Description

"Who you are, depends on what do you think about GOD and yourself."

#KotakAjaib
Copy-Paste boleh, asal cerdas! Jangan lupa cantumkan sumbernya ya...
http://tanpa-inspirasi.blogspot.com/

Tuesday, September 12, 2017

SVE17 3.1: Spin Off Testimoni tentang Transportasi dan Percakapan Random di Jalanan Ibukota

PROLOG
Ah ya, ternyata SVE17 baru sampai di cerita pekan ketiga ya? Duh, aktivitas semester ke-11 ku sepertinya sedang terlalu hectic sampai-sampai hobi pengurai stress ini menjadi sedikit terbengkalai. Eh, tapi bagus dong ya artinya, kalau jarang nulis berarti jarang sumpek sama kerjaan dan terlalu menikmati pekerjaan sebagai researcher pemula di laboratorium. Karena memang menulis adalah salah satu output dari energi negatif yang sedang menyusup ke dalam otakku, yang daripada harus meluap menjadi hal sia-sia, aku transformasikan pada kegiatan menulis untuk berbagi sesuatu yang "mungkin" bisa jadi bermanfaat.

Oke, kali ini spin off di pekan ke-3 sepertinya tak bergambar dan cenderung singkat. Masih cerita tentang liburan summer kemarin (ya iya lah, labelnya aja masih SVE17 kan?). Anyway yang sempat mengikuti dua kisahku bertualang sebentar di Ibukota menggunakan bermacam moda transportasi (klik kalau penasaran sama cerita pertama dan kedua) bersama Tira, mungkin sudah paham ke mana arah tulisan kali ini bermuara.

Mohon maaf sebelumnya kalau bahasannya tak sesantai dan se-enjoy biasanya. Jadi kali ini aku akan sedikit membahas tentang beberapa testimoni dan juga sisi lain dari keunikan transportasi di Indonesia, utamanya di Jakarta.

Kuawali dengan Kereta
Perjalananku ke ibukota selama ini selalu berurusan dengan transportasi satu ini, yah tak terlalu berbeda lah dengan di Taiwan. Karena memang pada dasarnya aku adalah backpacker yang lebih nyaman dengan hal-hal fleksibel berupa ngemper, jalan kaki, dan juga jadi public transport-er. Moda transportasi satu ini telah banyak berubah sejak beberapa tahun lalu (saat pertama kali aku naik kereta di Taman Kanak-kanak).

"Pa, aku mau duduk di atas."
"Tapi tangannya nggak boleh dikeluarkan lho ya!" pesan mama.
"....." aku mengangguk tanpa menjawab.
"Kakak nggak sekalian?" tawar papa saat mengangkatku ke atas meja kereta api yang dulu masih sekitar setengah meter kali setengah meter.
"Pak, kopi pak? Mau minum, dek?" ujar salah satu penjaja makanan yang lewat di tengah-tengah jalur antara bangku kanan dan kiri.
"Sudah bawa pak," kata kakakku sambil menunjukkan roti yang ia pegang.
"Hush, wong ditanya minum kok jawabnya makanan sih, kak?" kata mama.
"Boten pak, sudah bawa minum sendiri," imbuh mama.
"Anginnya kencang nih, aku mual," kataku setelah kurang lebih sepuluh menit berada tepat di samping jendela kereta api.
"Ya udah, turun sini dipangku mama!" jawab papa sembari menurunkanku dari meja.

Angin sepoi-sepoi yang terasa di dalam gerbong bersumber dari jendela masing-masing penumpang, yang tak jarang juga ditutup sebagian karena pasti akan terlalu kencang jika dirasakan. Pengap, bau rokok, bercampur dengan bau makanan penumpang menjadi aroma yang khas dari kereta ekonomi, yang memang berbeda dengan kereta Eksekutif maupun Bisnis, baik interior maupun pelayanannya.

