PROLOG
Hampir setahun aku berada di sebuah lingkungan baru,
budaya baru, dan bahkan bahasa baru yang 100% asing di telingaku. Sejak tahun
lalu hingga beberapa waktu ke depan tanah Taiwan menjadi rumah baruku pasca
menyelesaikan tugas belajar dalam meraih gelar Sarjana Teknik (Material dan
Metalurgi).
Melanjutkan master degree di tanah orang sudah sering dan
bahkan selalu kita dengar, karena pada dasarnya di era saat ini hal semacam itu
bisa dikatakan hype dan menjadi kebutuhan untuk pengembangan diri, dan bahkan untuk
tujuan yang lebih luas, pengembangan negeri asal saat lulus dan pulang ke tanah
air nanti. Nah, kali ini aku tak ingin terlalu membahas hal-hal umum tentang
bagaimana kuliah di sini atau semacamnya. Karena hal-hal semacam itu sangat
mudah didapatkan dari dunia maya ataupun acara-acara seminar dan Edu Fair yang
menjamur.
Satu hal yang (mungkin) menarik dan ingin sekali kubahas
kali ini adalah selaras dengan judul yang tertera di baris paling atas. Ya,
tentang Sidang Tugas Akhir, atau di sini biasa disebut dengan Oral Defense.
Yap, sebelum membaca lebih lanjut, aku sarankan untuk
duduk tenang, wudhu dulu juga boleh, atau seduh kopi juga sabi sih. Hehe, biar
ga kaya anak-anak kekinian yang suka "terpelatuque" atau apalah
istilahnya untuk jaman ini.
Mendengar istilah Sidang Akhir kira-kira apa sih yang ada
di benak kita semua? Seram? Judgement Day? Atau mungkin Ajang Pembantaian dosen
kepada mahasiswa? Hahaha, sama sih kurang lebih itulah yang aku dan kawan-kawan
rasakan saat menjalani kuliah selama tak kurang dari empat tahun di salah satu
kampus teknik negeri ternama di Indonesia. Tanpa perlu terlalu munafik dengan
melabelinya dengan istilah-istilah menyenangkan, karena pada dasarnya selalu
yang dirasakan adalah "rasa cemas dan takut akan pembantaian" entah
kadarnya banyak atau sedikit.
Itulah kondisi nyatanya menurut opini dan sudut
pandangku, yang terjadi di kampus-kampus saat beberapa kali aku mengunjungi
kawan yang akan melaksanakan Sidang Akhir, dulu. Di mana pada akhirnya selalu
saja ketika mendengar istilah "Sidang Akhir" yang muncul dalam diri
sendiri adalah: "semangat lah, cuma sejam aja dibantainya" atau
"bakal lama nggak ya?" atau pertanyaan-pertanyaan semacamnya. Yang
bahkan ketika dirasakan, memang benar sejam di dalam ruangan sidang itu rasanya
kaya beberapa jam di waktu dan kondisi biasanya. Ada yang keringatnya
bercucuran, ada yang tiba-tiba gagap dan menjawab pertanyaan dosen dengan
kalimat ngalor ngidul tak karuan, dan berbagai gejala demam Sidang lainnya.
Kira-kira apa sih penyebabnya? Di luar kondisi psikis
pribadi masing-masing orang ya, karena memang tiap orang punya resistansi
nervous-nya masing-masing.
Nah untuk menjawab pertanyaan tersebut, aku punya cerita
yang mungkin bisa menjawabnya. Selama di sini aku sudah beberapa kali menghadiri
Oral Defense kakak tingkat, baik yang merangkak untuk meraih gelar M.Sc. maupun
yang sedang ngesot dalam mencapai gelar PhD mereka. Alhasil, aku berhasil
menemukan perbedaan mendasar antara Sidang Akhir dan Oral Defense (selain dari
struktur katanya).
Di dalam Sidang Akhir seringkali aku temui adanya
pertanyaan semacam "kok bisa gitu?", "data itu didapat dari
mana?, dan semacamnya, dari dosen penguji. Dan ternyata di Oral Defense pun
sama saja.
Lha? Terus apa bedanya?
Bedanya ada di reaksi setelahnya, di mana saat mahasiswa
berargumen dan menjelaskan kepada dosen penguji Sidang Akhir (kalau Oral
Defense selalu diisi oleh full Professor semua), biasanya akan ada
pertanyaan-pertanyaan mengular, bersambung dan berujung pada penekanan mental
pada mahasiswa ketika tak bisa menjawab (atau istilahnya MENTOK dan mati kutu).
Sehingga saat sesi Sidang berakhir mengesankan bahwa revisi yang terjadi untuk
Tugas Akhir/skripsi mereka adalah semata karena pertanyaan si dosen yang
terlalu kritis atau semacamnya.
Iya apa Iya? Hahaha, tak usah didebat, karena mungkin
juga tak semua merasa demikian. Hanya saja mayoritas begitu.
