah kedai hot pot di dekat kampus oleh mas Metrim, mas Adnan Kasofi, dan juga beberapa mahasiswa Indonesia lainnya, sebelum dilanjutkan dengan agenda cangkruk ngopi di 7-11 dekat kampus. Lalu? Ya sudah, setelah semua agenda bincang malam di Tainan itu kami beristirahat demi menjaga stamina untuk melanjutkan perjalanan esok hari. Sungguh perjalanan kali ini dipermudah oleh Allah SWT, karena agenda diskusi yang seharusnya direncanakan esok hari, telah clear dalam semalam, dalam balutan hangatnya suasana Mushalla.
Ini mas Metrim (kanan), yang dengan tangan terbuka mau menampung kami selama semalam di Tainan |
Minggu, 2 April 2017
Hari kedua di bulan April, pukul 04.40, alarm sholat Shubuh berhasil membuka mata kami pagi itu. Rencananya hari ini kami akan menuju destinasi terakhir dari "Perjalanan Persahabatan", Kaohsiung, wilayah representatif paling selatan (sebelum Pingtung, yang terletak di area lebih ujung selatan lagi). Tapi sepertinya godaan untuk mengunjungi tempat "lain" tak bisa dihindarkan. Berawal dari hasil kepo-kepo tempat hits di Tainan, akhirnya tujuan kami sebelum melesat ke Kaohsiung adalah: Chimei Museum (奇美博物館). Di sana kami disambut dengan pemandangan patung-patung ala Dewa-Dewi Yunani di sepanjang jembatan masuk ke areal "Eropanya Taiwan".
Deretan patung-patung Dewa-Dewi Yunani di sepanjang jembatan masuk |
Area yang katanya "Eropanya Taiwan" di sisi samping gedung utama |
Halaman depan Chimei Museum tak luput dari narsisme kami untuk mengabadikan momen awal "kebersamaan" (eaaa...) |
Oke, kembali ke jalur utama, momentum santai sejenak kami ini menjadi amunisi pembakar semangat untuk menyusuri rel kereta menuju destinasi selanjutnya. Via stasiun Bao'an, kami harus berpisah dengan mas Metrim, yang selama di Chimei Museum sudah rela meluangkan waktunya untuk menemani kami berdua.
Masih ingat caption yang sempat (katanya) bikin baper beberapa orang? Bahkan "mereka" PM aku setelah foto ini release di akun Instagram @ozhahernandha (promo tipis-tipis) |
Oke, perjalanan terakhir kami berlanjut. Kami tiba di Kaohsiung Station tepat pukul 12.30, dan bertemu dengan gus Rosyid, salah satu partner perjalanan kami yang memang bilang akan menyusul di hari Minggu. Dari stasiun Kaohsiung, kami menumpang bus nomor 30A menuju NKUAS, untuk menemui beberapa orang yang sudah dihubungi oleh pak Tri sebelumnya, untuk sekali lagi bersilaturrahim dan berdiskusi menyambung semangat kolaborasi "Bersahabat dan Bermanfaat".
Sambutan hangat (lebih tepatnya panas) diberikan oleh patung-patung boneka lucu ini di NKUAS |
Singkat cerita hari itu kami sempat bertemu dengan mas Jaka, mas Andi, mbak Riska, pak Farid, pak Sujito, dan juga bapak-bapak lainnya yang ternyata bukan hanya dari kalangan mahasiswa Indonesia, melainkan ada juga yang pekerja. Sungguh, pertemuan sore itu sangat berfaedah, karena selain sambang dulur mahasiswa Indonesia yang ada di Taiwan, kami juga berkesempatan untuk berbincang tentang banyak hal terkait Buruh Migran Indonesia (BMI), yang menjadi fokusan utama pak Tri di kepengurusan PPI Taiwan tahun ini, dengan bapak-bapak pekerja di sekitar Kaohsiung. Tak lupa kami juga mengunjungi, serta memberikan dukungan kepada Perpustakaan Berjalan milik kawan-kawan mahasiswa Indonesia di wilayah Kaohsiung dan sekitarnya. Terbukti, gus Rosyid pun tak ingin ketinggalan untuk memanfaatkan kesempatan menyumbangkan buku tulisannya kepada Perpustakaan Berjalan ini, Sufisme Kyai Cebolek.