Itu sekitar dua puluh tahun yang lalu, sangat berbeda dengan kereta ekonomi jaman sekarang yang sudah tersentuh Air Conditioner dan juga bangku yang tak lagi hanya komposit-polimer (simple-nya sih plastik). Meski tak seenak Eksekutif atau Bisnis yang bangkunya bisa dilandaikan untuk kenyamanan sandaran, setidaknya kereta ekonomi sudah banyak berubah. Tak ada lagi penjaja makanan ilegal yang memenuhi jalur tengah gerbong, dan bahkan setiap beberapa stasiun sekali tiket kami pun dicek satu per satu. Yang menurutku over all PT. KAI sudah banyak mendewasa dibanding beberapa tahun yang lalu.

Fleksibilitas Transportasi Online
"Dek, kita mau naik apa nanti ke stasiun?"
"G*-car atau Gr*b gimana?"
"Boleh deh, asal cepat! Adek ada app-nya?" kataku.
"Di aku lengkap, mas. Tenang aja, hehehe," jawab Tira.

Tuh, pasti para pengguna transportasi online di tanah air paham dengan awalan percakapan semacam itu. Karena memang menjamurnya transportasi online di Indonesia tak bisa diragukan lagi. Fenomena itu terjadi semenjak perusahaan start up (emang dulunya cuma start up) besutan Nadiem Makarim berkembang pertama kali di 2010, hingga tahun lalu app-nya telah diunduh hampir 10 juta kali. Sampai-sampai perusahaan serupa milik asing pun juga berlomba-lomba menanamkan injeksi investasi mereka demi menyasar para penggila fleksibilitas dan (kalau menurutku) kemalasan menunggu transportasi umum yang kalau di Indonesia lebih sering tak tentu jadwalnya.

Mengapa kubilang tak tentu?

Karena memang berdasarkan pengalaman bertahun-tahun bergelut dengan transportasi umum di kota asal: Bojonegoro, sampai di ibukota Jawa Timur: Surabaya, manajemen pengangkutan penumpang dari transportasi umum lebih banyak tidak sesuai waktu, melainkan "penuh-tidak penuh"nya kursi penumpang. Belum lagi budaya kejar setoran yang sampai saat ini masih menjadi mayoritas pijakan sistem untuk mobil angkutan umum (angkot, bemo, lyn, dan apalah namanya) maupun bus di Indonesia.

Hal-hal itulah yang membuat transportasi online menjadi primadona baru di kalangan masyarakat. Selain slogannya yang bukan penganut "jauh dekat 6000" atau mematok nominal tak tentu (dan kadang tak adil bagi sebagian pengguna), mereka juga siap sedia dipanggil ketika dibutuhkan. Penumpang pun dapat menyesuaikan uang yang ada di kocek untuk pembayarannya, based on seberapa jauh dia akan menyewa jasa para sopir dan pengemudi transportasi online ini. Dan bahkan semenjak ada sistem baru yang mereka terapkan berupa top-up atau pengisian nominal tertentu pada akun masing-masing yang dapat dipotong sewaktu-waktu tanpa perlu menyiapkan cash, penumpag tak perlu takut lagi dengan naik kendaraan umum tapi nggak bawa dompet. Yah, meski masih ada beberapa kasus tertentu yang justru memperlihatkan hal-hal semacam uang elektronik tersebut menjadi masalah, tapi kurasa dengan sedikit evaluasi dan sosialisasi lebih lanjut kasus semacam itu akan menghilang ditelan jaman.

Bajaj, Si Merah yang Ganti Baju
Di Jakarta pasti tak asing dengan yang namanya Bajaj. Transportasi legendaris ini telah bercokol di ibukota sejak 1975. Tuh, bahkan umur Bajaj saja masih lebih tua dibanding usia kita-kita para generasi 90-an yang sekarang rata-rata sudah pegang KTP (apaan sih -_-). Dulu yang kutahu sejak pertama kali ke Jakarta, Bajaj selalu identik dengan labeling warna merah-oranye dan beroda tiga. Bunyinya yang khas pun turut menjadi trademark bagi kendaraan unik yang juga menjadi primadona di negeri Bollywood.

