Description

"Who you are, depends on what do you think about GOD and yourself."

#KotakAjaib
Copy-Paste boleh, asal cerdas! Jangan lupa cantumkan sumbernya ya...
http://tanpa-inspirasi.blogspot.com/

Monday, November 27, 2017

Wahai Para Pencari Gelar Akademik...

*sangat direkomendasikan untuk dibaca via browser PC, karena jika via handphone ditakutkan banyak format yang tak terbaca jelas dan mengurangi makna tulisan*

PROLOG
Halo para pegiat literasi, baik para penulis maupun pembaca, terutama pembaca setia blog ini (sok yes banget nih author-nya, kaya ada yang mau baca tulisannya aja -_-). Udah beberapa hari blog ini nggak meng-up tulisan-tulisan pemantik emosi jiwa seperti biasanya nih (eh). So that's why, kali ini penulis hadir dengan salah satu topik fresh from the oven tentang disorientasi dari PPGA (Para Pencari Gelar Akademik). Kira-kira apa sih yang akan diulas? Hihihi, tenang aja ini cuma opini kok. Di awal aku state dulu aja deh, bahwa apa yang aku tuliskan di sini adalah murni opini dan hasil olah pikir logis-obyektif dari penulis (karena pada dasarnya memang penulis tidak berhubungan langsung dengan tokoh-tokoh yang muncul di tulisan kali ini) yang bersumber dari maraknya berita-berita tak sedap yang ber-seliwer-an di dunia maya. Then, untuk kelanjutan serta perkembangan terhadap yang bersangkutan bagaimana silakan ditelusuri sendiri saja dengan modal keingintahuan masing-masing. Untuk apa? Tentunya untuk bisa diambil pelajarannya, tanpa mendiskreditkan kemampuan asli mereka.

Setahun lebih menjadi PPGA di negeri orang tentunya banyak sekali yang dirasakan, entah atmosfer perbedaan budaya dengan tanah air Indonesia, perbedaan bahasa komunikasi sehari-hari, maupun proses interaksi dengan manusia-manusia antar-bangsa, yang diakui atau tidak, jelas memengaruhi kondisi pola pikir. Dari mulai pembuktian dari sebuah anggapan naif masa kuliah tentang "yang penting itu ilmunya, bukan nilainya" hingga kondisi di mana ada "kesempatan hiperbolik" saat ditanya oleh sebagian orang di tanah air tentang apa yang aku lakukan saat menjadi PPGA.

Oh iya, sebelum kulanjutkan cuap-cuapnya, alangkah lebih baik jika kudefinisikan dulu saja mengapa judulnya menyinggung tentang Para Pencari Gelar Akademik (PPGA). PPGA di sini kudefinisikan sebagai para penuntut ilmu yang telah melepas masa pendidikan dasar (yang standarnya sekarang adalah dua belas tahun = SD, SMP, SMA, atau yang setara).

Nah, lalu mengapa definisinya cetek sekali, hanya Pencari Gelar Akademik? Bukankan kita belajar itu mencari ilmu? Bukan hanya gelar akademik, kan?

Hahaha, tenang. Di judul ini aku hanya mencoba menuangkan sebuah istilah realistis (yang kadang keblinger juga jadi pemikiran praktis) bahwa dalam kondisi mendapatkan ilmu atau tidak serta memahami atau belum tentang apa yang tengah/telah dipelajari, itu bukan jadi soal, toh kalau selesai ujian skripsi/tugas akhir/tesis/disertasi/dll dan dinyatakan lulus oleh dosen penguji/profesor, gelar akademik jelas akan mengikuti sebagai embel-embel tambahan di nama kita kan? Entah nantinya dimanfaatkan sebagai "tanggung jawab moral" yang positif dalam pembangunan bangsa dan negara (wih, tinggi banget bahasamu, thor!!!) atau hanya sekedar gegayaan untuk disematkan dalam undangan nikahan (please this is not an offense for anyone, I'm just realized this kind of thing's real in our society).