Dari kiri ke kanan: Yusril (Shoufu Univ.), pak Tri, pak Farid, gus Rosyid, mas Jaka, dan aku |
Lucunya, di kesempatan diskusi sore itu ada sebuah pertemuan unik,
"Lha, mas-mas ini asalnya mana?" tanya pak Sujito kepada kami (kebetulan di hadapan beliau hanya ada pak Tri dan aku)
"Saya asli Mataram, Lombok, pak. Tapi domisili di Malang," jawab pak Tri.
"Kalau sampeyan, mas?"
"Saya Jawa Timur pak, Bojonegoro," sambarku.
"Lho? Sek sek, Bojonegoro-ne endi?"
"Dekat stasiun pak, ke selatan, desa Pacul," terangku, penasaran dengan pertanyaan lanjutan dari beliau.
"Ealaaah... (dengan diikuti sapaan akrab khas Jawa Timur), aku ki yo Jonegoro, mas! Wong Poh-mbaru (baca: Kepohbaru, adalah nama salah satu daerah di Bojonegoro, Jawa Timur)."
Dan percakapan pun semakin menghangat pasca itu. Sejauh apapun kita merantau, selalu saja ada kerabat yang ditemukan, entah kerabat sedarah, sekota, sedaerah, dan se-se yang lainnya.
Gambaran suasana cangkruk hangat sore itu |
Kalau ini bincang asli serius, candid tanpa dibuat-buat, karena mendengarkan penjelasan langsung tentang kondisi BMI di Taiwan dari pak Azis (paling kanan) |
Dan tujuan perjalanan kami hari itu berakhir. Lalu selanjutnya? Tenang, masih ada satu cerita unik lagi kok. Jangan lelah membaca sampai akhir ya!
Senin, 3 April 2017
Seharusnya hari ini kami semua sudah berada di Taoyuan, tidur meringkuk di dormitory kami masing-masing. Tapi nampaknya agenda kami harus disambung ke dalam rangkaian plan C yang disusun mendadak. Dini hari di NCYU, Chiayi, adalah salah satu wilayah (kalau dari utara) yang posisinya berada setelah Taichung, sebelum Tainan.
"Selamat datang di desa Chiayi, mas." ujar mbak Zazak.
Memang suasana di daerah ini sangat sepi, terutama di sekitar NCYU kampus Minxiong. Bahkan dari stasiun Minxiong ke kampus tak ada satupun kendaraan umum yang melintas kecuali taksi (yang itu pun jarang).
"Oh, ternyata di Taiwan juga ada daerah yang 'lumayan' terpencil sepi seperti ini ya?" pikirku. Padahal memang menurut keterangan, lebih banyak lagi daerah-daerah yang lebih sepi daripada ini, contohnya: kampus CHU (Hsinchu) dan beberapa kampus-kampus daerah pegunungan/perbukitan lainnya, yang memang susah dijangkau kendaraan umum.
Di sini agenda kami tak banyak, hanya bersilaturrahim dengan kawan-kawan Chiayi yang kebetulan ingin mendirikan Perhimpunan Pelajar Indonesia, terutama di kampus NCYU. Bincang-bincang kami dilaksanakandari tengah malam (dari Minggu menuju Senin) sampai dini hari. Karena memang mayoritas cewek (ada mbak Zazak, mbak Euis, dan juga mbak Risa) jadi providing makanan saat kunjungan di sini sangat tak bisa dibandingkan dengan kampus lain. Dari mulai gorengan-gorengan handmade mereka sendiri sampai kudapan-kudapan mengenyangkan lain tersedia saat diskusi malam itu. Singkat cerita, kami juga bertemu dengan bang Jovan Sitinjak (koordinator mahasiswa Sumatera Utara yang ada di NCYU tahun lalu), salah satu Vlogger Indonesia yang sering membuat video-video unik tentang Study in Taiwan.
