Description

"Who you are, depends on what do you think about GOD and yourself."

#KotakAjaib
Copy-Paste boleh, asal cerdas! Jangan lupa cantumkan sumbernya ya...
http://tanpa-inspirasi.blogspot.com/

Friday, February 11, 2011

Kisah Keteguhan Menggapai Ketulusan

“Tsabit, tunggu!” teriak Céri sambil berlari mengejar pemuda berkacamata yang tak jauh darinya.
“Ya?” jawab Tsabit, tanpa menoleh dia berhenti tepat di depan tangga. Dan saat ia menoleh dan tahu yang memanggilnya adalah gadis berambut pendek yang selama ini ia kagumi, diapun berkata lagi, “Ada apa?”
“Kau bilang ada yang ingin kau bicarakan?” Céri mendekat dan menepuk punggung pemuda tersebut.
Tsabit terlalu malu untuk mengatakannya, “Tidak,” ada jeda di dalam nada bicaranya. “Tolong biarkan aku sendiri,” lanjutnya.
Itu adalah terakhir kalinya mereka bertemu di masa SMA mereka. Kini hidup mereka telah berbeda, Céri yang dulu selalu berbincang bersamanya setiap sore kini telah lama sekali pergi dari hidupnya. Hari – harinya dipenuhi penyesalan akan perasaan mendalam. “Ah, mana bisa aku begini terus…” pikirnya. Lalu dia mengangkat handphonenya yang berdering.
“Assalamualaikum?”
“Waalaikumsalam, mas ini saya Alfa!”
“Alhamdulillah, sudah 4 tahun kamu nggak pernah nelpon aku, Fa! Gimana kabarmu?”
“Iya mas, nggak tahu kenapa lagi pengen nelpon mas Tsabit. Kabarku baik mas, mas sendiri gimana?”
“Aku baik Fa, eh ya sekarang kamu kuliah or kerja di mana?”
(tiba – tiba pembicaraan terputus)
Tak lama kemudian handphone Tsabit bergetar, dan sms dari Alfa masuk. Alfa meminta maaf karena pembicaraan terputus dan dia ingin bertemu dengan Tsabit segera. Tsabit segera membalas sms dari Alfa, dan menanyakan tempat dan waktu pertemuan mereka. Lalu Alfa membalas dengan singkat “Di gedung SMA kita di Bojonegoro sebelum hari Senin.” Dan Tsabit pun termenung sejenak.
Akhirnya, karena hari itu hari sabtu maka tanpa pikir panjang Tsabit meninggalkan tempat kost dengan barang bawaan secukupnya dan uang yang tersisa. Dan setelah pamit dengan pemilik kost, Tsabit pun pergi meninggalkan Jogja dengan motornya. Tak kurang dari 90 km/jam dia menempuh perjalanan sekitar 6 jam dengan hanya 1 jam jeda Istirahat.
Setelah semalam tidur di rumah, Tsabit pun segera pamit pada ayah ibunya untuk pergi lagi. Sang ibu yang sebenarnya bingung akan kedatangan putranya secara mendadak di hari ulang tahunnya, akhirnya merelakan Tsabit untuk pergi lagi.
“Assalamualaikum, Ma…”
“Waalaikumsalam, hati – hati ya nak!”
“Oke Ma!”
Lalu Tsabit menuju ke tempat di mana dia berjanji untuk bertemu dengan Alfa. Dalam hati, dia bertanya, “Ada apakah gerangan Alfa begitu serius ingin bertemu dengannya?” Sambil terus memacu motornya, akhirnya Tsabit sampai di Jl. Panglima Sudirman no. 28 yang tak lain adalah SMA yang sudah hampir 4 tahun dia tinggalkan setelah ia lulus. “Sudah banyak yang berubah sejak 3 tahun lalu,” bisiknya. Ia masuk ke dalam gerbang utama SMA Negeri 1 Bojonegoro dengan menuntun motornya. Ruang pertama yang ia tuju adalah Ruang kelas di bagian timur laut, yang dulu adalah tempat dia belajar bersama, bercanda tawa dengan teman – teman terbaiknya, dan salah satunya adalah Céri.
HPnya berdering lagi ketika dia sedang flashback ke masa lalunya, masa – masa penuh tugas, masa – masa SMA,
“Assalamualaikum?”
“Waalaikumsalam, hai mas… Langsung ke Aula ya, Mas!”
“Oke”