Oke, yuk kita lanjutkan bahasannya.

Jadi di atas telah kusinggung tentang sebuah anggapan naif masa kuliah tentang "yang penting itu ilmunya, bukan nilainya" hingga kondisi di mana ada "kesempatan hiperbolik" saat ditanya oleh sebagian orang di tanah air tentang apa yang aku lakukan saat menjadi PPGA. Then, mari kita ulas satu per satu.

Anggapan Naif itu Terkadang Memang Naif
Ada yang bertanya apa makna NAIF? Silakan googling atau buka saja Kamus Besar Bahasa Indonesia untuk melihat lebih lanjut makna dari kata itu.

Jadi siapa yang belum pernah dengar petuah naif bijak:

"Dalam mencari ilmu itu yang penting itu ilmunya, bukan (nominal) nilainya."

atau yang sejenisnya? Tentunya semua pelajar pernah mendengar/membaca petuah-petuah semacam itu bukan? Yang realita sesungguhnya, petuah itu muncul sebagai manifestasi dari upaya menenangkan perasaan seseorang yang secara random (nominal) nilainya tidak semenakjubkan kemampuannya hanya karena faktor X (yang banyak sekali) di luar kuasa yang bersangkutan, sehingga menyebabkan hasil akhir/nilai yang diperoleh dalam proses menuntut ilmu itu tidak sebanding dengan harapannya (seseorang yang memasuki kondisi terdeviasi dari harapan awalnya).

Sering bukan kita mendapati kondisi deviasi semacam itu?

Ya, untuk itulah petuah naif bijak itu muncul.

Tapi jika dikaitkan dengan kondisi real dari sebuah perjuangan menjadi scholarship-based-PPGA di negeri orang (terutama dengan perbedaan bahasa pengantar (bukan English) yang sangat amat menyiksa), dengan sebuah target fix dari Departemen bahwa no good mark = no scholarship. Maka (nominal) nilai adalah hal mutlak yang diperlukan untuk bertahan hidup. Entah bagaimanapun caranya, tanpa nilai baik, kita tak akan pernah bisa melanjutkan untuk menguras ilmu yang ingin kita dapatkan (di sini).

Jadi, solusinya?

Belajar, pahami, dan terapkan dalam ujian secara maksimal.

Kalau masih gagal?

Tandanya proses yang kita lakukan dari "belajar, pahami, dan terapkan" masih perlu ditingkatkan. Tapi ada alternatif lain sih untuk menghindari kegagalan, seperti yang telah diterapkan oleh kawan-kawan satu laboratoriumku dalam menghindari kondisi "gagal" itu menjadi the real failed, yaitu dengan lebih aware dengan kemampuan di mata kuliah yang diambil.

Maksudnya gimana tuh?

Oke, jadi ilustrasinya gini:
___________________________________________________
Di suatu semester yang indah, ada satu mata kuliah yang bisa dibilang sangat menggalaukan. Bagaimana tidak, dari quiz ke-1 hingga ke-3, tak ada satupun mahasiswa di kelas yang lulus, bahkan mencapai rata-rata pun tidak. Karena pada dasarnya mata kuliah ini menyandarkan pada "hafal rumus" beserta turunannya. Hingga tibalah saatnya mid-term (ujian tengah semester) yang bisa dibilang adalah saat-saat yang mengguncang, karena penentuan nilai ujian ini adalah 30% dari keseluruhan nilai akhir.

Lalu, hasilnya?

Dua dari empat mahasiswa internasional (penghuni labku) gugur dan melakukan aksi membuang mata kuliah tersebut (drop mata kuliah) dari daftar semester itu. Karena hasil mid-term mereka yang diakui sendiri "sangat tidak mungkin untuk lulus". Yang secara otomatis risikonya adalah mereka berdua harus mencari mata kuliah lain untuk memenuhi kuota SKS lulus mereka, di semester depan.