________________________________________
Oh iya, sedikit OOT ah, bang Jovan sedang mengikuti kompetisi video juga lho di bulan ini, jadi beliau ingin minta dukungan (vote) dari pembaca sekalian lewat link ini (klik aja 'link ini'-nya). Dan untuk cara vote-nya sebagai berikut:
(click to enlarge) |
________________________________________
Pukul 12.00 siang, gus Rosyid, Yusril, dan aku, diantar menuju stasiun oleh mbak Risa dan mbak Zazak. Eh, pak Tri ke mana ya btw? Hihihi, beliau semalam harus melanjutkan perjalanan ke Taoyuan lebih dulu, rencananya akan melanjutkan misi "Perjalanan Persahabatan" ke arah utara. Jadi, beliau unofficially menitipkan kepadaku, Yusril, dan juga gus Rosyid untuk menghadiri diskusi di Chiayi kali ini.
Dari kiri ke kanan: Yusril, mbak Risa, aku, gus Rosyid, mbak Zazak |
Dari kiri ke kanan: Yusril, bang Jovan, aku, gus Rosyid |
Banyak hal yang menjadikan three day trip kali ini sangat amat melelahkan mengasyikan, karena memang benar "menyatukan mozaik-mozaik yang terpisah satu sama lain" untuk menjadikannya utuh bukanlah hal mudah. Perlu kerja keras luar biasa untuk melakukannya. Tapi meski demikian, SULIT BUKAN BERARTI TAK BISA DILAKUKAN bukan? Itulah yang sepertinya telah mampu menghapus lelah dari perjalanan singkat nan panjang kali ini. Jadi, pembelajaran macam apa yang akan terjadi selanjutnya? Stay tune di blog ini ya, guys, karena semangat positif (yang sedang berusaha kusebarkan) takkan pernah menjadi inspirasi tanpa kehadiaran kalian, para pembaca...
Terakhir, ada sebuah persembahan video singkat tentang "betapa cepatnya perjalanan pembelajaran kali ini", enjoy!!!
(harusnya) off the record story:
Jadi di perjalanan pulang, setelah kami (aku dan gus Rosyid) berpisah dengan Yusril di stasiun Chiayi, aku dibuat senyum sendiri oleh seorang cewek imut yang menempati satu gerbong kereta denganku.
"Excuse me," ujarnya.
"Oh, sure!" jawabku sambil melangkahkan kaki ke samping kanan, setelah menyadari bahwa aku menghalanginya untuk berjalan ke depan.
"Thank you, you're so kind," sambil tersenyum manis.
Bukan apa-apa, hanya saja entah mengapa selama perjalanan tiga hari ini aku baru menemukan orang yang memperhatikan kebaikan kecil dengan sebuah balasan pujian formal. Mungkin terdengar berlebihan, tapi dengan adanya ucapan itu menyiratkan dia sangat memperhatikan kebaikan orang lain sekecil apapun. Kagum? Jelas, karena selain manis, dia juga sopan dan ramah. Hihihi, untuk siapapun yang mungkin jealous, tenang ya! Di sini aku memosisikan diri setia, meski obyektif juga tetap harus kan?
Eh, ternyata foto si cewek nge-blur. Harap maklum ya, efek zoom terlalu besar.
EPILOG
Sebuah perjalanan tak akan pernah berarti tanpa tujuan, sama seperti sebuah amal baik yang dilakukan tanpa niat, juga akan sia-sia meskipun terhitung sebuah kebaikan. Tapi bukankah dengan berniat baik di awal saja sudah terhitung pahala? Lalu, apa jadinya jika niat baik itu terlaksana? Entahlah, biarkan perhitungan pahala dan kebaikan yang sudah kita tanam menjadi kalkulasi Allah SWT dalam memperberat timbangan kebaikan kita nantinya.
No comments:
Post a Comment
Budayakan comment di setiap situs yang anda kunjungi...
Untuk memulainya, silakan dibiasakan di dalam blog Pujangga Tanpa Inspirasi!!
Terima kasih, Thank You, Gracias, Merci, Syukron, Matur Suwun...