Tsabit menuju tangga favoritnya dan segera naik ke lantai 2 di sebelah utara smasa, “Kapan terakhir kali aku naik tangga ini,” gumamnya. Dia berjalan menyusuri koridor lantai 2 dan turun melewati tangga di bagian barat. Dan akhirnya,
“Happy Birthday to you! Happy Birthday to you! Mas, ini surprise dari kita!!” Tanpa terduga, di sana ada sahabat – sahabatnya yang dulu adalah orang – orang yang member warna pada kehidupannya. Alfa, Azki, Nilla, Baski, Iza, Putra, Tama, dan lainnya, tapi jika boleh jujur, yang paling ia rindukan adalah orang yang dulu paling dekat dengannya, lalu dia menjawab…
“Alhamdulillah, makasih ya! Siapa yang bikin rencana kayak gini? Kamu ya Fa?”
“Bukan aku mas, tapi mbak Céri!”
Tiba – tiba Tsabit merasa kembali menemukan dirinya yang dulu, nama yang Alfa sebutkan telah membuat hatinya kembali hidup. Selama di Jogja, memang sepertinya Tsabit benar – benar menikmati hidupnya sebagai Calon Dokter yang lulus dari sebuah bidang kelembagaan yang sangat jarang di Indonesia yaitu, Kedokteran Nuklir. Tapi jika dia ingin mengingatnya kembali, apakah pernah dia dekat dengan gadis lagi setelah pertemuannya dengan Céri sebelum mereka lulus SMA.
Semuanya serasa kembali lagi, dari pagi hingga sore Tsabit dan sahabat – sahabatnya berbincang – bincang dan menjadikan moment itu sebagai ajang reuni kecil yang mereka adakan sendiri. Butuh sedikit waktu untuk Céri dan Tsabit memulai pembicaraan, tapi akhirnya mereka menemukan diri mereka, kedekatan mereka dan suasana hangat yang tercipta diantara mereka lagi.
# 5 Tahun Kemudian #
Tak banyak yang berubah dari hidup Tsabit, usahanya selama ini membuahkan hasil yang maksimal dalam hidupnya. Keteguhan dan kegigihannya dalam menempuh jenjang pendidikan mungkin dapat dikatakan tak tergoyahkan. Dan inilah jawaban dari cita – citanya sejak kecil, dan impiannya tentang Ilmuwan di bidang sains.
“Saya sakit apa, Dok?”
“Hmm, saya belum bisa memutuskan diagnosa untuk gejala yang bapak alami. Tapi saya akan coba dengan rontgent dulu, bapak bersedia?”
“Baik, Dok. Tapi bagaimana dengan biayanya? Saya hanya seorang buruh pabrik.”
Tsabit tersenyum dengan ramah, “Itu tidak jadi masalah pak, bapak tidak usah memikirkan tentang hal itu, tadi bapak sudah menyodorkan ini pada saya.” Tsabit menunjuk pada sebuah kartu berwarna kuning yang bertuliskan ASKESKIN.
“Terima kasih, Dok”
“Sama – sama bapak,”
Itulah aktifitas Tsabit setiap hari, menjadi fasilitator dari kesembuhan pasiennya.
Terkadang, Tsabit termenung untuk mengingat akan apa yang telah ia lakukan. “Aku telah banyak menyusahkan orang lain, terutama ayah ibuku, tapi kini aku menjalani hidupku sendiri. Aku hanya bisa mengunjungi mereka di akhir pekan. Jadi, mungkin inilah jalanku. Aku harus bisa memberikan sesuatu yang setidaknya bisa bermanfaat bagi hidup mereka. Meskipun tidak seperti yang mereka bisa berikan padaku dulu.”
Tsabit mengangkat Telepon yang ada di ruang prakteknya, dan menekan beberapa tombol. Lalu tak berapa lama dia menunggu, terdengar suara seorang wanita,
“Assalamualaikum, ada yang bisa saya bantu?”
“Waalaikumsalam, benar ini tempat pendaftaran Calon Jamaah Haji region Jawa Timur?”
“Ya, benar bapak.”
Dan pembicaraan pun berlanjut hingga hasilnya adalah untuk 2 tahun ke depan Tsabit akan memberangkatkan orang tuanya ke tanah suci.
Tsabit menjadi sosok yang disegani dan dikagumi oleh orang – orang di sekitarnya. Mungkin karena kedemawanannya atau juga karena ketampanannya. Meskipun baginya, tak banyak yang ia lakukan untuk orang – orang di sekitarnya. Tsabit bukan merupakan orang yang alim, tapi dia adalah sosok pemuda yang religius dan rajin beribadah.