Nah, kamu masuk di antara mereka berdua kah?

Nope, aku bersyukur di mid-term dan final exam masih masuk dalam nilai rata-rata atas kelas. Dan dengan modal nekat serta masih menggantungkan harapan besar pada satu final project yang bernilai 30%, kulanjutkan mata kuliah itu hingga akhir semester. Alhamdulillah hasilnya tak mengecewakan, at least doa orang tuaku masih mampu membujuk Allah SWT. untuk meng-khilaf-kan profesor dalam memberikan nilai terbaik (yang cocok buatku) dalam versinya.

JADI INTINYA, MAINKAN SAJA TRIK KHUSUS (tentunya yang halalan thoyyibah) UNTUK LOLOS DARI JEBAKAN GAGAL DALAM MATA KULIAH. Boleh yang nekat dan modal doa ala aku, atau yang spekulatif ala dua kawanku tadi.
___________________________________________________

Tuh, terbukti bukan bahwa petuah/anggapan naif itu terkadang memang naif? Karena pertaruhan nilai menjadi modal awal kelanjutan jenjang pendidikan PPGA di negeri non-English-based ini. Tapi pastinya, meski harus kejar (nominal) nilai jangan sampai melupakan pemahaman ya!!!

Kesempatan Hiperbolik yang Terbuka Lebar
Nah, sebenarnya ulasan di sub-topik sebelumnya hanyalah pemanasan saja. Karena klimaksnya ada di bagian ini. Masih ingat dengan cerita unik tentang mahasiswa kita (yang menuntut ilmu) di Eropa berinisial DH dengan segudang prestasi "indah"nya? Atau dengan kisah miring mahasiswa kita di negeri Jiran yang berjuluk Krimi dalam kumpulan tweet ini? Atau satu lagi, dokter luar biasa berinisial TI yang menurut postingan ini memiliki banyak kejanggalan cerita? Atau selain itu ada juga sih pembahasan lokal oleh kawan-kawan sekitar tentang mahasiswa keren berinisial YDP yang tak kalah fenomenal juga, yang berpotensi ditakutkan jika gaya hiperbolik-nya berlanjut akan bernasib seperti tiga contoh sebelumnya.

Menjadi PPGA, terutama di negeri orang (luar Indonesia), apalagi yang telah masuk dalam jenjang Graduated Program (pasca S1), adalah sebuah kesempatan luar biasa yang patut dibanggakan disyukuri.

Mengapa demikian?

Lho, masih dipertanyakan? Jadi begini, kira-kira berapa banyak sih kids jaman now generasi milenial yang memiliki mimpi untuk berkuliah di luar negeri, atau setidaknya menjadi penakluk benua lain dalam hal keilmuan? Aku yakin sangat banyak! Dengan mempertimbangkan syaratnya yang tak mudah, berkasnya yang tak sedikit, serta prosesnya yang jelas tak semulus paha ayam siap saji yang kulit crispy-nya telah dikelupas, alasan-alasan itu kurasa sudah sangat cukup menerangkan bahwa predikat PPGA luar negeri adalah salah satu hal yang sangat patut disyukuri. Belum lagi yang berhasil tergabung dalam kampus tersohor, yang merupakan impian setiap orang, TU Delft misalnya (kalau ini sebenarnya kampus impian penulis). Atau yang paper-nya lolos dalam jurnal dengan track record pemilik impact factor "dewa", semacam NATURE misalnya (yang ketika berkaca pada jurnal Nature Materials saja IF-nya bisa jadi tembus 39++ di tahun 2016).

Tuh, bayangkan betapa kerennya mereka-mereka itu! Yang secara normal pun, tanpa harus bertindak hiperbolik, memiliki kesempatan luar biasa untuk menjadi fenomenal.