Akan tetapi, tahukah kamu kalau sejak lima tahun ke belakang si merah ini mulai dilirik sebagai kendaraan agent of environmental friendly development? Di mana perubahannya menjadi simbol tersendiri untuk mobilisasi gerakan ramah lingkungan. Seperti yang dituliskan oleh Imama Lavi Insani pada 18 April 2016 lalu, bahwa:

"Hingga saat ini jumlah sopir bajaj sudah mencapai (sekitar) 14.000 orang terbagi menjadi dua yaitu 8.000 sopir menggunakan Bajaj lama berwarna orange dan sisanya yaitu 6.000 sudah berpindah menggunakan bajaj berbahan bakar gas yang berwarna biru."

Yang berarti hampir 50% Bajaj telah berganti baju menjadi biru. Sejalan dengan pengalamanku berkendara menggunakan transportasi ini di jalanan ibukota dua tahun ke belakang. Hampir tak nampak Bajaj warna merah-oranye lagi di pintu masuk terminal-terminal dan stasiun-stasiun di Jakarta. Ya, memang si biru ini sedikit lebih mahal tarifnya dibanding si merah-oranye, tapi kalau kita berpikir lebih jauh tentang lingkungan dan emisi gas buang yang dihasilkan, tentunya tak akan ragu dalam memilih si biru untuk berkeliling ibukota.

Transjakarta, dan Jalurnya yang Sering Terlanggar
Transportasi ini telah menjadi moda transportasi pilihan lain di Jakarta, sistemnya mirip dengan bus-bus di negara maju, dengan halte transit yang sesuai waktu dan sesuai rute dengan jalurnya sendiri. Kalau dibilang murah, ya relatif tapi yang pasti moda transportasi satu ini juga tak kalah mudah karena menyediakan fasilitas tap and go. Dengan kerjasama yang digalang oleh perusahaan penyedia layanan dengan berbagai perusahaan perbankan Indonesia, dia berhasil menjadi transportasi fleksibel dengan memanfaatkan uang elektronik.

Tapi ya gitu, kadang hadirnya ke halte-halte pun sering telat. Mengapa demikian? Tak lain dan tak bukan karena jalurnya yang seolah eksklusif ini lebih sering dijadikan jalur private ilegal oleh para pengendara nakal demi mempercepat usaha by pass mereka menuju tujuan. Sekali lagi, tentunya budaya buruk semacam ini akan hilang digerus jaman jika penggalakan aturan dan sosialisasi terus dilakukan secara masif.

Aku bisa menilai demikian karena dulu pernah melihat sendiri jalur Transjakarta dengan gampangnya dijadikan jalan tembus oleh para pengendara nakal.

Angkot, Kopaja, dan Ojek Konvensional
"Mas, mas, naik mas! Ke Kota Tua mas!"
"Enggak bang, udah penuh gitu" jawabku
"Masih bisa satu lagi itu mas," katanya, "eh buk, yang kanan geser lagi dong!" imbuhnya kemudian.

"Yo, Stasiun stasiun, kosong!!!"
Sambil diikuti dengan suara khas mesinnya yang cempreng, kemiringan kanan-dan kiri yang tak biasa, juga asap tebal kehitaman yang keluar dari knalpotnya...

"Bang, ojek bang!" panggilku.
"Ke mana bang?"
"Ke stasiun, saya mau pulang nih, kejar kereta. Butuh 2 ya!"
"Oke bang," sambil memanggil temannya dan mempersilakanku duduk di bangku penumpang dan tanpa memberikan helm.

Silakan ditebak sendiri percakapan mana yang menjadi percakapan dari moda transportasi di subjudul. Itulah kenyataannya, mengapa mereka mulai ditinggalkan? Karena sepertinya modernisasi bukan menjadi salah satu goal utama pengembangan mereka.

EPILOG
Ini hanya kumpulan testimoni random dari pengalaman pribadiku. Untuk penyikapannya seperti apa dan bagaimana ke depannya nasib mereka, mungkin di kesempatan yang lain kalian para pembaca bisa menjadikannya bahasan khusus sebagai teman cangkruk dan ngudut di warung kopi.

Sampai jumpa lagi di kisah selanjutnya...

No comments:

Post a Comment

Budayakan comment di setiap situs yang anda kunjungi...
Untuk memulainya, silakan dibiasakan di dalam blog Pujangga Tanpa Inspirasi!!
Terima kasih, Thank You, Gracias, Merci, Syukron, Matur Suwun...

Wanna support???