Berbeda dengan ketika Oral Defense (yang beberapa kali
kuhadiri di sini), ketika ada mahasiswa yang mengalami moment mentok dan mati
kutu dengan pertanyaan mengular yang diajukan oleh Professor, mereka (para
Professor penguji) tidak serta merta melakukan pertanyaan lanjutan yang akan
membuat mahasiswa menjadi semakin depresi dan mengalami gejala demam Sidang
Akhir tiba-tiba.
Baca: Demam sidang berupa keringat bercucuran, tangan dan
jemari kedinginan, dan pikiran kacau tak karuan, dan semacamnya.
Di momentum semacam itu para Professor biasanya
berdiskusi sejenak, entah dalam suara keras atau berbisik, untuk melakukan
semacam penggiringan jawaban kepada mahasiswa yang sedang diuji. Alhasil, scene
yang tampil di series Oral Defense selanjutnya adalah adanya tanya jawab sehat
antara mahasiswa, Professor penguji satu dengan lainnya, sehingga mahasiswa
menemukan sendiri dari percakapan (semacam focus group discussion) tersebut
bahwa memang moment freeze yang dia alami barusan adalah bukan karena pertanyaannya
yang terlalu expert, melainkan karena memang si mahasiswa yang kurang bisa peka
terhadap permasalahan yang sedang dibahasnya di hadapan penguji. Tanpa ada
statement justifikasi, atau simulasi penekanan antara Professor penguji ke
mahasiswa, yang ada hanya simulasi focus group discussion di mana seluruh
elemen dalam Oral Defense tersebut harus menyelesaikannya bersama, tak hanya si
mahasiswa saja satu-satunya elemen yang wajib berpikir.
Sehingga waktu Oral Defense yang (rata-rata) sekitar dua
jam atau lebih, tak begitu terasa karena auranya mengalir begitu saja...
Jadi selama aku di sini, aku tak pernah menemukan
statement semacam: "menurut saya data kamu salah, dan entah bagaimana
mekanismenya, seharusnya tidak demikian!" atau "kurang valid nih,
kamu harusnya pengujian ulang!", dan kalimat justifikasi-justifikasi
lainnya muncul di Oral Defense.
Memangnga bagaimana pernyataan yang muncul biasanya?
"Kamu yakin datanya benar? Kira-kira menurutmu sudah
100% benar belum?" atau "Pengujian kamu metode dan prosedurnya sudah
benar? Coba dianalisis, adakah yang tertinggal prosesnya?" dan pertanyaan
penggiringan opini lainnya yang secara penerimaan mahasiswa (menurutku) lebih
mentrigger untuk berpikir "oh iya, berarti aku harus revisi di sisi sininya
nih", atau "apa aku pengujian ulang di sisi sini aja ya?" dsb
dsb.
Bagaimana? Sudah paham di mana bedanya?
Jadi jelas sekali bahwa anggapan: Sidang Akhir selalu
identik dengan "pembantaian", wong rata-rata isinya langsung
memerintah dan justifikasi revisi dari penguji kepada mahasiswa. Cukup berbeda
dengan sesi "mempertahankan penelitian/pemahaman secara lisan" (Oral
Defense), karena di sesi mempertahankan diri ini serangannya beragam, tak hanya
langsung straight forward justifikasi, akan tetapi juga ada sesi diskusinya,
yang semakin memperlihatkan bahwa ilmu pengetahuan itu sifatnya nisbi. Karena
di sesi ini yang harus bertahan bukan hanya mahasiswa, sebab Professor juga
membuka pertahanan dirinya terhadap pemahaman penelitian yang sedang dipaparkan
oleh si mahasiswa. Cukup adil bukan?
Hihihi, aku tak memaksa pembaca sekalian untuk sepakat
dan sepenuhnya mengiyakan anggapanku. Hanya saja sekelumit ulasan tentang
Sidang Akhir dan Oral Defense ini setidaknya aku release untuk menunjukkan
bahwa sudah saatnya kita melepaskan diri dari pemikiran bahwa penguji selalu
benar dan yang diuji selalu salah. Karena pada dasarnya saat Sidang Akhir
maupun Oral Defense pun kita sedang melakukan "Reveal A New Thing",
bukan mengulang sesuatu yang hasilnya sudah diketahui sebelumnya lalu
dipaparkan kembali. Jadi, mana mungkin proses penelitian kita (yang dilakukan
bersama antara mahasiswa dan pembimbing, dan mungkin juga dengan penguji) akan
membimbing pada hasil akhir: penguji benar dan mahasiswa salah? Toh penguji
juga manusia bukan?
EPILOG
Jadi jelas, seharusnya ada satu anggapan yang harus
berlaku bagi kita semua, baik yang masih jadi mahasiswa, maupun pihak yang
telah memiliki mahasiswa (baik professor maupun dosen yang gelarnya belum
professor): SIDANG BUKAN PEMBANTAIAN, TAPI PROSES FINAL DARI DISKUSI DALAM
PENELITIAN UNTUK MENEMUKAN FAKTA BARU ILMU PENGETAHUAN.
Thus, from now on: yuk belajar saling memahami dalam hal
apapun!!!
Taiwan, 14 Juli 2017
R. F. Hary Hernandha
(Mahasiswa yang belum pernah ikut prosesi resmi wisuda)
#KotakAjaib