Akan tetapi entah mengapa di zaman ini orang-orang lebih cenderung untuk memilih jalur instan untuk menjadi tenar, sekedar demi mendapat mention sebagai "sang penakluk", "Habibie masa depan", dan sebagainya. Mengapa tak menjadi biasa saja? Mengapa tak "keren" sesuai prosedur saja? Atau jika memang terlalu kebelet "penghargaan", usahalah sedikit lebih keras! Yakin kok, dengan modal menjadi PPGA luar negeri, di kampus tersohor, paper lolos di jurnal bagus, dengan disokong sedikit usaha yang lebih keras saja hasilnya akan memiliki impact jauh di atas rata-rata PPGA lain yang tak seberuntung kalian. This is FACT.

Tapi kan budaya hiperbolik yang kau sebut tentunya juga tak muncul tiba-tiba kan? Ada sebab musababnya bukan?

Ya, jelas kelakuan hiperbolik ini muncul "bukan hanya karena niat pelakunya, tapi juga karena ada kesempatan". Itulah mengapa dalam bagian ini kutuliskan sebagai Kesempatan Hiperbolik yang Terbuka Lebar setelah kita menjadi PPGA (utamanya di luar negeri).

Jadi menurutmu faktornya apa?

Hmm, ini sulit, karena pada dasarnya aku hanya mampu menganalisis dari sudut pandangku sendiri sebagai orang ketiga yang tak memahami latar belakang orang-orang yang ngebet tenar tadi. Tapi setidaknya kucoba tuliskan faktor-faktor yang menurutku sangat berpotensi menimbulkan kesempatan hiperbolik itu keluar secara tiba-tiba atau ditunjukkan oleh seseorang.

1. Faktor Inner Circle
Di faktor yang pertama ini aku jelas menyoroti lingkungan kehidupan dari PPGA. Dalam hal ini adalah keluarga, sahabat, hingga teman-teman dekatnya. Menurut pandanganku, tindakan pencitraan hiperbolik ini tak akan muncul jika PPGA memiliki inner circle yang mampu menjadi "tempat sampah" sekaligus "chamber of secret".

Maksudnya?

Maksudnya adalah, jika inner circle dari PPGA terbiasa untuk menerapkan "budaya apresiasi" yang seimbang (pujian dan kritikan selalu seiring sejalan diberikan padanya tanpa tedeng aling-aling), menurutku PPGA tak akan pernah sekali-kali mencoba untuk memanfaatkan kesempatan hiperbolik yang ada. Lalu untuk chamber of secret yang kumaksud di sini adalah mengikuti pola filosofis dari ruang rahasia dalam serial novel Harry Potter karya J. K. Rowlings. Di mana inner circle (sebagai chamber of secret dari PPGA) akan selalu available jika dibutuhkan, baik untuk mendengar keluh kesah saat risetnya sedang tak memenuhi target, meminta saran jika kesulitan untuk mengomunikasikan sesuatu kepada profesor, atau juga membutuhkan apresiasi ketika dia mencapai prestasi tertentu yang membanggakan. Kupikir inner circle yang baik akan selalu mampu menjadi supporting system yang (dengan caranya sendiri) mampu memberikan inspirasi pada PPGA agar apa yang ia lakukan selalu mengarah pada kondisi atmosfer positif sesuai dengan jalan yang ia pilih sebagai researcher*.
*note: menurutku PPGA yang telah melewati masa S1 dapat dikategorikan sebagai peneliti/researcher baik dia menekuni bidang sosial maupun sains dan teknologi.

2. Faktor Kurangnya Pengalaman GAGAL
Dalam faktor kedua ini, kucoba untuk mempersempit scoop. Jika di faktor pertama tadi lebih ke menuntut pada lingkungan, sekarang di faktor ini aku memberikan ruang untuk para PPGA agar berintrospeksi diri. Karena menurutku, kesempatan hiperbolik itu tak akan pernah dimanfaatkan oleh PPGA jika dia telah mengantongi banyak sekali pengalaman gagal.