Sepintas, mungkin hidupnya terlihat sempurna dan mengagumkan. Tapi ada satu kekurangan yang ia miliki. Dia adaalah sosok yang agak kurang memiliki ketertarikan pada wanita. Bukan berarti dia gay atau homoseks. Tapi karena masa lalunya, karena ketulusan hati yang masih ia simpan hingga kini. Céri, seorang gadis biasa yang telah mencuri hati sang dokter. Tapi bagi pemuda berkacamata yang telah memperoleh kesuksesan atas usahanya selama ini, Céri bukan hanya seorang gadis biasa yang sering ia temui. Dia berbeda, mungkin benar mereka berbeda keyakinan. Menurutnya, Céri  adalah sosok yang paling berarti di hidupnya, satu kalimat yang membuatnya begitu terkesan, yang pernah ia dengar saat dia melakukan pembicaraan serius via telepon semasa mereka kuliah.
Sore itu Tsabit sedang bingung dan gundah, entah karena apa. Tak lama setelahnya, ia pun mengangkat HPnya dan menekan beberapa tombol. “Halo,” sapanya, dan terdengar jawaban dari lawan bicaranya, “Ya, halo… Ada apa?” Dan percakapan dilanjutkan dengan penuh keakraban yang telah berhasil Tsabit ciptakan untuk melancarkan misinya. Entah dapat dari mana dia akan keberanian itu. Di akhir percakapan, Tsabit membuka dengan kata – katanya “Hmm, Cér… Aku boleh ngomong sesuatu?” Céri dengan santai menjawab,”Emangnya dari tadi kita ngapain? Nggak ngomong?” Dan keluarlah kata – kata itu dari mulut seorang Tsabit. Mungkin tidak perlu disebutkan bagaimana detailnya, dan, kata – kata inilah yang membuat pemuda manapun tak terkecuali Tsabit terkesan akan gadis yang mengatakannya, “Mungkin aku cuma bisa bilang kalau aku merasakan hal yang sama, tapi biarkan hubungan kita tetap jadi sahabat hingga waktu yang tepat, yang penting kita sudah tahu perasaan masing - masing.” Dan mereka melanjutkan percakapan mereka lagi, bahkan lebih akrab dari sebelumnya.
Di dalam lamunan flashback masa lalunya tentang percakapan itu, tiba – tiba Tsabit dikejutkan oleh tukang kebunnya yang tiba – tiba datang dengan sepucuk surat yang diambilnya dari kotak surat di depan rumahnya. Memang di sebuah kawasan elite di kota Malang tidaklah mungkin tukang pos memanggil – manggil sang pemilik rumah ketika ada surat yang harus disampaikan. Kembali lagi Tsabit dikejutkan, dengan nama yang tertulis di amplop surat tersebut “Sincérite Areita”.
“Céri? Angin apa yang tiba – tiba membuatnya mengirimkan surat ini kemari?”
Tsabit yang tak mengira apapun tentang hal baik yang akan ia peroleh dari surat itu, hanya berpikir bahwa surat itu adalah kartu ucapan selamat ulang tahun seperti surat – surat yang telah ia terima dari pagi tadi. Dia sejenak merasa bahagia, karena teman – teman atau lebih tepat disebut sahabat – sahabatnya itu masih mengingat akan ulang tahunnya, dan ironisnya saat ucapan selamat itu datang, Tsabit pun tidak ingat akan hari ulang tahunnya.
Tapi ini berbeda, ada tiga hal yang tidak ia mengerti di ulang tahunnya kali ini. Bahwa yang pertama ia lagi – lagi lupa akan hari ulang tahunnya jika tidak mendapatkan telepon dari ayah dan ibunya semalam. Dan ada apakah gerangan yang secara tidak biasa membuat Céri mengirimkan sepucuk surat untuk mengucapkan selamat ulang tahun padanya. Lalu, mengapa semalam Céri tidak menelepon, untuk mengucapkannya. Di tengah – tengah kebingungan, Tsabit memutuskan untuk segera membaca surat tersebut.
Tanpa ragu, Tsabit merobek amplop tersebut, dan membaca isi suratnya:

 =========================================== 
 
                                                            Paris, March 9th, 2021
Dear Tsabit,
Kita telah berpisah terlalu lama, ternyata aku merindukan hidupku yang dulu bukan pada keyakinanku yang dulu. Aku rindu kamu, sahabatku. Aku memutuskan untuk berpindah keyakinan, aku ingin bisa dekat denganmu. Sekarang aku bukan Céri yang dulu. Aku telah memperdalam isi kitab Al Qur’an, dan sekarang aku berjilbab.
Masih ingatkah kamu tentang pembicaraan terakhir kita? Mungkin aku tidak akan seyakin ini jika aku tidak berpindah keyakinan. Tapi bersama surat ini aku ingin mengatakan padamu, bahwa mungkin inilah waktu yang tepat untuk kita.
Your Bestfriends,
          


  Sincérite Areita 


 ===========================================

Tsabit yang tak menyangka, di hari ulang tahunnya ia mendapat kado istimewa yang berupa pernyataan dari sang pujaan hati, bahwa perasaannya berbalas. Lalu dia segera menelepon Céri. Dan singkat cerita mereka mendapat kesepakatan. Karena kesibukan masing – masing maka Tsabit memutuskan untuk melamar Céri saat mereka lengang. Dan tepat pada tanggal 21 Desember 2021 mereka melafadzkan janji suci di bawah naungan asma Allah SWT. di sebuah masjid di Paris, Perancis.
Mungkin itulah yang dinamakan buah manis dari kehidupan. Seorang pemuda yang tak pernah menduga nasib akan masa depannya, mendapatkan perjalanan kehidupan yang sangat menarik. Tsabit tidak meminta hidupnya berakhir sempurna dan bahagia. Begitu juga Céri, dia tak akan pernah tahu tentang perpindahan keyakinan jika dia tidak melakukannya. Karena kehidupan tidak hanya berakhir di sini, saat ini, di tempat duduk ini, di ruangan yang kita tempati untuk menyimak sebuah kisah hidup seorang Tsabit, yang menjalani kehidupannya, mendaki bukit ilmu pengetahuan dan mendaki puncak kesuksesan. Mungkin kita membayangkan, betapa tidak mudahnya menjadi seorang dokter, yang sudah menjadi cita – cita dan harapan umum bagi setiap anak. Tapi ketika kita sudah menjalaninya, layaknya seperti Tsabit ketika ia meraih kesuksesan, pasti masih ada kesuksesan lain yang belum ia raih. Itu sifat umum manusia, benar – benar manusiawi.
Kisah persahabatan Tsabit dan lainnya tidak dilakukan tanpa kesengajaan. Itu membutuhkan kedewasaan untuk memupuk persahabatan. Tsabit dan Alfa  telah bersahabat lama meskipun berbeda jenjang pendidikan. Tapi ketika kedewasaan telah berakar di dalam diri, maka perbedaan tidaklah menjadi penghalang dalam persahabatan.
Tsabit dan Céri telah memutuskan untuk menjaga hati mereka masing – masing. Dan menunggu hingga waktunya tiba, saat mereka benar – benar siap dan pantas untuk mempererat hubungan mereka. Itu semua terlihat berbeda dengan kehidupan masa kini, yang lebih tepat disebut jaman ketidaksabaran, bandingkan saja ketika pemuda masa kini membuat hidup mereka seperti Tsabit dan Céri, tak akan ada kisah Married By Accident.
Kehidupan Tsabit dan Céri berlanjut di Negara kecil di sebelah timur Perancis, mereka memutuskan untuk membawa seluruh keluarga mereka, dan membesarkan anak – anak mereka di Swiss. Mereka tidak begitu saja melupakan sahabat – sahabat mereka, karenanya tak kurang dari 2 kali setahun mereka melakukan reuni kecil guna mempererat persahabatan mereka. Karena perjuangan mereka akan hidup yang memang tidak semudah saat kita bernafas, adalah membutuhkan pengorbanan besar. Dan perjuangan dan pengorbanan mereka tak akan berarti tanpa teman dan sahabat yang selalu ada bersama mereka.
Itulah Indahnya hidup jika kita mau berfikir.

No comments:

Post a Comment

Budayakan comment di setiap situs yang anda kunjungi...
Untuk memulainya, silakan dibiasakan di dalam blog Pujangga Tanpa Inspirasi!!
Terima kasih, Thank You, Gracias, Merci, Syukron, Matur Suwun...

Wanna support???