Wait, mengapa demikian?

Ya iya lah, kalau PPGA sudah kenyang, atau setidaknya sudah pernah merasakan pahitnya gagal dalam berusaha, tak ada lagi celah untuk berlaku sombong memanfaatkan kesempatan hiperbolik. Analoginya begini: menulis sebuah tulisan scientific berupa paper itu tak mudah, belum lagi jika dalam bahasa Inggris, harus melewati tahapan proof reading yang otomatis harus sesuai dengan bahasa keilmuan. Paper yang telah siap dipublikasikan, akan melalui tahap submit dan review dari redaksi jurnal yang menjadi tujuan sebelum nantinya ada proses revise atau reject. Bahkan menurut Jeff Grigston dan Ben Mudrak dalam tulisan ilmiahnya di 2016 yang berjudul The State of Authorship: Maximizing Impact with the Time and Money You Spend sebuah paper membutuhkan setidaknya 250-350 hari perjalanan, sejak di-submit hingga published (jika prosesnya lancar).

Wow, panjang bukan? Itulah mengapa untuk menjadi "keren" sangatlah tak mudah, berapa banyak PPGA yang gagal lebih dari sekali dalam melakukan publikasi ilmiahnya? Sangat banyak! Bahkan masih menurut Jeff Grigston dan Ben Mudrak, ada banyak sekali PPGA yang tak lebih dari 8 hari publikasinya ditolak hanya karena ketidaksesuaian format (mengalami desk rejection).

Kupikir gambaran itulah yang seharusnya dicermati bagi PPGA di manapun berada. Bahwa keberhasilan yang telah diraih bisa jadi belum apa-apa, apalagi jika keberhasilan tersebut diperoleh tanpa melalui proses gagal dulu, masih ingat pepatah "roda kehidupan itu berputar"? Nah, dari situlah seharusnya kita tidak memanfaatkan kesempatan hiperbolik saat berada di puncak roda, toh masih ada kesempatan berada di lembah kegagalan terbawah kan?

3. Faktor Kedekatan Individu dengan Tuhan-Nya
Nah, sudah paham polanya? Di tulisan kali ini aku menggunakan model reducing area. Jika di faktor pertama lebih ke arah mengambing hitamkan lingkungan (inner circle), di faktor kedua lebih ke arah hubungan PPGA dengan pengalaman yang didapatkannya, maka di faktor ketiga ini aku memperkecil kembali scoop-nya pada perhelatan batin.

Intinya nggak banyak sih yang ingin kusampaikan di faktor ketiga ini, karena pada dasarnya setiap orang yang semakin dekat dengan sang penciptanya pasti menghindari melakukan hal-hal buruk. Dengan alasan praktisnya mungkin adalah: takut dosa. Akan tetapi lebih dari itu, alam bawah sadar orang waras akan secara otomatis bisa memikirkan dampak seperti apa yang akan terjadi jika kebohongan kesempatan hiperbolik yang dimiliki oleh setiap PPGA (khususnya yang berada di luar negeri) akan ketahuan TAK SE-HIPERBOLIK apa yang telah disampaikannya lewat self-marketing yang dilakukan.

EPILOG
Akhir kata, selamat menjalani hari-hari sebagai PPGA di manapun kalian berada. Ingatlah selalu bahwa kejujuran dan integritas adalah dasar bagi setiap keberhasilan dan hal-hal positif yang nantinya akan kita bawa ke tanah air, demi kemajuan bangsa Indonesia di masa depan.

Sampai jumpa di ulasan lainnya...
#KotakAjaib

No comments:

Post a Comment

Budayakan comment di setiap situs yang anda kunjungi...
Untuk memulainya, silakan dibiasakan di dalam blog Pujangga Tanpa Inspirasi!!
Terima kasih, Thank You, Gracias, Merci, Syukron, Matur Suwun...

Wanna support???